Kemendikdub Terbitkan Buku Bahasa Indonesia Laras Jurnalistik, Ternyata 75% Guru tak Miliki Kompetensi Ini

Diskusi kelompok terpumpun penyusunan dan sosialisasi buku Bahasa Indonesia Laras Jurnalistik bagi insan media massa di Jakarta, Senin (30/11/2020). Foto: indopos.co.id

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (BPPB) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra menggelar diskusi kelompok Terpumpun Penyusunan dan Sosialisasi Buku Bahasa Indonesia Laras Jurnalistik, di Jakarta, Senin (30/11/2020).

semarak.co-Kegiatan yang diikuti lebih dari 20 insan media tersebut menjadi rangkaian dari penyusunan buku Bahasa Indonesia Laras Jurnalistik yang diperuntukkan bagi insan media. Namun dari diskusi ini ditemukan sebanyak 75% siswa di Indonesia diajar oleh guru yang tidak memiliki kompetensi Bahasa Indonesia yang baik.

Bacaan Lainnya

Anggota Majelis Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Willy Pramudya mengatakan, ini menyebabkan tingkat literasi membaca siswa di Indonesia rendah. Kendati tidak secara tunggal kompetensi rendah guru Bahasa Indonesia mempengaruhi tingkat literasi membaca siswa rendah.

Ternyata kondisi tersebut makin diperparah oleh kompetensi Bahasa Indonesia yang dimiliki guru mata pelajaran (Mapel) lainnya. Hasil PISA sejak Indonesia ikut dari 2000 selalu menempati peringkat terakhir. Apabila peserta PISA 65 negara, Indonesia peringat 64.

“Kemampuan siswa yang diukur PISA di antaranya kemampuan membaca, matematika dan sains. Negara Indonesia pun apabila naik peringkat hanya di sepuluh besar paling buncit terbawah,” kata Willy.

PISA 2018 Indonesia peringat 72 dari 77 negara untuk membaca, sementara untuk matematika peringkat 72 dari 78 negara dan sains peringkat 70 dari 78 negara. Kemampuan membaca siswa di Indonesia, menurut Willy, kemampuan terendah di dunia.

“Bahkan, Indonesia kalah dengan negara Vietnam dan China telah menempati peringat atas bersama negara Singapura. Kita sudah ditinggalkan jauh oleh China. Kenapa? Karena China berani mengubah kurikulum,” ujarnya.

Misalnya siswa berat dengan 5 mata pelajaran, lanjut dia, maka akan dikurangi menjadi 3. Kalau masih terlalu berat lagi, maka akan dikurangi 2 mata pelajaran saja. Untuk mencapai kulaitas pendidikan nasional yang diharapkan, maka pemerintah harus belajar dari negara-negara yang berhasil dalam bidang pendidikan.

Hal terpenting, menurutnya, pemerintah harus melakukan evaluasi guru dan tenaga kependidikan. “Kalau guru enggak lulus UKG jangan diberi kesempatan. Lalu guru enggak lulus UKBI jangan diberi kesempatan lagi. Cukup ditepatkan sebagai staf saja,” ujarnya.

Kepala BPPB E Aminuddin Azis mengatakan, proses penyusunan Buku Bahasa Indonesia laras Jurnalistik saat ini masih terus berlangsung. Berbagai masukan masih dihimpun untuk menghasilkan buku yang nantinya bisa dijadikan panduan bagi insan media dalam hal penulisan.

“Konsepnya sudah ada dan kita masih terus menyusunnya, Insya Allah dalam waktu dekat sudah siap terbit,” kata Aminuddin.

Pakar Bahasa Indonesia Abdul Gaffar Ruskan menambahkan, buku panduan untuk insan media ini sangat penting. Karena sejatinya bahasa media dengan bahasa sehari-hari itu berbeda.

“Bahasa untuk media massa itu berbeda dengan bahasa sehari-hari bahkan dengan bahasa yang digunakan kalangan akademik,” kata Abdul Gaffar.

Diakui Abdul Gaffar dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, terkadang para jurnalis mengindahkan kaidah Bahasa Indonesia yang benar. Hal itu tidak hanya berdampak pada medianya, tetapi juga pembacanya.

Untuk itu perlu semacam pedoman bagi pekerja media dalam melakukan tugasnya, yakni sebuah buku pedoman. “Jika menggunakan Bahasa Indonesia yang sesuai dengan tuntutan profesi, maka kualitas jurnalistik juga semakin baik,” kata Abdul.

Sekretaris PWI Jaya Kesit Handoyo mengatakan, saat ini profesi jurnalistik menghadapi masalah dengan persoalan penggunaan bahasa Indonesia. Sebab banyak media-media terutama media daring yang mulai abai kaidah bahasa Indonesia.

“Malah ada media yang sengaja memilih judul yang memantik keinginan orang untuk membaca,” katanya.

Padahal dalam penulisan jurnalistik ada kaidah yang memang harus ditaati. Tidak hanya dari segi huruf capital tetapi juga pemilihan kata dan penyusunan kalimat. Tak hanya itu, munculnya media sosial yang sering menggunakan kata tak baku atau kata-kata popular juga menjadi persoalan yang dihadapi oleh kalangan media.

Kata-kata yang digunakan oleh media sosial ini seringkali menjadi acuan masyarakat dalam berbahasa. “Prinsip dan karakteristik jusrnalistik itulah yang membedakan media dengan media sosial. Selain itu pelanggaran yang banyak dilakukan oleh media sosial dalam hal penulisan di ruang publik, seringkali juga diikuti oleh media massa.

Misalnya saja anak korban kejahatan, lanjut Kesit, atau pelaku kejahatan yang usianya dibawah umur menurut undang-undang, tidak boleh disebutkan namanya apalagi memunculkan fotonya.

Tetapi di zaman sekarang, media sosial begitu bebas mengeksposnya tanpa terikat dengan kaidah dan prinsip jurnalistik. Kesit menambahkan idealnya media turut mengedukasi masyarakat dengan penggunaan Bahasa Indonesia yang sesuai dengan aturan yang ditetapkan.

Senada disampaikan Willy Pramudya. Menurutnya prinsip penulisan jurnalistik harus tetap ditaati oleh para jurnalis dalam menyajikan pemberitaan. Karena itu ia mengajak kalangan media untuk kembali menggunakan bahasa Indonesia yang bermartabat dan mencerahkan. (net/smr)

 

sumber: menara62.com/indopos.co.id

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *