Keabsahan Penetapan Ketua Dewan Pers 2022-2025

Ilustrasi palu hakim dalam mengajukan gugatan hukum. Foto: Proxima Studio/Shutterstock

Oleh Hendra J Kede *)

semarak.co-Kalau pembaca yang budiman terkejut dengan judul di atas, penulis bahkan teramat sangat terkejut saat sampai pada substansi judul tersebut. Keputusan membuat judul di atas berawal dari ketidaksengajaan. Secara kebetulan. Tak ada niat untuk meneliti itu pada awalnya.

Bacaan Lainnya

Penulis kebetulan sedang mempelajari dan meneliti peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum pers. Di antara yang penulis pelajari itu adalah UUD NRI 1945, Peraturan Perundang-undangan (PP, Perpres, Permen, Perda, dan lain-lain), dan Peraturan-peraturan yang pernah diterbitkan oleh Dewan Pers.

Judul di atas muncul saat penulis mencoba menghubungkan norma-norma dalam Peraturan Perundangan-undangan tersebut dengan proses pembentukan struktur Dewan Pers, di antaranya proses pemilihan Ketua Dewan Pers pada kurun waktu periode kepengurusan 2022-2025.

*

Penulis mempelajari dan membandingkan dua Statuta Dewan Pers, yaitu

  1. Statuta Dewan Pers yang diterbitkan tahun 2016, selanjutnya sebut saja Statuta 2016;
  2. Statuta Dewan Pers yang diterbitkan tahun 2023, selanjutnya sebut saja Statuta 2023.

Kedua statuta tersebut digunakan dalam 2 (dua) kali pemilihan Ketua Dewan Pers periode 2022-2025, yaitu Mei 2022 dan Januari 2023.

Sebelum mempelajari kedua Statuta tersebut, penulis juga mempelajari UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) karena Statuta Dewan Pers secara prinsip sebenarnya merupakan aturan turunan/pelaksanaan dari UU Pers.

Selanjutnya penulis mencari informasi apa landasan yuridis dan bagaimana mekanisme penetapan struktur Dewan Pers pada pemilihan bulan Mei 2022 yang menghasilkan Prof. Azyumardi Azra sebagai Ketua, maupun pada pemilihan Januari 2023 yang menghasilkan Ninik Rahayu sebagai Ketua Dewan Pers definitif pengganti Prof. Azyumardi Azra yang wafat 18 September 2022 di Malaysia, empat bulan setelah memegang jabatan Ketua Dewan Pers.

*

Penyusunan struktur Dewan Pers periode 2022-2025, termasuk pemilihan Ketua dan Wakil Ketua menunjuk pada Statuta 2016 yang ditetapkan melalui Peraturan Dewan Pers Nomor: 01/Peraturan-DP/IX/2016 tentang Statuta Dewan Pers tanggal 8 September 2016.

Pasal 6 Statuta 2016 mengatur bahwa Anggota Dewan Pers berjumlah 9 (sembilan) orang. Berasal dari 3 (tiga) unsur yaitu unsur Wartawan, unsur perusahaan pers, dan unsur masyarakat. Tiap-tiap unsur berjumlah 3 (tiga) Anggota.

Pasal 11 mengatur bahwa peresmian Anggota Dewan Pers terpilih dilakukan dengan Surat Keputusan Presiden.

Pasal 17 mengatur bahwa Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers dipilih pleno Dewan Pers dari dan oleh Anggota Dewan Pers untuk masa jabatan tiga tahun.

Setelah dinyatakan sebagai Anggota Dewan Pers terpilih periode 2022-2025 oleh Badan Pekerja Pemilihan Anggota (BPPA), maka telah diresmikan oleh Presiden melalui Keppres Nomor: 14/M Tahun 2022 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Keanggotaan Dewan Pers.

Selanjutnya 9 (sembilan) Anggota Dewan Pers yang telah diresmikan Presiden tersebut menyelenggarakan rapat pleno perdana untuk memilih Ketua, Wakil Ketua, dan para Ketua Bidang pada bulan Mei 2022.

