Kemenkes Nilai Jumlah Fakultas Kedokteran Cukup

Sekarang jumlah Fakultas Kedokteran (FK) di Indonesia mencapai 84 fakultas. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menilai jumlah tersebut cukup. Jadi tidak perlu ada pendirian FK baru. Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kemenkes Usman Sumantri mengatakan jika tahun depan diprediksi akan ada 12 ribu sarjana kedokteran di Indonesia.

“Padahal baru 73 FK yang produksi (menghasilkan lulusan, Red). Bayangkan kalau 84 FK produksi semua,” ungkap Usman ketika hadir sebagai pembicara dalam satu diskusi, di Jakarta, Kamis (9/11).

Jumlah dokter di Indonesia tentu akan bertambah banyak. Usman mengatakan untuk sekarang ini setiap satu dokter melayani 2270 orang. Idealnya adalah 1 : 2500. Dia menilai jumlah FK di Indonesia harus dibatasi.

Sekarang ini menurut Usman, pemerintah baru membatasi jumlah mahasiswa FK yang diterima. Dia menjelaskan jika beberapa kali melakukan pertemuan dengan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) untuk membahas tentang pembatasan tersebut. “Ada instrumen untuk menghitung. Misalnya memperhatikan lulusan, jumlah dosen, mutu lulusan, dan sebagainya,” ujarnya.

Peraturan tersebut akan dijalankan pada Februari nanti. Wacana pembatasan jumlah FK juga didukung oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI). Ketua Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian (MPPK) dr Poedjo Hartono SpOG menyetujui gagasan dari Usman untuk membatasi FK. ”Kami sudah dari dulu mengusulkan,” ujarnya.

Alasan Poedjo mendukung hal tersebut lantaran pemerintah dianggap belum bisa mendistribusikan dokter dengan baik. Dokter masih banyak menumpuk di kota besar. “Sekarang pemerintah baru bisa mendistribusikan lima spesialis dasar, spesialis kandungan, anak, penyakit dalam, bedah, dan anastesi,” tutur Poedjo.

Kemenkes memang memiliki program wajib kerja dokter spesialis (WKDS) yang baru berjalan tahun ini. Terkait dengan kecukupan jumlah FK di Indonesia, Kemenristekdikti sudah menetapkan kebijakan moratorium pendirikan fakultas baru. Ketentuan ini termasuk juga pendirian FK. “Moratorium ini sementara diberlakukan di lingkungan PTN. Khususnya PTN di bawah Kemenristekdikti,” kata Menristekdikti Mohamad Nasir.

Dia mengakui jumlah FK di Indonesia sudah cukup banyak. Termasuk di antaranya fakultas di bawah rumpun ilmu kesehatan, tak terkecuali juga FK. Nasir bahkan menyampaikan gagasan supaya sejumlah fakultas di bawah rumpun kesehatan digabung. Mulai dari kedokteran, keperawatan, dokter gigi, dan fakultas kesehatan masyarakat.

Khusus untuk FK, Nasir menuturkan sebelumnya Kemenristekdikti memberlakukan moratorium izin FK baru. Alasan pencabutan izin moratorium itu adalah, untuk membenahi FK yang masih akreditasi C supaya bisa naik kelas menjadi B. Selama masa moratorium ada tujuh FK yang naik kelas dari akreditasi C dan B.

Dirjen Kelembagaan Kemenristekdikti Patdono Suwignjo menutukan dicabutnya moratorium izin FK baru, bukan berarti pembukaan FK semakin mudah. Dia mengatakan izin tidak dikeluarkan, ketika usulannya tidak memenuhi syarat. Dosen ITS Surabaya itu menuturkan dalam setiap pemberian izin pendirikan FK baru, Kemenristekdikti akan membentuk tim evaluasi bersama instansi lain. Di antaranya melibatkan Kemenkes, IDI, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), serta asosiasi rumah sakit pendidikan.

Menurut dia salah satu tantangan besar pembukaan FK baru adalah penyediaan dosen yang memenuhi ketentuan rasio dosen-mahasiswa. Untuk bidang eksakta perbandingannya adalah 1:20 artinya 1 dosen berbading 20 orang mahasiswa.

Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya Prof Abdul A’la berharap tidak ada moratorium lagi untuk pendirian FK. Karena meskipun secara nasional dianggap cukup, tapi dia mendapatkan masih banyak daerah yang membutuhkan dokter. Diduga distribusi dokter tidak merata.

”Bukan hanya di luar Jawa, di Madura saja masih banyak yang membutuhkan tenaga dokter. Termasuk di daerah yang sulit dijangkau di Jatim,” ujar dia saat dikonfirmasi kemarin (9/11).

Dia bersama Rektor UIN Raden Fatah, Palembang M. Sirozi dan Rektor UIN Syarif Kasim Riau Munzir Hitami menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Selasa (31/10) pekan lalu. Tiga UIN itu mengungkapkan niatnya untuk mendirikan fakultas kedokteran di kampus masing-masing. Mereka mengklaim sudah menyiapkan sarana prasarana. Kerja sama dengan rumah sakit mitra sebagai syarat pendirian fakultas tersebut juga sudah ditangan.

Lebih lanjut Prof A’la menuturkan problem distribusi dokter itu bisa diatasi dengan skema beasiswa kerja sama dengan pemerintah daerah misalnya. Calon mahasiswa direkrut dari daerah yang memang masih membutuhkan tenaga dokter. “Jadi harus orang dusun yang dididik (jadi dokter). Biar dia punya komitmen untuk kembali ke desanya,” ujar pria kelahiran Sumenep, 5 September 1957 itu.

Persiapan untuk pendirian Fakultas Kedokteran di UIN Sunan Ampel juga sudah dilakukan jauh-jauh hari. Bahkan sudah ada kerjasama dengan tiga rumah sakit. Yakni RS Siti Hajar Sidoarjo sebagai rumah sakit utama, RS Bhayangkara dan RS Haji Surabaya sebagai afiliasi. Mereka juga kerja sama dengan pemprov NTB untuk memberikan beasiswa pada mahasiswa.

Rektor UIN Raden Fatah Palembang Prof M Sirozi menuturkan pihaknya sudah mengirimkan proposal lengkap pengajuan fakultas kedokteran sesuai deadline Kemenristek Dikti bulan lalu. Dia berharap proposal tersebut bisa segera ditindaklanjuti. “Silakan saja kalau mau moratorium lagi. Tapi proposal yang sudah masuk seharusnya diproses,” kata dia kepada Jawa Pos, kemarin (9/11).

Dia menuturkan di atas kertas bisa jadi rasio jumlah penduduk dan jumlah dokter di Indonesia sudah hampir mencukupi. Tetapi distribusi dokter masih sangat pincang antara Jawa dan luar Jawa. Sebagian besar dari 83 Fakultas Kedokteran berada di kampus di Jawa. Selain itu rasio jumlah dokter antara perkotaan dan pedesaan atau daerah tertinggal masih belum seimbang.

“Untuk daerah lain, seperti Sumsel, yang wilayah pedesaan dan kawasan pesisirnya sangat luas, pendidikan kedokteran masih perlu penambahan. Agar pengadaan dan pemerataan tenaga dokter bisa dipercepat,” tambah dia.

Dia berharap kebijakan moratorium sebaiknya dibatasi untuk daerah tertentu yang telah cukup jumlah fakultas Kedokterannya. “Kebijakan pembukaan Prodi Pendidikan Kedokteran harus berbasis kebutuhan riil,” tegas Prof Sirozi. (jpc/lin)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *