Penulis Heintje Mandagie *)
Semarak.co – Babak baru dalam sejarah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) telah dimulai dengan dikembalikannya kunci kantor PWI oleh Dewan Pers dan terbitnya Surat Keputusan (SK) Kementerian Hukum (Kemenkum) yang mengesahkan kepengurusan baru.
Menyusul terpilihnya Direktur Utama Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA, Akhmad Munir sebagai Ketua Umum PWI yang baru. Namun, di balik serangkaian legitimasi formal ini, akar persoalan yang menggerogoti marwah organisasi PWI justru belum tersentuh dan terus menyisahkan persoalan besar.
Organisasi sebesar PWI pun bisa diobok-obok dari pusat sampai daerah hanya karena tuduhan miring terhadap segelintir pengurus pimpinan pusat. Meskipun segala proses administrasi dan organisasi tampak ‘selesai’ dengan diselenggarakannya Musyawarah Nasional (Munas) atau Kongres PWI dibubuhi Persatuan.
Dan pengesahan Kemenkum RI, proses pelengseran Ketua Umum sebelumnya Hendry Ch. Bangun, tetap diliputi oleh cacat fundamental yang melibatkan peran institusi negara dan lembaga pers sendiri. Penulis tidak sedang membela kehormatan Hendry dan mencampuri urusan internal PWI.
Namun Kasus PWI ini bukan sekadar konflik internal; ini adalah alarm merah dan preseden destruktif bagi seluruh organisasi pers di Indonesia. Tindakan penyegelan kantor PWI oleh Dewan Pers dan keterlibatannya dalam memicu dualisme menunjukkan bahwa lembaga yang seharusnya menjadi pelindung kini dapat bertindak sebagai eksekutor yang melampaui wewenang (ultra vires).
Hal ini menimbulkan kekhawatiran serius bahwa Dewan Pers dapat menggunakan pengaruhnya untuk menghancurkan tatanan organisasi pers lain yang berkonflik bahkan tanpa dasar hukum yang kuat.
Keputusan Kemenkum RI untuk memblokir akses administrasi PWI dan kemudian menerbitkan SK kepengurusan baru—yang lahir dari Munas yang dipertanyakan keabsahan konstitusionalnya—adalah pengesahan formal terhadap proses yang zalim.
Hal ini mengirimkan sinyal berbahaya: organisasi pers manapun dapat dihancurkan melalui kolaborasi lembaga pers (Dewan Pers/internal) dan instansi pemerintah (Kemenkum RI), asalkan sanksi inkonstitusional dikemas rapi menjadi penyelesaian administratif.
Legitimasi Semu Munas Baru
Munas yang melahirkan Ketua Umum baru dan SK Kemenkum RI yang mengikutinya adalah produk dari situasi darurat yang dipaksakan. Munas tersebut secara substansi lahir dari rangkaian keputusan inkonstitusional Dewan Kehormatan (DK) PWI yang memberhentikan Hendri Bangun tanpa adanya putusan pengadilan yang inkrah.
Tuduhan korupsi dan penggelapan dana organsiasi adalah hal yang sangat serius dan seharusnya ada pembuktian secara hukum. Masyarakat Pers sejatinya memegang teguh prinsip asaz praduga tak bersalah. Trial by the press seharusnya barang haram bagi komunitas pers nasional.
Hendri bisa saja terbebas dari jerat hukum karena ada yang melindungi atau ada kekuatan yang tak kelihatan memproteksi kasus tuduhan korupsi dan penggelapan dana sehingga polisi menghentikan proses penyelidikan. Namun terlepas dari spekulasi tersebut, yang pasti fakta hukumnya adalah tuduhan terhadap Hendri Ch. Bangun sudah dianulir pihak penyidik Polri.
Inilah intinya: Munas baru, pengesahan baru, dan kunci kantor yang diserahkan tidak menghapus fakta bahwa Ketua Umum PWI dilengserkan hanya berdasarkan tuduhan yang telah dibatalkan oleh Kepolisian karena tidak terbukti.
PWI secara keseluruhan dipaksa untuk menerima pengadilan oleh opini publik (trial by the press) dan manuver organisasi, mengorbankan asas praduga tak bersalah demi stabilitas semu.
Kontribusi Kezaliman Dewan Pers dan Kemenkum RI
Dewan Pers dan Kementerian Hukum Republik Indonesia memegang tanggung jawab moral dan struktural atas rusaknya tatanan PWI. Dewan Pers Merusak Tatanan: Tindakan penyegelan kantor PWI oleh Dewan Pers telah memberikan justifikasi eksternal bagi pelengseran inkonstitusional Hendri Bangun.
Penyegelan ini secara langsung memicu dan memperparah dualisme, bertindak seolah-olah Dewan Pers adalah eksekutor putusan bersalah, mengabaikan fakta penghentian kasus oleh Polisi. Peran Dewan Pers di sini telah menciptakan kerusakan permanen pada tatanan organisasi.
Dewan Pers, sebagai lembaga mediasi, seharusnya tidak menjadi pihak yang berkontribusi aktif dalam merusak tatanan organisasi dengan memicu dan memperparah dualisme kepengurusan. Tindakan ini merupakan bentuk intervensi kelembagaan yang merugikan independensi PWI.
Kemenkum RI Melegitimasi Cacat Hukum: Keputusan Kemenkum RI untuk memblokir akses administrasi PWI sebelumnya, dan kemudian menerbitkan SK baru bagi kepengurusan hasil Munas yang bermasalah secara konstitusi organisasi, telah melegitimasi seluruh proses yang cacat hukum tersebut.
Kemenkum RI, sebagai penjaga administrasi perkumpulan, seharusnya bertindak berdasarkan kepastian hukum dan AD/ART organisasi, bukan mengesahkan proses yang melanggar asas praduga tak bersalah terhadap Ketum yang sah.
Keterlibatan Kemenkumham dinilai berkontribusi merusak tatanan organisasi PWI. Aksi pemblokiran akses administrasi yang dilakukan Kemenkumham sebelum Munas, dan kemudian penerbitan SK kepengurusan baru, telah melegitimasi seluruh rangkaian prosedur yang cacat hukum dan inkonstitusional.
Kemenkumham, sesuai kewenangannya di bawah UU Ormas, seharusnya memastikan bahwa kepengurusan yang disahkan tidak lahir dari proses yang melanggar asas hukum dan merampas hak asasi Ketua Umum sebelumnya untuk mendapatkan pemulihan nama baik pasca penghentian kasus pidana.
PWI sebagai Korban Rusaknya Tatanan
Pada akhirnya, PWI bukan hanya korban perpecahan, tetapi juga korban rusaknya tatanan organisasi secara mendasar. Dengan ikut campurnya dua institusi sentral (Dewan Pers dan Kemenkum RI) dalam membenarkan pelengseran Ketua Umum tanpa bukti kesalahan hukum, PWI telah diposisikan untuk menerima keputusan yang zalim.
Meskipun kini organisasi telah bergerak dengan kepengurusan baru, luka kezaliman ini akan terus menjadi catatan hitam. Ini menunjukkan bahwa di Indonesia, seorang Ketua Umum organisasi pers sekalipun dapat dengan mudah dilenyapkan dari jabatan hanya berdasarkan tuduhan.
Asalkan ada kolaborasi lembaga pers dan institusi negara yang bersedia mengabaikan prinsip hukum tertinggi. PWI telah dipaksa mengorbankan keadilan demi ketenangan palsu.
Pelanggaran oleh Dewan Kehormatan PWI dan Munas Inkonstitusional
Pemberhentian Hendri Ch. Bangun oleh Dewan Kehormatan (DK) PWI dan pemaksaan Munas didasarkan pada sanksi yang berakar dari tuduhan yang telah gugur secara hukum.
Selain melanggar asas praduga tak bersalah, langkah ini diduga melanggar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PWI, terutama terkait mekanisme pemberhentian Ketua Umum dan penyelenggaraan Munas di luar jadwal.
Hal ini berimplikasi pada pelanggaran terhadap hak-hak perkumpulan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas), di mana organisasi harus tunduk pada AD/ART-nya sendiri.
Tanggung Jawab Hukum dan Pemulihan Nama Baik
PWI telah menjadi korban utama dari trial by the press yang dilegitimasi secara institusional. Selain rusaknya soliditas PWI hingga ke tingkat provinsi, Hendri Ch. Bangun kehilangan hak asasi untuk dipulihkan nama baiknya setelah dibebaskan dari tuduhan pidana.
Dewan Pers dan Kemenkumham wajib bertanggung jawab penuh atas kontribusi mereka dalam merusak tatanan organisasi. Jika preseden ini dibiarkan, masa depan organisasi pers di Indonesia akan berada di bawah ancaman konstan, di mana hukum bisa ditundukkan oleh manuver kekuasaan organisasi dan administrasi negara.
Peristiwa PWI harus menjadi momentum bagi seluruh komunitas pers untuk menuntut penegakan AD/ART yang ketat dan kepatuhan mutlak terhadap asas praduga tak bersalah oleh semua pihak terkait.
Meskipun PWI telah memiliki Ketua Umum dan SK Kemenkum RI yang baru, akar permasalahan hukum dan konstitusi organisasi tetap ada. Proses pelengseran Hendri Ch. Bangun secara fundamental melanggar asas praduga tak bersalah dan hak-haknya sebagai warga negara dan Ketua Umum yang sah.
Dewan Pers dan Kemenkum RI, melalui tindakan dan keputusan administratifnya, dianggap telah berkontribusi merusak tatanan organisasi PWI dan membiarkan trial by the press berujung pada pelengseran tanpa dasar hukum yang kuat.
Sehingga mempertaruhkan kredibilitas PWI sebagai organisasi pers tertua dan terbesar di Indonesia. PWI di tingkat provinsi yang tidak bersalah juga menjadi korban langsung dari dualisme yang dilegitimasi secara administratif ini.
*) Ketua Umum SPRI
Sumber:Â biskom.id/Sabtu, 27 September 2025 | 09:19 WIB di WAGroup Forum Wartawan Kebangsaan (FWK), (postJumat26/9/2025/)