Kementerian PPN Nilai Pernikahan Dini Tantangan Besar Pembangunan SDM, Kementerian PPPA: Perempuan Indonesia Menikah Dini

Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati (keempat dari kiri) dan Menteri PPN/Bappenas Suharso Monoarfa (kirinya Menteri PPPA) pada Peluncuran Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak dan Laporan Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda di Jakarta, Selasa (4/2/2020). Foto: internet

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyebut bahwa satu dari sembilan perempuan usia 20 sampai 24 tahun di Indonesia telah menikah saat usia anak atau menikah dini.

semarak.co -Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan, itu artinya satu dari sembilan perempuan Indonesia yang berusia 20 sampai 24 tahun telah menikah saat masih anak. Jumlah itu berbanding kontras dengan laki-laki yang tercatat 1 dari 100 laki-laki berumur 20-24 tahun menikah saat usia anak.

Bacaan Lainnya

“Secara nasional, berdasarkan data BPS pada 2018, proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus menikah sebelum usia 18 tahun adalah 11,21 persen,” kata Bintang dalam Peluncuran Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak dan Laporan Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda” di Jakarta, Selasa (4/2/2020).

Dari data BPS itu dia juga menyebutkan bahwa terdapat 20 provinsi dengan proporsi perkawinan anak yang lebih tinggi dari angka nasional, di antaranya yang tertinggi adalah Provinsi Sulawesi Barat dan terendah adalah Provinsi DKI Jakarta.

Dengan angka perkawinan yang cukup mengkhawatirkan tersebut, perkawinan anak perlu menjadi perhatian Negara karena dampaknya yang masif, bahkan berpengaruh terhadap lintas generasi.

Dari segi pendidikan, perkawinan anak dapat meningkatkan risiko putus sekolah. Hal itu selanjutnya juga berdampak terhadap ekonomi, saat pendidikan rendah berkorelasi terhadap pendapatan yang rendah pula.

Selain itu, karena memiliki beban baru untuk menafkahi keluarga, perkawinan anak juga meningkatkan risiko naiknya angka pekerja anak. Berbagai hal itu meningkatkan risiko pada tingginya angka kemiskinan, tidak hanya pada generasi tersebut tetapi juga generasi-generasi berikutnya.

Adapun dari segi kesehatan fisik, perkawinan anak sangat berisiko bagi ibu yang mengandung serta anak yang dilahirkan. Anak perempuan secara fisik belum siap untuk mengandung dan melahirkan, sehingga perkawinan anak meningkatkan risiko angka kematian ibu dan bayi, komplikasi kehamilan dan keguguran, masalah kesehatan reproduksi, berat badan lahir rendah dan kekerdilan (stunting).

“Ketidaksiapan mental untuk membina rumah tangga juga meningkatkan risiko kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, tidak sehat mental, dan pemberian pola asuh yang tidak tepat pada generasi selanjutnya,” katanya.

Menteri Bintang dalam acara Peluncuran Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) tersebut mengapresiasi inisiatif Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) dan Badan Pusat Statistik (BPS) yang telah mengumpulkan, mengolah dan menerbitkan data perkawinan anak di Indonesia di tingkat nasional dan provinsi.

Menurutnya, data-data tersebut dapat menjadi masukan dalam penyusunan kebijakan, program dan kegiatan pembangunan. BPS diharapkan juga dapat menghasilkan data di tingkat kabupaten/kota agar dapat menjadi bahan masukan terkait upaya-upaya intervensi pelayanan yang dilakukan di tingkat kabupaten/kota.

Kemudian, dengan penerbitan dokumen Stranas PPA itu, Menteri Bintang berharap semua pemangku kepentingan di berbagai sektor dapat meningkatkan komitmen masing-masing dalam mendukung upaya pencegahan perkawinan anak.

Sebelumnya, PPPA juga telah meluncurkan Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak dengan merangkul semua pihak utamanya pimpinan daerah yang masuk dalam 20 provinsi dengan angka perkawinan anak di atas angka nasional.

Selanjutnya Kementerian PPPA juga sedang menyusun Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan menyusul ditetapkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Itu usia minimum perkawinan menjadi 19 tahun, baik bagi laki-laki maupun perempuan, serta menanggapi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin.

“Pekerjaan rumah kita selanjutnya adalah mengubah pandangan masyarakat mengenai perkawinan anak. Perlu saya garis bawahi bahwa hanya dengan sinergi dan kerja bersama dengan berbagai pihak, praktik-praktik perkawinan anak dapat kita percepat penghapusannya secara lebih terstruktur, holistik dan integratif,” katanya.

Tantangan SDM unggul

Sementara Kementerian PPN/Bappenas menyebut salah satu tantangan besar dalam upaya membangun sumber daya manusia (SDM) yang unggul adalah perkawinan anak yang masih banyak terjadi di Indonesia.

“Karena sesuatu yang bagus itu hanya lahir dari orang-orang yang hebat, orang-orang yang bagus dan orang-orang yang unggul,” kata Menteri PPN Suharso Monoarfa pada acara yang sama.

Ia mengatakan perkawinan anak menjadi tantangan besar dalam pembangunan SDM karena pernikahan tersebut merupakan bentuk tindak kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-hak anak. “Karena perkawinan anak memiliki dampak yang multiaspek,” katanya.

Dampak perkawinan anak tersebut antara lain meningkatkan angka kematian ibu dan balita, kekerdilan (stunting), putus sekolah, kekerasan dalam rumah tangga, kemiskinan antar generasi serta dampak-dampak lainnya.

Akibat perkawinan anak, katanya, Indonesia masih mencatatkan kasus anak-anak yang menjadi korban hanya karena masalah yang dihadapi orang tua. Akibat perkawinan anak juga, Indonesia masih mencatatkan tingginya angka kekerdilan (stunting), anak putus sekolah, kekerasan dalam rumah tangga dan kemiskinan.

Dia mencatat, saat ini pernikahan anak masih terus terjadi di beberapa daerah dengan dinamika dan faktor penyebabnya yang beragam, diantaranya tingkat pendidikan, ekonomi, nilai dan moral, sosial budaya, pemahaman agama yang keliru, dan sering situasi bencana dan konflik berpengaruh tinggi juga terhadap perkawinan anak.

Oleh karena itu, kata dia, dalam upaya memutus mata rantai dampak tersebut, pemerintah melalui kerja sama dengan berbagai pihak dituntut untuk mencari solusi guna mencegah perkawinan anak.

“Kompleksitas isu perkawinan anak tersebut menuntut berbagai pihak untuk menyusun kebijakan dan strategi yang tidak hanya sistematis, komprehensif dan terpadu tetapi juga implementatif dan tepat sasaran,” katanya.

Perkawinan anak juga menjadi salah satu indikator prioritas nasional ketiga dalam upaya meningkatkan SDM yang berkualitas dan berdaya saing melalui program prioritas peningkatan kualitas anak perempuan dan pemuda dengan menargetkan penurunan angka perkawinan anak dari 11,2 persen pada 2018 menjadi 8,74 persen pada 2024.

Sementara itu, untuk mencapai target tersebut, strategi yang dilakukan antara lain melalui penguatan koordinasi dan sinergi dalam upaya pencegahan perkawinan anak dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.

“Perkawinan anak merupakan isu multisektor sehingga pencegahan perkawinan anak memerlukan kontribusi dari berbagai pihak, baik dari unsur pemerintah dan nonpemerintah termasuk keluarga dan masyarakat,” katanya. (net/lin)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *