Terkait Kasus Bisnis PCR Luhut dan Matinya Keberanian dan Moral Bangsa Indonesia

Screenshot Menko Marvest Luhut Binjar Pandjaitan. Foto: internet

Mengutip lintasparlemen.com, Nov 9, 2021, Mungkin semua masih ingat skandal rekaman pembicaraan terkait freeport yang akhirnya berujung tersingkirnya Sudirman Said dari Kementerian SDM, lalu mengular hingga Setya Novanto, Ketua Golkar ditahan KPK sampai hari ini.

semarak.cohttps://news.detik.com/berita/d-3075337/ada-nama-luhut-di-rekaman-novanto-freeport-jokowi-hormati-proses-mkd

Bacaan Lainnya

Waktu itu, 2015, cukup heboh. Masih pada babak pertama, rezim Jokowi. Tapi yang jelas, nama LBP sudah disebut. Uniknya, dia sama sekali tak tersentuh. Apakah dia merupakan the special person bagi Jokowi, kita tidak tahu.

Atau dia, wujud lain dari Jokowi itu sendiri, kita tidak tahu. Sebab, ada pelajaran dari sebuah perusahaan besar di Indonesia yang memainkan dua muka: tiba urusan yang ramah, baek, promotif, dan moralis, mereka menampilkan tokoh X.

Tiba urusan agresif, mereka memainkan tokoh Y. Padahal, keduanya sama saja. Sama-sama bagian dari muslihat kelompok kepentingan bisnis itu. Siapa tahu, antara LBP dan Jokowi memang berbagi peran. Peran sangar dan libas, ke X. Peran manja, gemulai dan manis, ke Y. Peran maskulin, yang berkumis. Peran feminin, ke klimis.

Berlalu waktu. Masuk babak kedua rezim Jokowi, tercatat beberapa skandal lagi-lagi melibatkan nama dia. Mulai dari kasus tambang di balik selimut operasi militer di Papua yang diungkapkan tokoh hak azazi manusia (HAM) Haris Azhar. Namanya juga terkait.

Berturut-turut setelah itu, muncul Pandora Papers. Namanya lagi-lagi tersangkut. Yang teranyar dan membuat akal sehat dan nurani publik terluka, yaitu dalam soal bisnis PCR. Bisnis aji mumpung dalam bencana Covid 19. Dia lagi-lagi tersangkut.

Anehnya, tenang-tenang saja dia. “Kau tanggung jawab,” kata Arsyad Rasyid, menduplik ungkapan LBP pada dirinya. Sampai di sini, banyak pertanyaan timbul? Kenapa kebal sekali orang ini dengan kritik publik? Sedikit pun jabatannya tidak tergoyahkan. Sedikit pun Jokowi tidak menegur yang diketahui secara publik.

Yang payah lagi, nyaris tidak ada lagi keberanian orang untuk menargerkan protes terhadap menteri paling paten ini. Bahkan mahasiswa terkulai. Aneh, yang naik pesawat harus test PCR, tapi yang baik BUS bebas PCR…???

Rupanya virus di pesawat lebih ganas dibanding virus di BUS, begitu ganasnya hingga isi dompet ikut terkapar…!!! OMG..!! Harga PCR test seperti menu di POST OFFICE, ada PCR express, ada PCR super express dan ada PCR ordinary…??? Semakin cepat hasilnya semakin mahal.

Kebobrokan, ketidakmampuan dan tipu daya menjadi komoditi business malakin publik…!!! Itulah bentuk pemalakan publik secara sistematis…!!! Belum lagi masalah tidak adanya DATA dan LAPORAN penyebab kematian ribuan orang per hari yg dinyatakan mati karena COVID-19….???

Untuk diketahui, memang benar ada penelitian yang mengungkap soal penularan di pesawat. Menurut penelitian dari International Air Transport Association (IATA), kemungkinan tertular Corona di pesawat malah lebih kecil ketimbang tersambar petir.

Dengan hanya 44 kasus di antara 1,2 miliar penumpang, itu berarti 1 dari setiap 27 juta penumpang. Kembali ke penjelasan dr Tirta. Dia juga membandingkannya dengan bioskop, yang hanya perlu vaksin dua kali. Padahal risiko penularan di bioskop tinggi.