Terpilihlah Prof. Dr. Azyumardi Azra dari unsur masyarakat sebagai Ketua dan Muhamad Agung Dharmajaya dari unsur perusahaan pers sebagai Wakil Ketua Dewan Pers periode 2022-2025.

Semua proses di atas, sepanjang pendalaman penulis terhadap regulasi yang ada, sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya UU Pers dan Statuta 2016.

*

Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun

Minggu, 18 September 2022, Prof. Dr. Azyumardi Azra, Ketua Dewan Pers Republik Indonesia, wafat di Malaysia, kurang lebih 4 (empat) bulan setelah beliau terpilih sebagai Ketua Dewan Pers Republik Indonesia.

Pada saat Ketua Dewan Pers, Prof. Azyumardi Azra, berhalangan tetap karena  meninggal dunia, penulis hanya menemukan Pasal 18 Statuta 2016 sebagai  peraturan hukum yang mengaturnya, tidak ada peraturan yang lain, pada peraturan mana pun.

Pasal 18 Ayat (1) Stuta 2016 menyatakan bahwa Wakil Ketua Dewan Pers yang sedang menjabat otomatis menjadi Ketua Dewan Pers sampai akhir periode.

Konsekuensi hukumnya adalah pleno Dewan Pers terdekat setelah Prof. Azyumardi wafat tinggal menindaklanjutinya saja secara administratif yaitu membuat berita acara pengesahan Wakil Ketua Dewan Pers yang sedang menjabat sebagai Ketua Dewan Pers. Dan dilanjutkan dengan memilih Wakil Ketua Dewan Pers pengganti pada pleno yang sama.

*

Namun yang terjadi adalah Wakil Ketua Dewan Pers hanya ditetapkan sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Dewan Pers oleh peserta pleno. Aneh dan mengundang tanda tanya memang, kenapa pleno Dewan Pers tidak melaksanakan Pasal 18 Ayat (1) Statuta Dewan Pers yang berlaku.

Yaitu Statuta 2016 saat menggelar pleno Dewan Pers pada bulan September 2022 sesaat setelah Prof. Azyumardi wafat? Apakah ini bisa dipandang sebagai pelanggaran terhadap hukum yang berlaku, yaitu Pasal 18 Ayat (1) Statuta 2016?

Bukankah jelas, tegas, dan terang benderang dinyatakan pada Pasal 18 Ayat (1) Statuta 2016 bahwa Wakil Ketua Dewan Pers otomatis menjadi Ketua Dewan Pers definitif sampai berakhir kepengurusan Dewan Pers periode 2022-2025 jika Ketua Dewan Pers berhalangan tetap?

Kok Anggota Dewan Pers bermain-main api dengan mengesampingkan dan mengutak-atik aturan yang berlaku? Dan memang, menurut penelitian penulis terkait masalah ini, pada tahap inilah mulainya utak atik aturan dilakukan Anggota Dewan Pers periode 2022-2025. Entahlah, apa urgensi dan kepentingannya utak atik aturan itu dilakukan.

Satu bukti dimulainya utak atik aturan itu adalah dimunculkannya istilah Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Dewan Pers, padahal tak satu pun pasal dalam Statuta 2016 mengatur nomenklatur Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Dewan Pers.

Dan Statuta 2016 itu masih berlaku sebagai satu-satunya peraturan yang mengatur pengisian struktur Dewan Pers saat itu. Sampai di sini penulis berpendapat, ada problem hukum tentang keabsahan Plt. Ketua Dewan Pers karena tidak adanya nomenklatur itu dalam Statuta 2016.

*

Informasinya, sebagian Anggota Dewan Pers menghendaki ditegakannya Pasal 18 Ayat (1) Statuta 2016 di mana Wakil Ketua otomatis menjadi Ketua definitif. Dan sebagain lain berpendapat berbeda.

