Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) hingga saat ini masih menyelenggarakan pendidikan jarak jauh (PJJ) untuk mencegah kampus dan sekolah menjadi sarana penularan wabah virus corona jenis baru penyebab Covid-19.
semarak.co– Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim mengatakan, Kemendikbud memiliki komitmen untuk mengatasi pandemi Covid-19 dengan segenap daya dan upaya. Sekolah dan kampus, lanjut dia, mempunyai potensi klaster penularan Covid-19.
“Jangan sampai kampus dan sekolah menjadi sarana penularan virus Covid-19. Prioritas kami keselamatan dan kesehatan murid dan ortu (orang tua). Oleh karena itu, kita masih menerapkan PJJ,” ujar Nadiem dalam webinar nasional di Jakarta, Selasa (21/7/2020).
Pendidikan jarak jauh itu, nilai Nadiem, terutama untuk sekolah-sekolah yang berada di zona merah, oranye, dan kuning. Untuk zona hijau dapat dilakukan di sekolah dengan menerapkan protokol kesehatan guna pencegahan penularan Covid-19.
Nadiem juga menegaskan bahwa prinsipnya adalah keselamatan dan kesehatan dan menjadi prioritas utama. “Jangan sampai sarana pendidikan sarana penularan virus. Ini adalah tanggung jawab kolektif insan pendidikan di Indonesia,” kata dia.
Dia juga menjelaskan pelaksanaan PJJ telah membuka mata terkait dengan tantangan dan potensi pembelajaran metode itu. Meski tidak bisa menggantikan pembelajaran tatap muka, kata dia, pembelajaran daring memberikan manfaat tersendiri.
Karena itu, pihaknya akan terus mengembangkan sistem pembelajaran dan teknologi pembelajaran daring, sebagai pelengkap pembelajaran tatap muka. “Sekali lagi, pembelajaran daring adalah pelengkap bukan pengganti pembelajaran tatap muka,” tuturnya.
Negara maju sudah menerapkan itu dan Indonesia tidak mau ketinggalan menerapkan itu. Nadiem mengibaratkan pandemi Covid-19 sebagai ledakan yang dapat menjadi momentum untuk melakukan lompatan pendidikan yang lebih baik lagi.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menilai PJJ atau pembelajaran secara daring (dalam jaringan) yang dilakukan selama pandemi Covid-19 banyak memengaruhi kesehatan jiwa anak, terutama remaja.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kemenkes Fidiansjah mengatakan, besarnya persoalan terkait kesehatan jiwa selama Covid-19 tersebut dapat dilihat dari hasil studi penilaian cepat dampak Covid-19 dan pengaruhnya terhadap anak Indonesia yang dilakukan oleh lembaga masyarakat Wahana Visi Indonesia pada Mei 2020.
“Potret itu menggambarkan betapa tinggi persoalan kesehatan jiwa pada anak remaja pada periode COVID-19 kalau tidak diantisipasi dengan cepat,” kata Fidiansjah dalam konferensi pers bersama Gugus Tugas Percepatan Penanganan (GTPP) Covid-19 di Graha BNPB, Jakarta, Selasa (21/7/2020).
Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa proses belajar mengajar yang dilakukan selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menyebabkan hanya sekitar 68 persen anak yang mempunyai akses terhadap jaringan. “Berarti 32 persennya tidak mendapatkan sarana tersebut,” katanya.
Dampak dari keterbatasan anak terhadap jaringan tersebut menyebabkan mereka harus belajar secara mandiri tanpa pendampingan guru. “Dan itu menimbulkan satu dampak, dengan 37 persen anak tidak bisa mengetahui waktu belajar karena tadinya rutin belajar lalu dia harus belajar mandiri,” katanya.
Kemudian, 30 persen di antaranya juga mengalami kesulitan untuk memahami pelajaran secara mandiri karena tidak ada pendampingan dari guru. Sementara itu, 21 persen anak bahkan dinilai tidak dapat memahami instruksi guru berdasarkan proses belajar daring.
Selain itu, dampak psikososial dari pembelajaran yang dilakukan selama pandemi juga, menurut dia, cukup mengkhawatirkan. “Ada 47 persen anak itu bosan tinggal di rumah. Kemudian 35 persen anak khawatir akan ketinggalan pelajaran karena tidak seperti biasa, dia tidak mengikuti pelajarannya,” katanya.
Berikutnya, ada 34% anak merasa takut karena Covid-19 walaupun sudah berada di dalam rumah, dan 20 persen anak merasa rindu untuk bertemu teman-temannya. Sementara itu, 10 persen anak lainnya merasa khawatir tentang penghasilan orang tua mereka yang menurun akibat pandemi Covid-19. “Jadi (mereka) ikut berpikir,” katanya.
Data lain yang ia sampaikan juga menyebutkan bahwa 11 persen anak mengalami kekerasan fisik karena proses belajar yang tidak lazim. Sedangkan 62 persen anak juga tercatat mengalami kekerasan verbal. (pos/smr)