Bahkan bioskop, yang risiko penularannya lebih tinggi sudah dibuka, cukup vaksin 2x dan Pedulilindungi. Sementara pesawat kudu PCR. Saya yakin netizen juga udah paham ini. Harusnya pemangku kebijakan nggak ACC kebijakan terbang harus swab PCR dulu, cukup swab antigen,” tuturnya.

Dia juga membandingkan kebijakan PCR ini dengan transportasi darat. Dia mendorong agar kebijakan ini segera direvisi. “Lucunya juga, transportasi darat, nggak ada hepa filternya, lebih lama pula di dalam mobil, justru nggak wajib PCR. Yok bisalah direvisi. Belum telat, sebelum kebijakannya jalan 1 November nanti,” ungkapnya.

Bagaimana mungkin Indonesia mau mengukur, memonitor dan menanggulangi spread COVID-19 bila data dan laporan penyebab kematian COVID-19 itu tidak ada…???

a). Berapa yg mati karena blood clots (pergumpalan darah) setelah di vaksin…???

b). Berapa yang mati karena komplikasi side effects setelah divaksinasi….???

c). Berapa yg mati karena severe allergic reaction, kurang cepatnya memberi OXYGEN, karena lung failure…???

d). Kematian itu penyebabnya apa…??? Kok cuma dijawab, karena COVID-19…!!!

Kok nggak data dan laporan blas penyebab kematian COVID-19 dari Indonesia…???

Mengelola negara dan nyawa orang kok amatiran begini…??? Amit amit jabang rondo..!!!

Regime Jokowi sudah benar-benar tidak mampu, incompetent, sudah parah sekuoli….!!!

Begini kok dibilang Kissing-ass Kishore, a genius…??? Genius mbahmu…!!!

https://m.tribunnews.com/bisnis/2021/10/24/ylki-beberkan-dugaan-mafia-tes-pcr-mainkan-harga-demi-kejar-cuan

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, Harga Eceran Tertinggi (HET) PCR di lapangan banyak diakali oleh provider dengan istilah PCR Ekspres. “Harganya tiga kali lipat dibanding PCR normal. Ini karena PCR normal hasilnya terlalu lama, minimal 1×24 jam,” ujar Tulus melalui siaran pers, ditulis Minggu (24/10/2021).

Tulus menilai, sebaiknya kebijakan tersebut dibatalkan atau minimal direvisi, misalnya waktu pemberlakukan PCR menjadi 3×24 jam. Mengingat di daerah, lab PCR tidak semua bisa cepat atau cukup antigen saja, tapi dengan persyaratan harus sudah vaksin 2 kali.

“Selain itu, turunkan HET PCR menjadi kisaran Rp 200 ribuan. Jangan sampai kebijakan tersebut kental aura bisnisnya, ada pihak pihak tertentu diuntungkan. Kebijakan wajib PCR bagi penumpang pesawat adalah kebijakan diskriminatif karena memberatkan dan menyulitkan konsumen. Diskriminatif karena sektor transportasi lain hanya menggunakan antigen. Bahkan tidak pakai apapun,” pungkasnya. tribunnews.com/ALUMNI HMI

Seperti diberitakan nasional.kompas.com/read/2021/11/01/-Juru Bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut B Panjaitan, Jodi Mahardi membantah dugaan keterlibatan Luhut dalam bisnis tes polymerase chain reaction (PCR) dan sejumlah tes Covid-19 lainnya.

Juru bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jodi Mahardi, Mengakui Luhut ikut dalam perusahaan GSI perusahaan yang mengelola laboratorium untuk tes PCR. Jodi nyatakan di PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI), saham Luhut dibawah 10%. Meski perusahaan ini memiliki lima cabang di Jakarta, Luhut tak turut mengkontrol.

Diakui oleh Jodi, GSI adalah bentuk solidaritas sosial yang membantu menyediakan tes Covid-19 dalam jumlah besar. Sejak GSI berdiri pada April 2020, Jodi mengatakan tak pernah ada pembagian keuntungan kepada pemegang saham.

Menurut Jodi, PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) yang disebut ada afiliasi dengan Luhut pun tidak pernah bekerja sama dengan BUMN dan pemerintah. “(Dugaan) Itu sama sekali tidak benar,” kata Jodi saat dikonfirmasi Kompas.com, Senin (1/11/2021).

“GSI ini tidak pernah kerja sama dgn BUMN ataupun mendapatkan dana dari pemerintah. Justru mereka melakukan genome sequencing secara gratis untuk membantu Kementerian Kesehatan,” kata dia lagi.

Jodi lantas menjelaskan posisi Luhut dan GSI. Saat itu, kata dia, Luhut diajak oleh rekan-rekan dari Grup Indika, Adaro, Northstar yang memiliki inisiatif untuk membantu menyediakan tes Covid-19 dengan kapasitas tes yang besar. “Partisipasi Pak Luhut untuk membantu penanganan pada awal pandemi,” katanya di Jakarta, Senin (1/11/2021).

Kehadiran Luhut di GSI pun diakui karena ajakan koleganya yang memiliki saham, seperti petinggi PT Adaro Energy dan PT Indika Energy. Hal ihwal dua perusahaan yang diduga terlibat dengan Luhut, Jodi mengatakan bosnya tak memiliki kontrol lagi lantaran sahamnya di bawah 10%. “Jadi kami tidak bisa berkomentar soal PT Toba Bumi Energi,” kata dia.

Sebab, persoalan tes Covid-19 dulu menjadi kendala pada masa-masa awal pandemi ini. “Jadi total kalau tidak salah ada sembilan pemegang saham di situ. Yayasan dari Indika dan Adaro adalah pemegang saham mayoritas di GSI ini,” tutur Jodi.

“Kalau dilihat grup-grup itu kan mereka grup besar yang bisnisnya sudah well established dan sangat kuat di bidang energi, jadi GSI ini tujuannya bukan untuk mencari profit bagi para pemegang saham,” ujar dia.

Jodi pun menyampaikan, partisipasi Luhut di GSI ini adalah bagian dari usaha membantu penanganan pandemi pada masa-masa awal Covid-19 masuk ke Indonesia. Selain itu, melakukan donasi pemberian alat-alat test PCR dan reagen yang diberikan kepada fakultas kedokteran di beberapa kampus.

“Pak luhut juga ikut membantu Nusantics, salah satu start up di bidang bioscience, untuk membuat reagen PCR buatan anak bangsa yang saat ini diproduksi oleh Biofarma. Jadi tidak ada maksud bisnis dalam partisipasi Toba Sejahtra di GSI, apalagi Pak Luhut sendiri selama ini juga selalu menyuarakan agar harga test PCR ini bisa terus diturunkan sehingga menjadi semakin terjangkau buat masyarakat,” kata Jodi.

Sebelumnya, media sosial diramaikan dengan informasi dugaan keterlibatan sejumlah pejabat di kabinet Presiden Joko Widodo dalam pengadaan alat kesehatan dalam penanganan pandemi, salah satunya, Luhut Binsar Pandjaitan yang diduga terkait dengan perusahaan penyedia tes PCR, tes antigen dan sejumlah skrining Covid-19 lain.

Seperti dilansir m.surabayapagi.com/ 01 November 2021 : 20:42:40/tercatat, PT Toba Sejahtra dan PT Toba Bumi Energi mengantongi 242 lembar saham senilai Rp 242 juta di GSI. GSI merupakan perusahaan yang mengelola laboratorium untuk tes PCR.

Nama Luhut diduga ada dalam lingkaran bisnis polymerase chain reaction atau PCR. Majalah Tempo edisi 1 November 2021 menulis, dua perusahaan yang terafiliasi dengan Luhut, PT Toba Sejahtra dan PT Toba Bumi Energi. Dua perusahaan ini tercatat mengempit saham di PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI).

Tak salah, Luhut Binsar Panjaitan dalam urusan tes PCR adalah sosok yang diperbincangkan khalayak umum belakangan ini. Perannya dalam menangani penuntasan corona dianggap publik terlampau berlebihan, bahkan melebihi Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Wajar saja, berbagai cibiran menggentayangi dirinya dan eksis di media massa. Ada ungkapan yang menyebut dirinya sebagai Menteri segala urusan. Ada lagi yang lebih terang-terangan. Ekonom Faisal Basri, dalam cuitannya, mengungkapkan, “Luhut Panjaitan lebih berbahaya dari coronavirus COVID-19.”

