Salah satu visi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) adalah menciptakan keluarga berkualitas yang mana kuncinya ada pada orangtua hebat.
semarak.co-Demikian disampaikan Kepala BKKBN dokter Hasto saat membuka kegiatan Kelas Orang Tua BERSAHAJA (Bersahabat dengan Remaja) yang dilaksanakan secara daring melalui Zoom Meeting dan disiarkan langsung melalui kanal Youtube BKKBN Official, Kamis (14/3/2024).
Tema pertama yang diangkat pada kelas kali ini membahas mengenai Hubungan dan Relasi, dengan topik Komunikasi Efektif dan Pola Asuh. Dihadiri ribuan peserta, kelas ini menyasar kader Bina Keluarga Remaja (BKR) serta orangtua yang memiliki remaja usia 10-24 tahun belum menikah.
dr Hasto menyinggung banyaknya fenomena perceraian, menghasilkan keluarga broken home sehingga anak tidak mendapatkan kasih sayang utuh dari orangtua. Konflik di dalam rumah tangga apabila diselesaikan dengan logika itu berat, hasilnya pasti kacau. Tapi harus diselesaikan dengan perasaan.
Dirinya menyebut para anak korban broken home seringkali membentuk kelompoknya sendiri, di mana mereka saling berbagi keluhan satu sama lain. Bahkan anak-anak dari keluarga baik-baik namun terlantar dan merasa tidak mendapat kasih sayang turut bergabung menjadi anak jalanan.
“Mereka silent, orangtua tidak tahu, jumlahnya cukup besar dan kondisi (mentalnya) memprihatinkan,” papar dr Hasto dirilis humas usai acara melalui WAGroup Jurnalis BKKBN, Jumat (15/3/2024).
Menurut dr Hasto, mindset anak yang merasa ditelantarkan orangtuanya sangat berbeda dengan anak dari keluarga harmonis. Karena itu, selain mengajarkan etika dan norma, dr Hasto juga mengajak para orangtua agar menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya.
“Dimulai dari keluarga inilah akan dihasilkan anak yang baik dan tidak lemah. Lemah ini tidak hanya dari sisi ekonomi, melainkan juga lemah mentalnya, lemah imannya, lemah perilakunya. Orangtua yang banyak bercerai tadi, ketika kita analisis 70% penyebabnya adalah masalah kecil yang mereka tidak bisa memaklumi,” katanya.
Masalah berikutnya adalah ekonomi serta faktor hadirnya pihak ketiga. Ketika didalami, berawal dari masalah kecil berkembang jadi kronis. Karena itu, sebelum menyentuh masalah anak, para orangtua perlu belajar menyampaikan komunikasi satu sama lain. Sebagai kepala rumah tangga harus lebih dewasa, bisa menahan emosi dan istri juga bisa memaklumi,” tugas dokter Hasto lagi.
Direktur Bina Ketahanan Remaja, Dr. Edi Setiawan membagi peran penting remaja dalam konteks program Pembangunan Keluarga, Kependudukan, Keluarga Berencana (Bangga Kencana) menjadi tiga aspek.
Pertama, sebagai calon penduduk usia produktif dan calon aktor pembangunan yang harus berkualitas. Kedua, sebagai calon pasangan yang akan membangun keluarga berkualitas. Ketiga, sebagai calon orangtua yang akan melahirkan SDM yang juga harus berkualitas.
Oleh karena itu, menurut Edi, BKKBN berupaya memastikan remaja-remaja di Indonesia mampu menyiapkan diri agar memiliki perencanaan dalam mempersiapkan dan melewati lima transisi kehidupan remaja.
Meliputi, mempraktekan hidup sehat, melanjutkan pendidikan, memulai mencari pekerjaan, menjadi anggota masyarakat yang baik, serta memulai kehidupan keluarga. Namun, Edi berpendapat seringkali terdapat hambatan dalam hubungan antara orangtua dan remaja.
Karena berbeda generasi sehingga masalah komunikasi acap kali terjadi. Tantangan orangtua dalam membimbing remaja dalam bidang akademik dan pendidikan seksualitas adalah faktor-faktor yang ikut memberikan kontribusi dalam pembentukan karakter remaja.