Publik pada akhirnya hanya tahu hasilnya, seperti disampaikan di atas, Wakil Ketua Dewan Pers yang sedang menjabat tidak ditetapkan sebagai Ketua definitif namun ditetapkan sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Dewan Pers. Dan pada perjalanannya, Plt Ketua Dewan Pers ini lumayan lama bertugas, sekitar 4 (empat) bulan, September 2022-Januari 2023.

Ada yang bertanya, hanya 4 (empat) bulan kok dibilang lama? Jawabannya sederhana saja, 4 (empat) bulan itu bukan saja lama tapi bisa sangat lama jika dibandingkan dengan ketentuan yang berlaku yaitu otomatis, saat itu juga, seketika menjadi Ketua begitu Ketua lama berhalangan tetap.

*

Awal Januari 2023, empat bulan setelah posisi Ketua Dewan Pers dijabat Plt, keluar pemberitahuan Dewan Pers kepada publik:  Ketua Dewan Pers definitif pengganti Prof. Azyumardi Azra yang meninggal dunia dijabat oleh Ninik Rahayu.

Pertanyaan logisnya tentu adalah kok bukan Wakil Ketua Dewan Pers definitif yang ditetapkan sebagai Ketua definitif sebagaimana amanat Pasal 18 Ayat (1) Statuta 2016? Namun pertanyaan itu terjawab dengan pemberitahuan berikutnya.

Statuta Dewan Pers 2016 telah dicabut dan diganti dengan Statuta Dewan Pers 2023 yang ditetapkan melalui Peraturan Dewan Pers Nomor: 02/Peraturan-DP/I/2023. Anehnya dari sisi hukum, Statuta 2023 tersebut ditandatangani oleh Ninik Rahayu selaku Ketua Dewan Pers pada tanggal 13 Januari 2023.

*

Informasi penting disajikan secara kronologis. Pertanyaan pembaca yang budiman sama dengan pertanyaan penulis. Bukankah tanggal 13 Januari 2023 itu adalah hari dan tanggal di mana Ninik Rahayu juga terpilih dan ditetapkan rapat pleno Dewan Pers sebagai Ketua Dewan Pers definitif pengganti (alm) Prof. Dr. Azyumardi Azra?

Bukankah itu semua aneh secara hukum? Bagaimana seseorang menandatangani Statuta 2023 dalam posisi sebagai Ketua Dewan Pers padahal orang yang sama dipilih sebagai Ketua Dewan Pers merujuk kepada Statuta 23 tersebut?

Penulis benar-benar tidak bisa menemukan nalar hukum sebagai pembenar hal tersebut. Apakah pembaca yang budiman memiliki nalar hukum untuk memberi penjelasan logis atas hal tersebut?

*

Statuta Dewan Pers 2016 disebutkan dalam Pasal 18 Ayat (1) bahwa jika Ketua Dewan Pers berhalangan tetap maka Wakil Ketua Dewan Pers otomatis menjadi Ketua Dewan Pers definitif. Dan ketentuan ini dicabut pada tanggal 13 Januari 2023 bersamaan dengan disahkannya Statuta 2023.

Bahkan, lebih dahsyatnya, Statuta 2023 juga mengatur hilangnya hak 6 (enam) Anggota Dewan Pers dari unsur wartawan dan unsur perusahaan pers untuk menduduki posisi Ketua Dewan Pers yang mana hak itu diberikan oleh UU Pers. Tinggi mana sih UU Pers dengan Statuta Dewan Pers?

Pasal 17 Ayat (2) Statuta Dewan Pers 2023 menyatakan bahwa Ketua Dewan Pers hanya bisa dijabat oleh Anggota Dewan Pers dari unsur tokoh masyarakat. Dan pada Statuta 2023 baru diatur nomenklatur Pelaksana Tugas Ketua Dewan Pers yaitu pada Pasal 18 Ayat (1) yang menyatakan Wakil Ketua otomatis menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Ketua jika Ketua berhalangan tetap.

Menurut penulis perubahan ini telah melanggar setidaknya tiga hal, yaitu pelanggaran atas Hak Asasi Manusia, pelanggaran atas Konstitusi, dan pelanggaran atas Undang Undang Pers (termasuk di dalamnya pelanggaran azas Kepastian Hukum).