Maka, ada publik yang menganggap Luhut sebagai birokrat paling kuat saat ini. Hanya Luhut yang bisa pontang-panting mengurus kebijakan soal penanganan corona meski ada yang bukan tupoksinya.

PT Toba Sejahtra dan PT Toba Bumi Energi mengantongi 242 lembar saham senilai Rp 242 juta di GSI. GSI merupakan perusahaan yang mengelola laboratorium untuk tes PCR. Perusahaan ini memiliki lima cabang di Jakarta. Jodi Mahardi, mengatakan GSI adalah bentuk solidaritas sosial yang membantu menyediakan tes Covid-19 dalam jumlah besar.

Sejak GSI berdiri pada April 2020, ia mengatakan tak pernah ada pembagian keuntungan kepada pemegang saham. “Partisipasi Pak Luhut untuk membantu penanganan pada awal pandemi. Jadi kami tidak bisa berkomentar soal PT Toba Bumi Energi,” kata dia seperti dilansir tempo.co/Senin, 1 November 2021 09:51 WIB

Pemerintah mendapatkan kritik keras dari masyarakat setelah mewajibkan tes usap itu sebagai syarat perjalanan jarak jauh menggunakan angkutan pesawat. Dalam waktu dekat, kewajiban PCR akan diperluas untuk transportasi lain dengan dalih mencegah ledakan kasus Covid-19 menjelang akhir tahun.

Kritik mengemuka lantaran selain harga tes PCR masih di atas rata-rata kemampuan warga, syarat ini diterapkan saat angka penyebaran kasus Covid-19 rendah. Tiga pejabat pemerintah yang mengetahui kebijakan tentang PCR mengatakan persoalan reagen yang akan kedaluwarsa menjadi salah satu penyebab tes usap itu diwajibkan untuk penumpang transportasi umum jarak jauh.

Sejumlah pengusaha telah menyetok alat tes PCR pada saat varian delta melonjak. Namun, reagen memasuki masa kedaluwarsa pada akhir tahun. Simak artikel lainnya tentang keuntungan bisnis tes usap di Majalah Tempo edisi 1-7 November 2012: “Para Penikmat Cuan PCR”.

Ungkap Jejak Bisnis Luhut

Namun, di balik kehebohan itu, tak banyak yang mengetahui bahwa Luhut Binsar Panjaitan adalah seorang pengusaha—selain sebagai seorang mantan tentara. Pengacara Haris Azhar, Nurkholis Hidayat menyayangkan laporan polisi yang dibuat oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan terhadap kliennya. Namun di sisi lain, laporan ini dianggap menjadi kesempatan untuk mengungkap jejak bisnis Luhut.

Sebelum laporan dibuat, kata Nurkholis, Luhut juga tidak memberikan data yang valid untuk membantah kajian tentang keterlibatannya dalam bisnis tambang di Papua yang dipaparkan Haris di Youtube. Haris juga sudah mengundang Luhut pada 14 September lalu untuk membahas perkara ini, tapi diabaikan.

“Jadi kami buka saja dalam proses ini, sehingga publik akan melihat siapa sesungguhnya sosok LBP. Dengan membuka, publik akan tahu jejak langkahnya dalam dugaan konflik dalam bisnis tambang di Papua yang berdampak pada penderitaan rakyat Papua,” ungkap Nurkholis.

Ada video yang viral. Dalam video ini, Haris dan Fatia membahas hasil riset sejumlah organisasi, seperti KontraS, Walhi, Jatam, YLBHI, Pusaka tentang bisnis para pejabat atau purnawirawan TNI AD di balik bisnis tambang emas atau rencana eksploitasi daerah Blok Wabu di Intan Jaya, Papua.

Salah satu yang diduga terlibat adalah PT Tobacom Del Mandiri, anak usaha Toba Sejahtera Group yang sahamnya dimiliki Luhut. Pemerintah mendapatkan kritik keras dari masyarakat setelah mewajibkan tes usap itu sebagai syarat perjalanan jarak jauh menggunakan angkutan pesawat.

