Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menyampaikan banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan beragam motif dan modus khususnya di masa pandemi ini, perlu menjadi perhatian seluruh pihak.
semarak.co-Oleh karenanya, Menteri PPPA Bintang mengajak semua pihak untuk turut serta berjuang menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak, salah satunya dengan mendukung dan mengawal agar Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat segera disahkan.
“Pandemi Covid-19 menyebabkan perempuan dihadapkan dengan berbagai isu sosial baru,” terang Menteri Bintang membuka Diskusi Publik: Potret Situasi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual Tahun 2021 yang dilaksanakan LBH APIK Jakarta secara vitual dari Jakarta, Jumat (10/12/2021).
Selain dampak ekonomi dan kesehatan mental yang ditimbulkan, lanjut Menteri Bintang, penggunaan internet yang semakin masif di masa pandemi telah meningkatkan risiko perempuan mengalami kekerasan berbasis gender online (KBGO).
Data Komnas Perempuan mencatat, pada 2020 angka kekerasan berbasis gender siber mengalami kenaikan pesat, hampir 400 persen. Data SAFENet juga menunjukkan tren serupa, yakni pada 2020 laporan penyebaran konten intim secara non-konsensual mengalami peningkatan sebesar 375%.
Meski terdapat pergeseran pola-pola kekerasan di masa pandemi, seperti meningkatnya KBGO dan angka dispensasi perkawinan anak, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang biasa mendominasi tren kasus kekerasan di tahun-tahun sebelumnya, juga tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan.
Data SIMFONI PPA pada Januari – 2 Desember 2021, menunjukkan kasus KDRT mendominasi bentuk kekerasan yang paling banyak dilaporkan, yakni 74 persen dari total 8.803 kasus. Data tersebut juga mengungkapkan, selama pandemi pada 2021 terdapat 12.559 kasus kekerasan terhadap anak.
Kasus kekerasan seksual menjadi kasus kekerasan terhadap anak yang paling banyak dilaporkan, yakni 60 persen dari total kasus. “Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa di masa pandemi, anak juga tidak terbebas dari ancaman kekerasan,” tuturnya.
Besarnya dampak isu kekerasan terhadap kualitas SDM Indonesia di masa depan, kata dia, membuat Presiden Joko Widodo memberikan amanat langsung kepada Kemen PPPA untuk menjalankan 5 isu prioritas, salah satunya adalah ‘menurunan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Sejak tahun lalu, fungsi Kemen PPPA juga telah diperkuat melalui adanya Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2020, sebagai penyedia layanan rujukan akhir bagi perempuan korban kekerasan dan layanan komprehensif bagi anak yang membutuhkan perlindungan khusus, dan memerlukan koordinasi tingkat nasional, lintas provinsi, dan internasional.
Menteri Bintang menuturkan, Kemen PPPA terus melakukan berbagai upaya untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan dan anak, melalui penguatan koordinasi, sinergi, dan jejaring dengan berbagai pemangku kepentingan dalam pencegahan hingga penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Penguatan ini dilakukan dengan mendorong pembentukan unit layanan di daerah, memperkuat basis data, mendorong peningkatan kapasitas SDM, menyediakan layanan call center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129, dan membuat berbagai program salah satunya pemberdayaan ekonomi bagi perempuan penyintas.
Namun, Menteri Bintang menekankan berbagai upaya yang dilakukan Kemen PPPA tidak akan mencapai hasil optimal tanpa adanya payung hukum yang mengatur perlindungan kekerasan terhadap perempuan dan anak secara komprehensif.
“Oleh karena itu, saya meminta semua pihak untuk mendukung dan mengawal agar Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat segera disahkan. Mari kita bangun semangat dan sinergi baru, untuk mewujudkan perlindungan menyeluruh dan sistematik,” ajak Menteri Bintang.
Serta, lanjut Menteri PPPA Bintang, menciptakan lingkungan yang aman bagi perempuan dan anak Indonesia untuk tumbuh, berkembang, dan berdaya, agar kelak tercipta SDM unggul di masa depan, demi Indonesia Maju.
Pada kesempatan yang sama, Direktur LBH APIK Jakarta, Siti Mazuma mengungkapkan berdasarkan catatan akhir tahun (CATAHU) LBH Apik Jakarta, sepanjang 2021 terdapat 1.321 aduan kasus yang masuk, angka tersebut meningkat drastis dibandingkan pada 2020 yaitu 1.178 kasus.
“Dari total pengaduan yang masuk, kekerasan berbasis gender online (KBGO) menjadi kasus yang paling banyak dilaporkan, yakni 489 kasus, disusul kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) 374 kasus, tindak pidana umum 81 kasus, Kekerasan dalam pacaran 73 kasus, dan kekerasan seksual dewasa 66 kasus,” ungkap Zuma.
Zuma menambahkan selama lima tahun terakhir melakukan pendampingan, KDRT menjadi kasus yang paling tinggi diadukan, namun situasi berbeda di 2021, dimana kasus KBGO berada di posisi tertinggi, menggeser KDRT.
Hal ini dipengaruhi kondisi pandemi Covid-19, dimana ruang lingkup interaksi semakin terbatas, budaya patriarki meluas melalui interaksi virtual/online, serta sistem perlindungan dan keamanan perempuan tidak berpihak kepadanya.
Situasi ini memberi dampak negatif serius pada korban seperti reviktimisasi, kriminalisasi, kekerasan, intimidasi, dan bentuk kekerasan lainnya. “Untuk itu, LBH APIK Jakarta mendorong dan merekomendasikan kepada banyak pihak,” ujar Zuma sambil melanjutkan.
“Salah satunya Pemerintah untuk membuat kebijakan yang berpihak kepada perempuan korban kekerasan melalui pengesahan RUU PKS; memastikan terlaksananya pengarusutamaan gender di semua Kementerian/Lembaga,” kutipnya.
Lalu melakukan revisi UU ITE yang banyak memakan korban dan sering digunakan pelaku dalam membungkam korban; serta mendorong revisi KUHP dan KUHAP dengan mengintegrasikan Sistem Peradilan Pidana Terpadu untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. (smr)