Ketika Pemimpin negara (negarawan) lemah visi, misi dan karakter Kepemimpinan
semarak.co-Oleh Asp Andy Syam *
Satu persatu loyalis Presiden Jokowi tidak tahan lagi hidup dalam kemunafikan, karena itu berbalik mengkritik Pemerintahan Presiden Jokowi. Tak tanggung-tanggung, kritik mereka sangat menohok Kepemimpinan Presiden Jokowi.
Padahal tugas penting para loyalis adalah membela tuannya dengan gencar dan berbagai cara menghadapi berbagai serangan kritik. Namun, tidak semua loyalis menganut prinsip setia buta demi rupiah, tetapi mereka juga ada yang tahu batas-batas moral, punya rasa malu dan mau jujur pada hati nuraninya.
Setelah loyalis Jokowi Muchtar Pabottingi dalam video wawancara yang viral mengkritik keras Kepemimpinan Presiden Jokowi dengan mengatakan Presiden Jokowi periode kedua telah meninggalkan Nawacita. Gagal memberantas korupsi. Cita cita nasional yaitu keadilan sosial dan melindungi segenap bangsa Indonesia makin jauh.
Tidak punya misi dan karakter yang cukup kuat memimpin negara. Selanjutnya, sungguh menyentak apa yang disampaikan Immanuel Ebenezer Ketua Jokowi Mania pada acara ILC dalam video yang viral bahwa seperti negara dimasuki para Gengster.
Tak ada institusi termasuk penegak hukum dan DPR yang bisa dipercaya. Independesi Pengadilan tidak bisa dipercaya. Tidak bisa lagi bangsa ini berkompromi dengan para pejabat negara yang koruptor dan berkarakter buruk.
Ungkapan perlawanan balik seorang loyalis Jokowi tersebut diatas merupakan ungkapan hati nurani yang jujur. Seorang Kristiani yang tidak lagi tahan dalam kemunafikan dan karena itu mesti mengungkapkan kebenaran. Salut!!
Memang persoalan bangsa ini adalah soal Kepemimpinan negara. Kepemimpinan negara tidak lagi efektif untuk melakukan perbaikan sehingga yang terjadi adalah maraknya penyalah gunaan kesempatan dan makin menjurus pada kehancuran negara.
Karena itu, logis kalau makin nyaring terdengar suara suara yang ingin melangkah menyelamatkan NKRI. Negara dan korporasi, dua institusi yang sangat fundamental berbeda dalam hal misi dan kepentingan.
Negara punya misi untuk kesejahteraan rakyat melalui berbagai usaha dan peningkatan pajak. Sedangkan Korporasi punya misi untuk membesarkan usaha dan memperkaya pemodal dengan mengejar keuntungan yang sebanyak banyaknya.
Korporasi dimiliki dan dipimpin oleh orang orang yang penuh ambisi bahkan serakah pada kekayaan materi. Kasus korporasi seperti Enron di AS karena keserakahan. Begitu kasus BLBI, Bank Century dll karena keserakahan. Sedangkan negara membutuhkan Pemimpin yang punya empati pada pemenuhan hajad hidup orang banyak.
Jadi kalau Pemimpin negara menyerahkan urusan publik kepada pemimpin korporasi diyakini akan terjadi penyalah gunaan kesempatan untuk meraup keuntungan yang melimpah karena tidak punya empati pada pemenuhan hajad hidup orang banyak.
Itulah yang terjadi pada bisnis PCR yang membuat kegaduhan karena keserakahan Pimpinan korporasi. Hal itu menujukkan mismanajemen Kepemimpinan negara dalam mengelola urusan publik.
Memang antara negara dan korporasi tidak bisa paralel atau sejalan.
Tetapi dimanapun negara demokrasi di dunia ini, tidak bisa dipungkiri adanya relasi pemodal dan penguasa, namun dalam batas batas keuntungan yang rasional dan wajar serta tidak menggangu persaingan usaha yang sehat.
Agar korporasi tidak serakah menyalah gunakan kesempatan, maka negara mesti mengontrol kegiatan korporasi yang berkaitan dengan proyek Pemerintah dan pelayanan publik tanpa membatasi kebebasan usaha korporasi.
Era Kepemimpinan Presiden Jokowi sangat menonjol relasi kepemimpinan korporasi dengan kekuasaan. Kenyataannya, Kepemimpinan korporasi yang menjabat sebagai Menteri yang disebut Immanuel sebagai Gengters yang bermain telah menundukkan dan mengatur Kepemimpinan negara.
Balas jasa pada peran yang memenangkan Jokowi pada Pilpres 2019. Disinilah terbukti bahwa uang menjadi faktor utama dan paling berpengaruh dalam perebutan Kepemimpinan nasional. Hal itu menjadi sumber perilaku mega korupsi. Ada yang menyebut era pemerintahan Presiden Jokowi terjadi korupsi paling ganas.
Pengaruh kuat Kepemimpinan korporasi menimbulkan langkah langkah sistematis yang menimbulkan ruang korupsi. Secara institusi terjadi pelemahan KPK dengan perubahan UU KPK, pemilihan Kepemimpinan KPK, pengendalian institusi stretegis seperti MK dan BPK. Pembuatan UU Cipta Kerja, dll.
Semua itu dalam skenario Kepemimpinan korporasi yang mendikte Pemimpin negara. Rasa aman mereka butuhkan agar leluasa memanfaatkan semua peluang sekitar kebijakan negara oleh Presiden
Belum dingin issu korupsi bansos, muncul issu bisnis PCR. Penggelembungan biaya PCR secara berlebihan atau melampaui batas sangat merugikan rakyat. Kehancuran BUMN terutama Garuda kebangaan Indonesia dan BUMN dibidang infra struktur menunjukkan dasyatnya kerusakan akibat peran Kepemimpinan korporasi yang mengendalikan negara.
Seorang Pemimpin negara punya tugas dan tanggung jawab melakukan perbaikan dengan mendrive negara agar menjadi lebih baik sehingga para Pemimpin korporasi tidak leluasa mengejar keuntungan yang berlebihan, tapi merusak negara, turut menghancurkan citra Kepemimpinan nasional.
Hal itu mungkin kalau Pemimpin negara itu memiliki visi, misi dan karakter yang kuat. Visi, misi dan karakter yang lemah seorang Pemimpin sehingga kehilangan kendali dalam memimpin negara. Diacara ILC Salim Said pernah bicara bahwa kalau terjadi sesuatu, jangan salahkan Jokowi.
Salahkanlah mereka yang mendorongnya dari belakang. Mereka itu punya kepentingan (ekonomi). Apa kata Salim Said, ada benarnya. Sekarang terbukti mereka memanafaatkan setiap ruang kebijakan Presiden untuk meraup keuntungan ekonomi sebesar besarnya dengan mengorbankan kepentingan negara dan rakyat.
Tetapi dari sisi struktur kekuasaan dan Kepemimpinan negara menurut UUD 1945 seorang Presiden sangat berkuasa karena kedudukannya sebagai Kepala ngara dan Kepala Pemerintahan. Karena itu, Presiden bertanggung jawab penuh disemua bidang kehidupan negara.
Dalam menjalankan tanggung jawab itu, kepemimpinan negara harus membawa perubahan dan perbaikan. Bukan sekedar perubahan tanpa perbaikan. Sukses Memberantas korupsi adalah suatu perbaikan. Mengurangi kemiskinan atau kesejangangan dan membangun keadilan sosial adalah suatu perbaikan.
Meningkatkan produktivitas nasional dan mengurangi impor adalah suatu perbaikan. Memelihara persatuan dan tidak memecah belah kelompok atau ummat adalah suatu perbaikan. Mencegah kesewenangan dan pelanggaran HAM adalah suatu perbaikan. Tidak berfoyah foyah anggaran negara adalah suatu perbaikan.
Sejauh mana perbaikan itu dirasakan oleh rakyat??
Seorang Pemimpin negara (Presiden) punya wewenang membuat peraturan yang ketat agar anggaran negara tidak mudah bocor dan bukan sebaliknya. Punya wewenang mengangkat dan memberhentikan seorang pejabat atau Menteri sebagai pembantu Presiden. Seorang Pemimpin negara dapat memberikan arahan yang benar dan melakukan teguran pada kebijakan Pemerintahan yang menyimpang dari visi dan misi kenegaraan.
Kenyataanya, terkesan kewenangann Pemimpin negara itu tidak hadir
Jadi penggunaan kekuasaan untuk melakukan perbaikan adalah sangat terbuka bagi seorang Pemimpin negara (Presiden). Masalahnya apakah punya komitmen untuk melakukan perbaikan. Apakah punya komitmen untuk melakukan kontrol demi perbaikan. Atau masa bodoh dan memberi kesempatan pada banyak pihak menjadi gangster dalam negara memuaskan hawa nafsunya.
“Dan apabila dikatakan kepada mereka “janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab ” sesungguhnya kami justeru orang orang yang melakukan perbaikan. Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan tetapi mereka tidak menyadari” (Qs. Al Baqarah: 11-12).
Dalam konteks bernegara, kemajuan dan kemakmuran negara akan hadir apabila negara dipimpin oleh mereka yang punya visi, misi dan karakter yang kuat untuk melakukan perbaikan. Bukan sekedar membuat perubahan fisik, tapi juga melakukan perbaikan secara menyeluruh, memelihara lingkungan demi kelangsungan hidup, termasuk membangun moral bangsa yang bermartabat.
Save NKRI
*Hikmahjalan Kearifan Kepemimpinan
*) Peduli Kepemimpinan Bangsa.27/11/21
sumber: WAGroup Keluarga Alumni HMI MPO (postSabtu27/11/2021/syamandy)