Tak lama, kewajiban PCR akan diperluas untuk transportasi lain dengan dalih mencegah ledakan kasus Covid-19 menjelang akhir tahun. Kritik mengemuka lantaran selain harga tes PCR masih di atas rata-rata kemampuan warga, syarat ini diterapkan saat angka penyebaran kasus Covid-19 rendah.

Tiga pejabat pemerintah yang mengetahui kebijakan tentang PCR mengatakan persoalan reagen yang akan kedaluwarsa menjadi salah satu penyebab tes usap itu diwajibkan untuk penumpang transportasi umum jarak jauh. Sejumlah pengusaha telah menyetok alat tes PCR pada saat varian delta melonjak. Namun, reagen memasuki masa kedaluwarsa pada akhir tahun.

Menko PMK Menyetop Tes PCR

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy menyampaikan tes PCR tak lagi menjadi syarat untuk naik pesawat. Masyarakat yang berpergian via jalur udara cukup melakukan tes antigen Covid-19. “Untuk perjalanan akan ada perubahan yaitu untuk wilayah Jawa dan Bali, perjalanan udara tidak lagi mengharuskan menggunakan tes PCR,” jelas Muhadjir dalam konferensi pers, Senin (1/11).

Sementara Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Kabaparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno menyambut baik keputusan pemerintah yang kembali mengizinkan penggunaan hasil tes antigen sebagai syarat untuk naik pesawat.

Menparekraf Sandi Uno menyatakan, dengan terbitnya aturan anyar tersebut dapat mengurangi beban ekonomi masyarakat selaku pengguna moda pesawat. Mengingat, diperlukan biaya tidak murah bagi masyarakat untuk memperoleh layanan tes RT-PCR.

“Tentang tes antigen untuk perjalanan Jawa-Bali, menjadi harapan kita bahwa tes antigen ini bisa menjadi salah satu bagian dari testing dan tracing karena PCR ini tentunya biaya masih mahal. Keputusan (Antigen) tidak membebani masyarakat, tapi juga pada saat yang bersamaan mengendalikan Covid-19,” ujarnya dalam acara Weekly Press Briefing, Senin (1/11).

Ada Karma Buat Pembuat

Budayawan Sujiwo Tejo menyebut bila tujuan syarat wajib PCR-Antigen bagi pelaku perjalanan menggunakan moda transportasi darat dengan ketentuan jarak minimal 250 km hanya sebuah bisnis, dia meminta agar masyarakat untuk tetap mematuhinya juga.

Namun, dia mengingatkan tentang sebuah karma yang mungkin dapat ditanggung oleh pembuat kebijakan dan keluarganya bila tujuan syarat wajib PCR/Antigen tersebut hanya untuk kepentingan bisnis semata.

“Kalau tujuannya sekadar bisnis, sekali lagi kalau demikian, tetap kita patuhi juga… tp biar karmanya ditanggung pembuat aturan dan keluarganya,” tulis Budayawan Sujiwo Tejo, di akun Twitter @sudjiwotedjo, Senin, (1/11/2021) seperti dikutip tempo.co.

Di sisi lain, dia mengatakan, bila tujuan syarat wajib PCR/Antigen bagi pelaku perjalanan menggunakan moda transportasi darat dengan ketentuan jarak minimal 250 km hanya sebuah bisnis, dia meminta agar masyarakat untuk tetap mematuhinya juga. Tapi ingat ada karma bagi pembuat kebijakan tes PCR. n er, jk, 07.

Anggota DPR RI Sukamta menyebut, aturan pemerintah mengwajibkan tes PCR dan vaksin untuk penerbangan pesawat serta perjalanan darat laut udara di pulau Jawa- Bali kuat muatan bisnis. Hal tersebut merespon aturan yang tertuang dalam Surat Edaran Nomor 21 Tahun 2021 tentang Ketentuan Perjalanan Orang Dalam Negeri pada Masa Pandemi Corona Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

“Kebijakan ini aneh dan terlalu jelas motifnya. Data Direktorat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat nilai impor alat tes PCR hingga 23 Oktober 2021 mencapai Rp2,27 triliun melonjak drastis dibandingkan dengan bulan Juni senilai Rp523 miliar,” kata Sukamta dalam keterangan tertulis, Jumat, (29/10/2021).

