Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) mengalami dualisme kepengurusan. Kubu versi Sri Untari dan versi Nurdin Halid. Kementerian Koperasi (Kemenkop) dan UKM pun membantah tudingan telah berpihak pada salah satu versi kepengurusan Dekopin itu.
semarak.co– Sekretaris Kementerian Koperasi (Sesmenkop) dan UKM Rully Indrawan memastikan Menteri Koperasi (Menkop) dan UKM Teten Masduki dan dirinya tidak terlibat apapun dalam permasalahan yang melilit tubuh Dekopin itu.
“Kami tidak berpihak pada urusan yang sifatnya hak sebuah organisasi. Malahan kami membutuhkan organisasi Dekopin yang besar dan kuat untuk bersana-sama memerangi dampak negatif pandemi Covid – 19 terhadap ekonomi rakyat melalui koperasi,” tegas Rully dirilis Humas Kemenkop dan UKM yang beredar di kalangan wartawan, Kamis (10/9/2020).
Pihaknya, lanjut Rully, bahkan sudah mengundang kedua belah pihak untuk membicarakan permasalahan yang terjadi secara baik-baik. Meski kemudian belum ada solusi.
Adapun duduk perkara dualisme kepengurusan Dekopin ini, bermula ketika berlangsungnya Musyawarah Nasional (Munas) Dekopin November 2019 yang dibuka Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki di Sulawesi Selatan.
Hasil musyawarah menetapkan Anggaran Dasar (AD) Dekopin baru. Berdasarkan AD baru ini, peserta munas memilih secara aklamasi dan menetapkan Nurdin Halid sebagai Ketua Umum Dekopin periode 2019 – 2024.
Di sisi lain, terdapat sekelompok peserta Munas yang tidak menyetujui AD baru ini berlaku. Alasannya karena berdasarkan perundang-undangaan harus diubah melalui Keputusan Presiden (Keppres). Mereka yang tidak setuju pun memilih walk-out (WO) dari Munas.
Kelompok ini kemudian menyelenggarakan rapat pleno dan memutuskan Sri Untari sebagai Ketua Umum. Dari sini permasalahan inilah, akhirnya terdapat dualisme kepengurusan Dekopin. Setelah Munas, kedua pihak menemui Menkop dan UKM untuk melaporkan hasil Munas berdasarkan versi masing-masing.
Menurut Rully, Menkop dan UKM meminta agar kedua belah pihak melakukan rekonsiliasi dengan menugaskan Sesmenkop dan Deputi Bidang Kelembagaan untuk memediasi. Namun belum ada titik temu.
“Selanjutnya kelompok Untari membuat surat ke Dirjen Perundang-Undangan karena dianggap Pak Nurdin Halid melanggar Keppres Nomor 6 Tahun 2011 tentang Dekopin. Kemudian keluar surat bahwa kepengurusan yang legal itu adalah kepengurusan Bu Untari,” terang Rully.
Rully kemudian menambahkan, “Kami sangat menghormati surat Dirjen Perundang-Undangan tersebut. Walau muncul pro dan kontra, kami mempersilakan agar pihak-pihak yang kurang puas untuk mengambil jalur hukum.”
Sebagai orang yang berlatarbelakang gerakan koperasi, lanjut dia, dirinya sangat mendukung upaya rekonsiliasi damai untuk Dekopin yang kuat, bersatu, dan bermanfaat bagi masyarakat koperasi yang senyatanya. “Hingga bisa membawa pesèŕan sejarah ke masa depan,” pungkasnya.
Sekretaris jenderal Forum Komunikasi (Sekjen Forkom) Koperasi Besar Indonesia (KBI) Irsyad Muchtar mengatakan, langkah yang dilakukan Sri Untari merupakan proses reaksi dari aksi yang dilakukan Nurdin Halid. “Menurut saya, Nurdin Halid memang secara de facto terpilih sebagai Ketum Dekopin walau melanggar AD/ART,” ucap Irsyad.
Sementara Sri Untari, di mata Irsyad, sebagai pihak yang melakukan protes dan tetap mentaati AD/ART organisasi. Berbekal AD/ART yang ditinggalkan Nurdin, Sri Untari mengaku secara de jure sebagai Ketua Umum Dekopin yang baru.
“Dan hasil itu pula diamini pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM yang mengakui Sri Untari sebagai Ketum Dekopin,” imbuh Irsyad, mantan pengurus Dekopin saat dimintai tanggapannya oleh neraca.co.id, Kamis (10/9/2020).
Sri Untari, nilai dia, hanya perlu mencari pengakuan secara de facto melalui Munas Khusus Dekopin.”Jadi, ketika ada demo dari pihak yang menamakan Masyarakat Koperasi Indonesia atau MAKI, itu sesuatu yang memalukan. Kita tahulah siapa yang bermain di belakang demo tersebut,” sindir Irsyad.
Yang menarik, lanjut Irsyad, para penggerak koperasi justru banyak yang tak ambil pusing alias bodo amat atas kisruh kepengurusan di Dekopin. Dalam kajian Irsyad, pelaku koperasi di Indonesia itu terdiri dari tiga klaster.
Klaster pertama, pegiat atau praktisi koperasi yang di pikirannya hanya bisnis semata dalam memajukan koperasinya. Kedua, pengamat koperasi yang biasanya berasal dari kalangan akademisi dan mantan pejabat koperasi.
“Klaster ketiga, para politisi koperasi. Nah ini yang anomali, selalu bikin ramai dunia koperasi tapi tidak memiliki koperasi. Mereka ini banyak bergabung di Dekopin, Dekopinwil, dan Dekopinda. Dan melalui Dekopin ini menjadikan koperasi sebagai alat menuju karir politik di DPR atau lembaga lainnya,” tukas Irsyad.
Bahkan, kata Irsyad, mayoritas pegiat koperasi bahkan tidak tahu sama sekali apa manfaatnya Dekopin bagi kemajuan dan pengembangan koperasi di Indonesia. “Coba saja cabut tuh dana APBN untuk Dekopin, Insya Allah para perusuh itu bakal keluar kandang mencari keju di tempat lain,” pungkas Irsyad. (net/smr)