Pelanggaran atas HAM

Pelanggaran atas HAM terang benderang benar-benar telah terjadi dengan nyata. Hak Asasi Manusia 6 (enam) Anggota Dewan Pers dari unsur wartawan dan unsur pimpinan perusahaan pers yang dijamin Pasal 28 UUD NRI 1945 telah dilanggar dengan adanya larangan menduduki jabatan Ketua Dewan Pers orang Anggota Dewan Pers dari kedua unsur ini.

Aspek pelanggaran UU Pers

Ini lebih jelas lagi. Pasal 15 Ayat (4) UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dengan jelas menyatakan bahwa Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh Anggota Dewan Pers. Semua Anggota Dewan Pers memiliki hak hukum yang sama untuk dipilih sebagai Ketua Dewan Pers.

Sekali lagi, semua Anggota Dewan Pers, menurut UU Pers, memiliki hak dan peluang yang sama untuk menduduki jabatan Ketua Dewan Pers, dari unsur mana pun mereka berasal. Kan aneh, Ketua Dewan Pers tidak boleh diduduki oleh unsur wartawan atau unsur perusahaan pers?

Aspek kepastian hukum

Statuta 2016 mengatur Wakil Ketua otomatis menjadi Ketua jika Ketua Dewan Pers berhalangan tetap. Ketika norma hukum dalam Statuta 2016 ini tidak ditegakan begitu Ketua Dewan Pers berhalangan tetap pada 18 September 2022 maka aspek kepastian hukum telah dilanggar.

Terlebih lagi ketika secara nyata dibuat-buat nomenklatur Pelaksana Tugas (Plt) Ketua yang tidak ada rujukan hukumnya sama sekali dalam Statuta 2016, maka, sekali lagi, terang benderang terlanggar aspek kepastian hukum.

*

Ada memang istilah Pelaksana Harian (Plh), Pelaksana Tugas (Plt), Pejabat Sementara (Pjs), dan Pejabat (Pj) dalam administrasi pemerintahan. Namun penggunaan semua itu diatur dalam sebuah aturan. Ada payung hukumnya.

Tidak boleh tidak ada payung hukumnya ketika itu digunakan. Maka dengan tidak adanya rujukan hukum terkait nomenklatur Pelaksana Tugas Ketua saat Ketua Dewan Pers berhalangan tetap, apakah posisi Plt Ketua itu sah secara hukum?

Apakah seluruh dokumen yang ditandatangani oleh Plt Ketua Dewan Pers pada kurun waktu September 2022-Januari 2023 sah secara hukum dan memiliki kekuatan hukum? Apakah semua dokumen keuangan yang ditandatangani Plt Ketua Dewan Pers sah dan dibenarkan menurut tata kelola keuangan negara di mana Dewan Pers dibiayai oleh APBN?

Kalau tidak dibenarkan, apakah segala dana yang dikeluarkan itu merupakan tindak pidana korupsi karena kelalaian? Itu akan penulis bahas pada tulisan lain jika memungkinkan, insya Allah.

*

Pertanyaan kritis selanjutnya adalah apa dasar hukum pemilihan dan penetapan Ketua Dewan Pers definitif pengganti Prof. Azyumardi Azra, apakah Statuta 2016 atau Statuta 2023? Jika merujuk pada Statuta 2016, maka yang memenuhi syarat hukum untuk ditetapkan sebagai Ketua Dewan Pers adalah Wakil Ketua yang sedang menjabat.

Jika merujuk pada Statuta Dewan Pers tahun 2023 hanya Anggota Dewan Pers yang mewakili unsur tokoh masyarakat yang dapat ditetapkan sebagai Ketua Dewan Pers pengganti Prof. Azyumardi Azra. Fakta hukum yang menarik untuk dicermati adalah bahwa Statuta Dewan Pers 2023 secara administratif disahkan dan mulai berlaku semenjak ditandatangani oleh Ninik Rahayu selaku Ketua Dewan Pers pada tanggal 13 Januari 2023.

