Kemendukbangga harus Bisa Wujudkan Indonesia Emas 2045 dan Kebijakan Demografi harus Dikendalikan Pemerintah Pusat

Sekretaris Kemendukbangga/BKKBN Prof. Budi Setiyono. Foto: humas Kemendukbangga

Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) secara eksplisit disebutkan bahwa Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/Badan Koordinator Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) harus dapat mewujudkan Indonesia Emas 2045.

semarak.co-Sekretaris Kemendukbangga/BKKBN Prof. Budi Setiyono mengatakan, akan mencoba mengkonstruksi data kependudukan yang reliabel, bisa diandalkan. Sehingga di dalam data itu bisa tergambar tidak hanya data makro saja, tetapi juga harus memuat data tentang lowongan pekerjaan yang tersedia.

Bacaan Lainnya

Salah satu komponen yang diperlukan dalam mewujudkannya adalah pemanfaatan bonus demografi. Pemanfaatan bonus demografi belum dikontruksikan secara holistik dan integratif. Akibatnya, isu tentang bonus demografi bisa jadi tidak akan menghasilkan sesuatu sesuai harapan, tetapi bahkan bisa menjadi bumerang.

Hal itu dikemukakan pada pertemuan pembahasan Penyusunan Naskah Akademis Usulan Revisi Undang Undang (UU) No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) di kantor Kemendukbangga/BKKBN, Jakarta Timur, Kamis (16/1/2024),

Menurut Prof. Budi bonus demografi sejatinya harus bisa memanfaatkan surplus jumlah orang usia produktif sehingga menghasilkan kontribusi fiskal dari sektor pajak. Artinya, mereka harus memiliki pekerjaan di mana mereka bisa membayar pajak agar penerimaan negara menjadi optimal.

Dalam kerangka itu, dan juga dalam konteks revisi UU No. 23 /2014 tentang Pemda, menurut Prof. Budi, perlu ada satu kerangka kebijakan kependudukan yang bersifat holistik, integratif dan komprehensif.

“Itu hanya bisa dilakukan kalau di dalam proses pengendalian penduduk, dalam konteks kebijakan demografi, dikendalikan sepenuhnya oleh pemerintah pusat, tidak diserahkan secara otonom kepada pemerintah daerah,” ucap Prof. Budi dirilis humas usai acara melalui WAGrup Jurnalis Kemendukbangga/BKKBN, Kamis (17/1/2025).

Jika diserahkan secara otonom kepada pemerintah daerah (Pemda), dalam pandangan Prof. Budi, konstruksi di dalam pemanfaatan bonus demografi tidak akan berjalan optimal. Pasalnya didalam program kependudukan ada banyak hal.

Beberapa hal yang ada di dalam program kependudukan tersebut seperti, distribusi penduduk, kepadatan penduduk, migrasi, urbanisasi, lanskeping terkait kebutuhan fasilitas umum, rumah sakit, tenaga kerja dan lainnya.

Lebih lanjut Prof. Budi menambahkan kalau hal itu diotonomkan sepenuhnya kepada daerah, maka tidak bisa dilakukan rekonsiliasi dan sinergitas. Ia mencontohkan soal kepadatan penduduk di Jawa Barat dengan populasi 48 juta jiwa. Sementara ada provinsi yang jumlah penduduknya kurang dari 1 juta jiwa.

“Kalau di provinsi dengan jumlah penduduk sedikit tapi di situ ada kawasan industri yang membutuhkan tenaga kerja banyak, dan di sisi lain ada provinsi yang kelebihan tenaga kerja tetapi keterbatasan lowongan kerja, itu tidak bisa dilakukan rekonsiliasi dan sinergi,” jelas Prof. Budi.

Persoalan Kependudukan seperti dicontohkan itu hanya bisa dikendalikan kalau urusan kependudukan diselenggarakan di tingkat pusat. Dalam hal ini, Kemendukbangga/BKKBN harus dapat memberikan data demografi untuk mengatasi hal-hal seperti itu.

“Kita juga harus bisa memprediksikan, kalau sekian bayi lahir maka sekian tahun kemudian berapa sekolah dan rumah sakit yang dibutuhkan. Atau fasilitas umum yang dibutuhkan harus berapa kapasitas volumenya,” kata Prof. Budi.

“Data kependudukan juga sangat dibutuhkan dunia pendidikan. Dikarenakan jika punya data Kependudukan yang bisa diandalkan, kita akan tahu jumlah tenaga teknik kimia yang dibutuhkan,” demikian Prof. Budi menambahkan.

Prof Budi menyampaikan “Kalau surplus lulusan yang tidak bekerja pada bidangnya, maka kita bisa menyuguhkan data kepada Menteri Pendidikan (Mendik) agar tenaga kerja yang tidak terserap dikurangi inputnya, dan ditambah jurusan yang banyak dibutuhkan di market.”

Kegalauan Prof. Budi cukup beralasan. Pasalnya, jika tidak didukung data yang akurat, maka akan berakibat pada penyusunan konstruksi perencanaan pembangunan dan pelaksanaan kebijakan cenderung tidak terarah.

Karena itu, sambung dia, kita harus punya data kependudukan yang reliabel, yang canggih, yang bisa dimanfaatkan secara instan oleh kementerian atau lembaga (K/L) yang ada atau juga oleh pemda, sehingga tidak ada kemubaziran.

Mereka tidak memiliki prediksi kalau tidak memiliki data kependudukan yang handal. Di bagian lain sambutannya, Prof. Budi menyodorkan data di saat bangsa ini sedang
menuju akhir bonus demografi di 2030, di mana saat ini terdapat 190-an juta penduduk usia produktif.

Ironisnya, jumlah kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), sebelum ada pemaduan NPWP dan Nomor Induk Kependudukan (NIK), ada sekitar 61 juta penduduk. Data itu menunjukkan penduduk usia produktif masih menanggung sebagian besar penduduk tidak produktif.

Hal ini terjadi karena pembangunan yang dijalankan belum memiliki data kependudukan yang komprehensif dan kebijakan yang belum berwawasan kependudukan, serta tidak ada persiapan perencanaan awal yang reliabel. Tentu ini akan menjadi beban bagi upaya menggapai bonus demografi menuju Indonesia Emas 2045.

Saat ini supply dan demand belum tergambar dalam satu tata kependudukan yang reliabel. “Kita sedang bergerak menuju ke sana dan akan memperbaiki data-data kependudukan, khususnya data keluarga, yang setiap saat bisa diandalkan menjadi rujukan K/L dan pihak lain,” tutup Prof. Budi. (hms/ken/smr)

Pos terkait