“Para importir kit tes PCR ini luar biasa. Berani dan punya terawangan jitu bisa menduga bahwa kebutuhan kit PCR akan meningkat. Padahal bulan lalu belum ada kebijakan soal kewajiban tes PCR dikeluarkan oleh pemerintah,” tambah Sukamta.

Anggota Badan Anggaran DPR RI ini kemudian memberikan perhitungan kasar gurita bisnis tes PCR. “Kebutuhan alat tes PCR per hari sekitar 100 ribu – 200 ribu kit. Artinya, sebulan bisa mencapai 2,8-5,6 juta kit. Jika harga tes PCR Rp 300.000,- saja potensinya mencapai 800 milliar sampai 1,6 triliun per bulan,” rincinya.

“Bahkan sejak pandemi Covid-19 telah dilakukan tes Covid-19 mencapai 45,52 juta dengan total estimasi nilai pasar bisnis tes Covid-19 sudah menembus angka Rp 15 triliun. Ini jelas bisnis menggiurkan di tengah pandemi yang bikin ekonomi lesu,” beber Sukamta lagi.

Sukamta kemudian menampilkan data bahwa perusahaan swasta yang paling banyak menikmati bisnis ini. Pertama, negara eksportir. Menurut data BPS impor reagent untuk tes PCR pada periode Januari-Agustus 2021 mencapai 4.315.634 kg (4.315 ton) dengan nilai 516,09 juta dolar AS atau setara Rp7,3 triliun.

“China dan Korea menjadi negara eksportir terbesar senilai masing masing USD 174 juta dollar dan USD 181 juta dollar, disusul AS sebesar USD 45 juta dollar, Jerman USD 33 juta dollar,” papar Sukamta.

Kedua, lanjut Sukamta, ialah perusahaan importir swasta dalam negeri. Pasalnya, data Bea dan Cukai, perusahaan swasta adalah entitas yang mendominasi kegiatan impor PCR mencapai 88,16%. “Lembaga nonprofit hanya 6,04%, dan pemerintah 5,81%,” kata Sukamta.

Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI ini menambahkan alasan bahwa motif bisnis lebih kuat dibanding motif kesehatan yaitu vaksinasi dan kebijakan pembatasan pergerakan. “Persyararatan perjalanan dalam negeri khususnya wilayah Jawa Bali dengan mewajibkan test PCR dan sudah vaksin menjadi kebijakan aneh dan di duga motif ekonomi lebih kuat dibandingkan alasan Kesehatan,” bebernya.

Pernyataan Sukamta ini didasari oleh beberapa hal. Pertama, kondisi di Indonesia status covid telah menjadi pandemi. Kasusnya menyebar merata di semua wilayah. “Test PCR juga bukan jaminan bahwa penumpang benar-benar terbebas dari virus Covid-19. Maka mewajibkan PCR dengan kondisi persebaran massif tidak akan berdampak signifikan,” jelasnya.

Yang kedua, lanjut Sukamta, syarat PCR dibarengi dengan syarat sudah vaksinasi. Kebijakan ini kontraproduktif dengan kebijakan vaksinasi. Jumlah vaksinasi dosis 1 telah mencapai 50 persen, dan dosis 2 30an%.

“Alasan giatnya masyarakat vaksinasi agar bisa segera beraktifitas secara normal. Syarat PCR tes membuat rakyat berfikir ulang ikut vaksinasi yang harus susah payah, panas-panasan, antrian panjang. Namun demikian, setelah vaksin tetap saja harus PCR untuk melakukan perjalanan dan kegiatan secara normal,” sindirnya.

“Vaksin telah terbukti membuat resiko kematian lebih rendah bagi orang yang terpapar Covid-19 namun vaksinasi masih jauh dari target. Seharusnya pemerintah lebih gencar mendorong pencapaian target vaksinasi bukan membuat kegaduhan,” pesan anggota DPR RI dapil DI Yogyakarta ini.

Pemerintah membuat aturan yaitu pelaku perjalanan domestik atau penumpang pesawat udara agar menyertakan hasil pemeriksaan negatif Covid-19 dengan skema test swab PCR, meskipun sudah mendapatkan vaksin sebanyak dua dosis selama PPKM.