Sehingga penulis mengambil kesimpulan, tentulah Ninik Rahayu tidak ditetapkan sebagai Ketua Dewan Pers dengan menggunakan Statuta 2023 sebagai rujukan peraturannya. Hal itu dikarenakan Statuta 2023 ditandatangani setelah Ninik Rahayu menjabat sebagai Ketua Dewan Pers.

Setelah Ninik Rahayu memiliki kekuasaan penuh secara hukum sebagai Ketua Dewan Pers. Statuta 2023 dengan demikian baru berlaku setelah Ninik Rahayu menjabat sebagai Ketua Dewan Pers. Sehingga tidak mungkin secara logika hukum Ninik Rahayu dipilih berdasarkan Statuta 2023.

Semua mengetahui bahwa peraturan yang belum ditandatangani oleh pejabat yang berwenang tidak dapat diperlakukan sebagai dasar hukum dalam melakukan perbuatan hukum walaupun sudah disahkan dan diketuk palu.

Analoginya, seperti sebuah UU, walaupun sudah disepakati pemerintah dan DPR belum dapat menjadi dasar hukum. Baru dapat menjadi dasar hukum jika sudah ditandatangani Presiden dan diundangkan. Sehingga, sekali lagi, tentu Ninik Rahayu tidak dapat dipilih sebagai Ketua Dewan Pers dengan menggunakan Statuta Dewan Pers 2023 yang ditandatanganinya sendiri selaku Ketua Dewan Pers.

*

Apa implikasinya dari fakta di atas? Posisi Ketua Dewan Pers secara hukum harus dipandang kosong semenjak 18 September 2022, khususnya lagi semenjak 13 Januari 2023. Ninik Rahayu tidak memenuhi aspek hukum baik dari Statuta 2016 maupun Statuta 2023 sebagai Ketua Dewan Pers tanggal 13 Januari 2023.

Sehingga penetapan Ninik Rahayu sebagai Ketua Dewan Pers pada tanggal 13 Januari 2023 tentulah berstatus BATAL DEMI HUKUM alias dianggap tidak pernah dipilih sebagai Ketua Dewan Pers. Seluruh dokumen yang ditandatangani Ninik Rahayu selaku Ketua Dewan Pers tentulah juga BATAL DEMI HUKUM.

Karena Ninik Rahayu tidak memiliki kewenangan hukum untuk bertindak sebagai Ketua Dewan Pers. Seluruh penggunaan APBN sepanjang ditandatangani oleh Ninik Rahayu sebagai Ketua Dewan Pers tentulah dipandang sebagai suatu perbuatan pengelolaan keuangan negara bukan oleh yang memiliki kewenangan hukum.

*

Maka berdasar itu semua, penulis berpendapat sebagai berikut:

  1. Batal demi hukum Statuta Dewan Pers 2023 dengan segala implikasi hukumnya karena ditandatangani oleh bukan pejabat yang berwenang;
  2. Batal demi hukum, penetapan Ninik Rahayu sebagai Ketua Dewan Pers yang ditetapkan pada tanggal 13 Januari 2023 karena tidak merujuk kepada Statuta 2016;
  3. Berlaku secara sah Statuta Dewan Pers 2016 sampai saat ini.

Penutup

Indonesia sudah ditetapkan Konstitusi sebagai negara hukum maka marilah institusi-institusi negara dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum, terutama lagi institusi Dewan Pers, induk dari komunitas pilar ke empat demokrasi.

*) Ketua Dewan Pengawas YLBH Catur Bhakti / Partner pada Kantor Hukum E.S.H.A and Partners / Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI 2017-2022 / Ketua Pengurus Nasional Mapilu-PWI 2003-2013 / Wakil Ketua Dept. Kerjasama dan Komunikasi Umat ICMI Pusat

 

sumber: WAGroup Pengurus PWI Pusat 2023-2028 (postKamis10/10/2024/hendra)

Pos terkait