“Orangtua yang memiliki remaja perlu membekali diri dengan terus meng-upgrade pengetahuan dan keterampilan dalam menghadapi permasalahan tersebut,” tandas Edi dirilis humas BKKBN ini.
Empat jenis pola asuh orangtua, disebutkan oleh Johana Rosalina K, PhD, meliputi Authoritative (kehangatan, tanggapan, kontrol, ketegasan tinggi), Indulgent (memanjakan, hangat tapi tidak ada kontrol), Neglectful (tidak ada kontrol dan dingin) dan Authoritarian (kontrol dan ketegasan tinggi tapi dingin).
Dirinya menyebut pola asuh yang salah dapat membentuk pribadi yang negatif dalam diri anak. “Mari kita belajar menjadi orangtua yang authoritative. Ini sebagai pola asuh kepada anak-anak kita,” papar Johana dirilis yang sama.
Demokratis dengan mengajak anak aktif berdiskusi, lanjut Johana, dengarkan dan berikan tanggapan yang responsif. “Jangan menjadi orangtua yang abai dan cuek, apalagi otoriter karena akan berdampak negatif dan membuat anak terluka, nantinya anak akan menjadi pendendam,” paparnya.
Menurut Johana, pada dasarnya prinsip membuat remaja bertanggung jawab adalah dengan mengajarkan konsep diri yang positif, cara bertanggung jawab, membantu remaja independen dapat memecahkan masalahnya sendiri, dan menetralisir argumen dengan tenang.
“Cara orangtua bicara pada anak, menjadi ‘inner voice’ anak, misal ketika orangtua bicara dengan nada tinggi maka dalam benak anaknya akan merasa tidak berharga karena orangtuanya hanya marah-marah dan tidak puas pada pencapaian anaknya,” kata Johana.
Lebih lanjut, hal tu akan membentuk konsep diri anak yang minder, pemalu, penakut, dan tidak percaya diri. Sebaliknya, masih menurut Johana, jika orang tua mendukung anaknya dan memberikan afirmasi positif pada pencapaian anaknya, maka akan membentuk anak yang percaya diri dan merasa kagum pada dirinya.
Hal ini akan mempengaruhi pencapaian anak di masa mendatang. Hambatan komunikasi dari sisi orangtua, kata Johana, meliputi kritik yang berlebihan dengan membandingkan antar anak, tidak mendengarkan cerita anak, menggunakan ‘power’ orangtua, serta terlalu banyak nasihat.
Melengkapi sudut pandang dari sisi remaja, apt. Valerie Kezia mengatakan kerap kali remaja bermasalah dalam berkomunikasi dengan orangtuanya. “Ketika remaja mau cerita sama orangtuanya, seringkali mendapatkan respon gestur pengabaian,” katanya.
Masalah lain berupa kekerasan, baik verbal, fisik, maupun psikologis. Dirinya juga kerap mendapat curhatan dari teman-temannya, dimana terdapat ikatan emosional yang rendah antara teman dan orangtuanya tersebut.
“Mereka satu rumah, tapi komunikasinya kurang baik. Karena orangtua sibuk bekerja, terdapat pengabaian sehingga banyak emosi yang terpendam dan mengakibatkan miskomunikasi. Di dalam komunikasi dengan orang tua, hal-hal yang dibutuhkan anak adalah rasa didengarkan tanpa di-judge,” ujarnya.
“Generasi saya, khususnya milenial dan Gen Z punya cara komunikasi yang berbeda. Kita tidak bisa diperlakukan sama seperti orang tua kita di ‘treat’ orang tua mereka dulu. Terkadang orang tua tanpa sadar menurunkan luka masa kecilnya ke anaknya,” demikian Johana menambahkan.
Selain itu, menurutnya, remaja juga butuh diberikan ruang yang aman dan nyaman, dimaklumi apabila memberikan pendapat yang berbeda dengan orangtuanya, butuh divalidasi emosinya, serta orangtua perlu menjaga privasi anaknya. (smr)