Seperti diberitakan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pihaknya sadar dengan banyaknya kritikan yang dilayangkan oleh masyarakat tentang kebijakan tersebut.

Akan tetapi, ia mengatakan bahwa tujuan ditetapkannya kebijakan ini adalah untuk mengantisipasi terjadinya lonjakan gelombang ketiga Covid-19. “Secara bertahap penggunaan tes PCR juga akan diterapkan pada transportasi lainnya selama dalam mengantisipasi periode Nataru (Natal dan Tahun Baru),” ujar Luhut, Senin (25/10/2021).

Di sisi lain, dari hasil survey yang dilakukan Balitbang Kementerian Perhubungan, diperkirakan akan ada 19,9 juta masyarakat di Jawa-Bali yang akan melakukan perjalanan. “Peningkatan pergerakan penduduk ini, tanpa pengaturan protokol kesehatan yang ketat, akan meningkatkan resiko penyebaran kasus,” kata Luhut.

Sejalan dengan diberlakukannya tes PCR untuk melakukan perjalanan, Luhut mengatakan bahwa Presiden Jokowi meminta harga tesnya diturunkan dari yang sebelumnya Harga Eceran Tertinggi untuk tes PCR adalah Rp 495 ribu untuk pulau Jawa dan Bali dan Rp 525 ribu di luar Jawa-Bali. “Arahan Presiden harga PCR dapat diturunkan menjadi Rp 300 ribu dan berlaku selama 3×24 jam untuk perjalanan pesawat,” pungkasnya.

Anggota Fraksi DPR Luqman Hakim meminta pemerintah menghentikan aktifitas memperkaya importir tes polymerase chain reaction (PCR). Aturan kewajiban tes PCR untuk angkutan udara dinilai semakin membenani rakyat.

“Sudah saatnya pemerintah, dalam menangani pandemi Covid-19, lebih menunjukkan keberpihakan-nya kepada kebutuhan rakyat, dibandingkan kebutuhan para pebisnis tes PCR yang hanya mau cari untung sebesar-besarnya. Sudah cukup pemerintah memperkaya mereka,” kata Luqman kepada Inilah.com, Rabu (27/10/2021).

Menurut Lukman, para importir PCR sudah meraup untung triliunan Rupiah sejak pandemi melanda. Apalagi harga PCR sangat mahal dibadingkan tes Covid-19 lainnya. Coba hitung berapa triliun keuntungan yang sudah dikeruk dari bisnis tes PCR ini, saran Lukman, dari awal mulai harga Rp900 ribu, lalu diturunkan menjadi Rp500 ribu.

“Lha, ternyata dengan harga Rp300 ribu saja, mereka sudah untung banyak. Sudah berapa puluh juta kali konsumen memakai tes PCR selama hampir dua tahun pandemi berlangsung,” ujar Luqman.

Seperti diketahui pemerintah mewajibkan tes PCR bagi penumpang pesawat domestik. Bahkan pemerintah berencana akan menerapkan aturan itu untuk semua jenis transportasi.  Sesuai arahan Presiden Jokowi, harga tes PCR turun dari harga tertinggi Rp1,5 juta menjadi Rp300 ribu.

Namun harga ini dinilai masih sangat mahal dibandingkan negara India yang hanya Rp160 ribu. Pertanyan juga muncul berapa harga PCR sebenarnya karena bisa ditekan hingga ke angka Rp300 ribu.

Dirangkum dari berbagai sumber, terdapat 9 importir besar alat kesehatan termasuk tes PCR di Indonesia. 9 importir yang terdiri dari swasta dan pemerintah tersebut yaitu:

  1. Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB sebesar US$68,6 juta atau 6,29 persen
  2. PT Jenny Cosmetics dengan nilai impor sebesar US$43,6 juta atau 4 persen
  3. Perusahaan teknologi medis asal Jerman Dräger Medical Indonesia sebesar US$21,5 juta atau 1,98 persen 4. Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia dengan nilai US$21,07 juta atau 1,93 persen
  4. Perusahaan tekstil multi nasional PT Pan Brothers US$21,07 juta atau 1,93 persen
  5. Perusahaan ketel uap PT Trimitra Wisesa Abadi sebesar US$20,8 juta atau 1,91 persen
  6. Perusahaan laboratorium diagnostik molekular PT Sinergi Utama Sejahtera sebesar US$20,8 atau 1,91 persen
  7. Perusahaan alat kesehatan Cahaya Medical Indonesia sebesar US$20,7 juta atau 1,90 persen.
  8. Pusat Keuangan Kementerian Pertahanan juga melakukan impor dengan nilai mencapai US$18,7 juta atau 1,72 persen.

Mantan Menteri Pudjiastuti Meminta Rezim Jokowi tidak Usah Malu meski Sudah Untung Besar untuk segera menurunkan Harga PCR Test 96 Ribu seperti di India. Jejak Panjang Harga PCR Test dari mulai 2,5 Juta, turun ke 1,9 Juta setelah di Protes, turun lagi menjadi 900 Ribu, turun lagi menjadi 400 Ribu (Padahal di India hanya Rp96 ribu)

https://kabar24.bisnis.com/read/20211026/15/1458503/susi-pudjiastuti-india-pcr-cuma-rp-96-ribu-di-ri-kenapa-selangit

Peneliti ICW Wana Alamsyah mengatakan hitungan itu berdasarkan jumlah spesimen yang sudah dikumpulkan sebanyak 25.840.025 dikalikan dengan 20 persen profit keuntungan dari harga PCR sebelum diturunkan sebesar Rp 900 ribu per tes (Di India Hanya 96 Ribu Rupiah).

“Sejak Oktober 2020 – October 2021 penyedia jasa layanan kesehatan untuk tes PCR setidaknya mendapatkan keuntungan 10,46 triliun. Ini angka yang sangat besar dalam konteks pandemi saat ini ketika sebagian orang sulit mendapatkan pekerjaan tapi kemudian mereka terpapar,” kata Wana dalam diskusi virtual, Jumat (22/10/2021).

Dilansir dari berbagai sumber, turunnya harga tes PCR kemudian memunculkan banyak respons, ada yang menyambut baik. Namun ada juga yang menganggap kebijakan itu terlambat, seperti yang disampaikan kolumnis Hersubeno Arief.

Ia mengakui adanya keterlambatan penurunan harga tes PCR di Indonesia lantaran proyek ini sudah berjalan lebih dari 1,5 tahun, di mana para pelakon usaha tes PCR sudah untung besar dari peristiwa pandemi ini.

Hersobeno pun bahkan membongkar adanya importir tes PCR di Indonesia yang sudah membeli pesawat pribadi karena saking besarnya keuntungan yang didapat. Info ini setidaknya didapat dari Mantan Sekretaris Menteri BUMN, Muhammad Said Didu di saluran Youtube FNN, Rabu 18 Agustus 2021.

“Bayangkan, berapa keuntungan mereka selama ini, besar, gila-gilaan. Mereka selama ini berhasil mengeruk keuntungan, kata Said Didu ada importir PCR yang bisa beli pesawat pribadi,” katanya dikutip Hops.id–jaringan suara.com.

Pada kesempatan yang sama ditampilkan bagaimana pernyataan Said Didu menyinggung jumlah perputaran uang dari tes PCR di Indonesia. Menurutnya, dari pihak-pihak inilah, ada yang coba mengeruk keuntungan dari mahalnya fasilitas kesehatan di tengah pandemi. “Ini bisnis yang sangat besar, kalau setahun ada yang PCR 20 juta orang, itu bisa besar sekali,” katanya.

Dia mencontohkan biaya PCR di Indonesia yang dipatok Rp900 ribu dengan hasil lebih dari 24 jam, dan biaya Rp 1,5 juta jika menginginkan hasilnya cepat alias 1 x 24 jam. Said Didu lalu memukul angka rata-rata Rp1,2 juta, di mana dengan dana segitu, bisa ada dana Rp 20 triliun berputar.

“Nah di sinilah ada yang monopoli, sampai ada importir yang punya izin impor PCR sudah bisa beli pesawat pribadi, saking untungnya besar sekali. Dialah yang pasti punya akses dengan penguasa selama ini,” ungkapnya. (net/dari berbagai sumber/smr)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *