Oleh Abdurrahman Lubis *
semarak.co-Ketika mendapat undangan Walimatus Safar hati “Bapak” dag-dig-dug, seperti menunggu kelahiran anak pertama. Jalan mondar mandir, dapur-sumur- kasur. Ada
rasa, pertanyatan besar, apa ya?
Keluar 4 bulan saja begitu beratnya. Sudah terjadi “ribut” kiri kanan. Ada yang nuduh , bid’ah, tak ada dalil, tak diperintahkan. Ada yang bilang zalim meninggalkan anak-isteri. Ada yang bilang cuma piknik, jalan-jalan. Etc.etc.
Itulah selama ini yang ada di benak “Bapak”, sebagaimana anggapan masyarakat pada umumnya. “Bapak”, adalah tipikal atau simbol dari sosok yang serba tahu dan paling dipercaya pendapat dan perintahnya.
Kondang:
Ternyata, kemarin malam pertanyaan besar “Bapak”, itu, tiba-tiba “mencair” dan terjawab, dalam acara walimatus safar yang diadakan teman2 dari halaqoh Pondok Melati, Bekasi Kota. Mereka sangat gembira dengan keluarnya ulama2 satu tahun. Mereka berkhidmad memuliakan ulama, memberangkatkan para ulama sambil doa bersama.
Dalam suatu muzakaroh pak Ustadz pernah bertanya kepada seorang masyaikh, ulama besar di Pakistan, bahwa dikeluarkannya ulama satu tahun, itu, terutama kepada para ustadz2 “kondang”. Punya madrasah atau pondok pesantren, punya majelis taklim, muballigh sejuta umat, muballigh kondang, muballigh “Simatupang”
(Siang malam tunggu pangilan), sudah dicintai kaum ibu, etc.etc.
Mereka keluar satu tahun, supaya ilmunya bukan sekadar untuk para santeri yang jumlahnya terbatas, untuk peserta majelis taklim saja, tapi dapat bermanfaat untuk seluruh umat manusia, ada sekitar 7 sampai 8 milyar penduduk dunia, boro2 “makan sekolahan”, mayoritas belum mengucapkan kalimah toyyibah. Inilah yang dirisaukan ulama2 dakwah.
Di sisi lain, untuk melepaskan “keterikatan” dari simbol2 kebesaran madrasah, pesantren, majelis ta’lim, nasab/ keturunan dan kemasyhuran. Selain itu, kalau ulama ikut keluar di jalan Allah bersama orang awam, maka ia akan menjadi pembimbing ilmu selama di perjalanan. Jadilah suatu jamaah seperti “madrasah berjalan”.
Sebagaimana jamaah yang ideal, terdiri dari seorang yang hafidz al Quran atau alim, ada yang sudah pengalaman beberapa negara, ada yang pandai bahasa asing, itulah jamaah ideal, sempurna. Tapi, karena kriteria ideal itu belum dapat, dan pasti tak semudah itu mendapatkannya.
Atas pertimbangan itulah, coba dikeluarkan para alumni madrasah/pesantren. Santri yang baru lulus alias alumni pun diajak keluar satu tahun. Untuk apa? Agar ilmu mereka lebih bermanfaat untuk masyarakat. Juga agar dengan keluarnya para alumni dan mereka bergaul di tengah masyarakat, dari berbagai latar belakang etnis, lapisan komunitas, akan terjadi “persinggungan” dengan ulama/ustadz yang belum tersentuh dakwah.
Saat itulah terjadi ” bargaining position” , ta’aruf dan fadhilah. Biasanya, para ustadz sendiri memutuskan untuk keluar di jalan Allah. Kenapa ? Karena mendapat ikrom dan ta’dzim dari pekerja dakwah, terutama orang2 lama dan khowas.
Nah, sekarang sudah diatur sedemikian rupa, setiap alumni yang baru lulus, agar pulang kampung dulu setahun, supaya adaptasi dengan masyarakatnya. Setelah itu, tahun berikut baru keluar 1 tahun dengan masyarakat awam.
Tiga Kali:
Bahkan, tertib ulama sekarang, diatur silih berganti. Tahun pertama keluar India, Pakistan dan Bangladesh (untuk belajar manhaj dakwah). Tahun kedua kerja maqomi (di kampung sendiri). Tahun ketiga keluar satu tahun di negeri2 arab.Tahun ke 4 hidupkan amal maqomi. Dan tahun berikutnya keluar 1 tahun di negeri2 kafir.
Jadi alumni berusaha ikut arahan sehingga menjadi ulama pewaris Nabi. Walaupun belum sempat bikin markas dakwah, atau belum sempat memikirkan markas. Juga tak perlu “ge-er” untuk membuat markas. Karena untuk membangun markas baru sudah ada ketentuan dan aturan main tersendiri.
Sejak awal sudah jadi pemikiran, agar ulama2 dapat lebih berkembang, “berperan” selaku Sa’iqotul haqiqiyyah (supir asli) dakwah. Karena selama ini orang awam banyak ikut dakwah, jadi timbul sikap sinis dari sebagian pihak mengklaim, seakan orang2 dakwah berdakwah tanpa ilmu.
Karena, sebagaimana dinyatakan Maulana Ilyas Rahimahullah, ulama adalah ahli warisnya para Nabi. Nabi SAW tidak mewariskan harta benda, pangkat dan kedudukan, tapi mewariskan dakwah, atau iman dan usaha atas iman. Seorang ulama hakiki, adalah pengembara, bukan “Betawi” (betah di wilayah).
Yang penting,
The show must go on….
*) penulis Pemerhati Keislaman
sumber: WAGroup PERKOKOH PERSATUAN MUSLIM (postRabu13/7/2022/)