Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) berkomitmen mendukung pertumbuhan usaha tak hanya di kelas mikro, tapi juga mendorong kelas Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Salah satunya melalui pengusulan insentif serta inovasi pembiayaan melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan KUR Agregator.
semarak.co-Pelaksana tugas (Plt.) Deputi Bidang UKM KemenKopUKM Temmy Satya Permana mengatakan, pembiayaan menjadi isu penting bagi UMKM termasuk di sepanjang 10 tahun Pemerintahan Presiden Jokowi.
“Bapak Presiden telah mengeluarkan banyak kebijakan pembiayaan menjadi karpet merah bagi UMKM, pemberian Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM) untuk modal kerja pelaku usaha mikro dan restrukturisasi kredit,” ujar Temmy dalam konferensi pers di gedung KemenKopUKM kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (3/10/2024).
Saat ekonomi mulai pulih, kutip Temmy, presiden memberikan arahan untuk porsi pembiayaan bagi UMKM sebesar minimal 30% dari total kredit perbankan serta memberikan program KUR klaster yang sangat membantu usaha produktif yang dimiliki para pelaku usaha mikro dan kecil dalam suatu klaster.
Penyaluran KUR juga meningkat setiap tahunnya, tahun ini ditargetkan hingga Rp 297 triliun. Tantangannya masih 47 persen kebutuhan pembiayaan UMKM yang belum dapat terlayani oleh lembaga jasa keuangan atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Maka, pembiayaan UMKM harus terus diperbesar dan dipermudah untuk dapat menjangkau karakteristik pelaku UMKM yang tidak seragam. Ada Mikro, Kecil, dan Menengah,” kata Temmy dirilis humas usai acara melalui pesan elektronik redaksi semarak.co, Kamis malam (3/10/2024).
Hasil kajian Ernts and Young dan AFPI (2023) menunjukkan adanya kesenjangan antara permintaan dan suplai pembiayaan UMKM pada tahun 2026, yakni kebutuhan pendanaan sebesar Rp4.300 triliun dan suplai hanya Rp1.900 triliun.
Permintaan kredit sangat besar namun supply kredit dari lembaga keuangan masih terbatas. Temmy menyebut, mayoritas penerima kredit UMKM adalah usaha mikro sebesar 46,21 persen, diikuti oleh usaha kecil sebesar 31,26 persen, dan menengah sebesar 22,53 persen.
Target porsi kredit perbankan ke UMKM sebesar 30%, pihaknya juga tidak yakin bisa tercapai. Sampai saat ini baru sekitar 19,6 persen. Maka, ada pekerjaan rumah yang belum selesai. Namun hal itu dapat didukung melalui pembiayaan klaster, aggregator, dan pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Temmy menyampaikan, UKM juga membutuhkan insentif terkait pembiayaan dan investasi. Maka, inovasi kebijakan pembiayaan untuk UMKM perlu terus diperkuat. Melalui mekanisme rantai pasok agregator, memperluas jangkauan ini dapat membantu mengatasi masalah kredit rantai pasok melalui skema supply chain financing.
“KUR Klaster misalnya yang ada saat ini, dapat memperkuat rantai pasok dengan mendukung perajin lokal dalam meningkatkan produksi dan memperluas jangkauan pasar,” ujar Temmy ambil menambahkan.
Pada rantai pasok Pemerintah dan BUMN, terdapat lebih dari 8.146.219 produk dan 346.857 penyedia UMKM dalam ekatalog LKPP, tetapi realisasi transaksi belanja produk UMKM baru mencapai Rp208,5 triliun atau 43% dari total belanja sebesar Rp844,2 triliun.
“Kami berharap realisasi tahun ini bisa mencapai Rp 400 triliun, semua UMKM dapat mengambil manfaat dari program ini. Maka, pasarnya masih besar bagi UKM, yang salah satunya perlu didorong melalui sektor pembiayaan,” kata Temmy.
Ia berharap, tahun ini usulan terkait KUR tersebut bisa didorong dalam Pemerintahan baru maupun hingga akhir tahun ini. Selain itu, selama ini juga telah dilakukan beberapa inovasi pembiayaan yang dilakukan.
Seperti, Sistem Innovative Credit Scoring (ICS) dirancang untuk memperluas akses pembiayaan bagi UMKM dengan proses yang lebih cermat dan berbasis teknologi. Juga beberapa alternatif pembiayaan berbasis teknologi semakin penting seperti P2P (Peer to Peer) lending dan security crowd funding.
Kesempatan sama, Asisten Deputi Pembiayaan dan Investasi KemenKopUKM Ali Manshur menambahkan, tujuan KemenKopUKM mengusulkan adanya KUR Agregator ini adalah untuk memperkuat pembiayaan bagi pelaku UKM.
“Skema-skema pembiayaan itu menyasar pelaku usaha mikro dengan mendorongnya dari bawah untuk naik kelas. Sementara kami mencoba menariknya dari atas. Karena itu, kami sedang merumuskan KUR Agregator di atas plafon Rp500 juta. Tetapi harus dipastikan pengaksesnya adalah pelaku UMKM” ucap Ali.
Ali menambahkan, dalam mendukung inovasi pembiayaan dan investasi bagi UMKM, KemenKopUKM juga mengembangkan beberapa program prioritas. Pertama, Program SME EPIC memberikan pendampingan kepada UMKM untuk terhubung dengan investor, termasuk pelatihan pitching dan business link up.
Kedua, Program Bisnis Layak Funding (BISLAF) menyediakan bantuan bagi lebih dari 180 UMKM dalam melakukan pitching kepada penyandang dana, sementara lebih dari 1.720 UMKM lainnya akan tetap mendapatkan akses pembiayaan melalui lembaga keuangan.
Ketiga, SME IPO membantu UMKM memasuki pasar modal melalui forum pasar modal, pelatihan terstruktur, business matching, serta kerja sama dengan Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk memonitor proses IPO (Initial Public Offering). (smr)