Kasihan Pancasila

Lambang Pancasila. foto: internet

Oleh Amir Santoso*

semarak.co– Dipikir-pikir kasihan betul yang namanya Pacasila itu ya. Hingga hari ini, sudah hampir tujuhpuluh lima tahun sejak dilahirkan, Pancasila itu masih terus saja dijadikan bahan diskusi, bahan gunjingan, bahan untuk dipelajari, dan hanya sedikit upaya untuk bisa diterapkan.

Bacaan Lainnya

Sedikitnya ada dua lembaga yang dibentuk untuk menangani Pancasila. Di masa Orde Baru dibentuk BP-7, dan sekarang ini dibentuk BPIP. Malahan sekarang ini, Pancasila mau diperas-peras lagi seperti kain pel.

Ada yang mau memerasnya menjadi tiga dan ada yang mau menjadikannya satu sila saja. Kalau begitu kenapa tidak dari dulu saja Pancasila (PS) itu dijadikan Eka sila, repot amat ya.

Lain dari itu kalau Pancasila itu masih perlu diajarkan kepada publik bahkan juga kepada para elite bangsa, apa itu tidak berarti bahwa PS itu masih merupakan sesuatu yang asing? Yang bukan asli Indonesia? Ini hanya sekedar bertanya secara logika saja. Sebab jika PS itu memang genuine alias asli, kan mestinya tidak butuh diajarkan lagi?

Tapi mungkin karena ada pemimpin menganggap bahwa Pancasila masih dianggap asing bagi banyak orang maka perlu dilakukan penataran, perlu dibikin lembaga pemahaman dan pengamalan Pancasila dst, yang gaji pengurus lembaganya ratusan juta rupiah.

Gaji tinggi itu dibutuhkan karena pengurus lembaga Pancasila itu harus bekerja keras siang malam, berupaya agar PS bisa dipahami oleh segenap warga bangsa. Maksudnya masyarakat biasa itu harus memahami PS, tapi kalau elite bangsa sih kayaknya boleh tidak paham.

Sebenarnya warga Indonesia itu sudah paham belaka mengenai Pancasila. Jadi tidak perlu lagi mereka diajari. Misalnya soal Gotong Royong itu, kan seluruh warga Indonesia paham belaka dengan makna istilah itu, malahan sudah sering melaksanakannya terutama menjelang 17 Agustus, atau ketika pak RT memukul kentongan minta warga desa berkumpul untuk melakukan kerja bakti berhubung desa sudah mulai dikotori oleh rumput dan semak.

Jadi kalau boleh berterusterang, rakyat kecil di desa dan di kota itu sudah melaksanakan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Coba perhatikan, di semua ibukota kabupaten pasti ada masjid dan gereja dibangun berhadap-hadapan.

Itu kan artinya penganut agama-agama tersebut di masa lalu sudah mampu saling bertoleransi. Masak sekarang kita musti diajari lagi hidup rukun antar agama? Tapi kalau ada yang mengusik ketenangan beribadah itu ya ditindak saja berdasar hukum secara adil bagi semua pihak.

Hukum yang adil itu sudah dihayati dan dipahami oleh semua warga sejak masa lalu. Semua warga sudah mampu merasakan dan mengetahui mana hukum yang adil dan mana yang tidak adil tanpa perlu diajari lagi untuk memahami makna Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tapi justru yang berkewajiban melaksanakan keadilan itulah yang agaknya perlu ditatar lagi agar mampu bersikap dan bertindak adil. Ya kira-kira mirip di Amrik begitu. Warga kulit hitam itu sejak lahir sudah tahu dan mampu merasakan perlakuan adil dan tidak adil bagi mereka, jadi kalau sekarang mereka berdemo terus, pasti karena perasaan keadilan mereka terusik.

Jangankan yang hitam, yang putihpun ternyata ikut berdemo karena sebagai manusia mereka pasti ikut merasakan adanya perlakuan yang tidak adil.

Prikemanusiaan dan prikeadilan itu sifatnya kodrati, sudah ditanamkan oleh Yang Maha Pencipta kepada semua mahlukNya, bukan hanya manusia tapi juga kepada hewan, tumbuh-tumbuhan dll sejak sebelum mereka dilahirkan.

Kita juga ingin diperlakukan secara manusiawi oleh aparat keamanan terutama yang membawa senjata. Soalnya ngeri banget melihat warga yang berdemo mengajukan pendapatnya, dipentung kepalanya atau malahan ditembak sampai mati seperti babi hutan. Jika ingin berlaku adil maka pandanglah orang atau pihak lain itu sebagai manusia, bukan sebagai obyek.

Soal persatuan juga, rasanya warga awam tidak perlu diajari lagi. Kita semua kan sudah tahu bahwa kita tidak akan mampu hidup sendirian tanpa keluarga, tanpa tetangga dan tanpa bangsa termasuk bangsa lain. Kita kan mahluk sosial.

Tapi kalau sekarang katanya ada ancaman terhadap persatuan, ya bukan warga awam ditatar lagi soal persatuan, tapi tindaklah secara hukum siapapun yang bermaksud merusak persatuan itu.

Sebab yang merusak persatuan itu bisa bukan hanya warga awam saja tapi bisa juga aparat penegak hukum sendiri, bisa pejabat pemerintah, bisa para tokoh dan orang-orang besar itu.

Jadi tiliklah secara seksama siapa yang menjadi biang perusak persatuan bangsa lalu tindaklah tanpa pandang bulu. Jangan karena mereka punya jabatan, punya wewenang atau karena mewakili suatu golongan yang kuat (dalam arti apa saja) lantas dibiarkan saja.

Pembiaran seperti itulah yang merusak perasaan keadilan masyarakat dan menimbulkan ketegangan sosial yang pada gilirannya akan merusak persatuan.

Juga soal musyawarah dan mufakat. Masak orang awam terutama di perdesaan musti diajari lagi cara bermusyawarah dan bermufakat? Sifat suka bermusyawarah dan bermufakat itu sudah ada semulajadi alias built-in dalam kehidupan masyarakat terutama di desa-desa. Jadi tidak perlu mereka mendapat pendidikan lagi soal itu.

Tapi jangan-jangan yang tidak mampu bermusyawarah dan bermufakat itu justru para pemimpin dan para elite bangsa. Karena mereka sendiri selalu gontok-gontokan dalam banyak hal, lalu yang disalahkan orang awam.

Salah satu penyebab mengapa kini musyawarah jarang terjadi mungkin adalah karena sistem politik yang berdasarkan musyawarah dan mufakat yang dulu diciptakan dan diprakarsai oleh para pendiri bangsa, sekarang diubah menjadi sistem pengambilan keputusan 50+1. Ketika keributan terjadi akibat sistem baru ini maka dikatakanlah bahwa bangsa kita tidak mampu berdemokrasi.

Agaknya keributan terus menerus soal Pancasila itu dipicu oleh keinginan para elite golongan yang memiliki tafsir masing-masing terhadap Pancasila. Rupanya selalu ada yang curiga bahwa golongan lain ingin mengubah NKRI dan mengubah Pancasila.

Makanya muncul keinginan agar Pancasila ditafsirkan kembali sesuai tafsir dari golongan yang merasa paling NKRI dan paling Pancasilais. Maka ributlah jagad medsos saling mengklaim golongan mereka sebagai paling NKRI dan paling Pancasilais.

Pokoknya sepanjang sejarah Indonesia, selalu ada yang menganggap bahwa dirinya paling tahu Pancasila dan paling berhak menafsirkannya. Golongan lain yang berseberangan dianggapnya bodoh belaka soal Pancasila dan tafsirnya.

Juga, mereka yang selalu ribut ingin membuat tafsir tentang Pancasila ternyata adalah kelompok yang pandai-pandai belaka. Sementara mereka yang pinter sibuk menafsirkan Pancasila, rakyat yang awam sih tenang-tenang saja sambil setiap saat selalu menerapkan Pancasila dalam kehidupan mereka sehari-hari, tanpa ribut dan tanpa diskusi apalagi sampai mau bikin undang-undang segala.

Jadi ribut-ribut soal tafsir Pancasila yang berlangsung sejak dulu itu buat apa dan untuk siapa? Kalau ribut-ribut itu tidak segera diakhiri jangan salahkan jika publik beranggapan bahwa Pancasila itu bukan filosofi bangsa kita, melainkan buah pikiran para cerdik pandai yang merumuskannya dulu yang lalu dicoba untuk jadikan pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Apa benar demikian?

Sudahlah, segera akhiri saja ribut-ribut soal Pancasila ini. Kembalikan saja tafsir Pancasila itu seperti rumusan yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang asli. Kembalikan tafsir tersebut kepada tafsiran dari para bapak pendiri negara ini, jangan mengarang sendiri.

Habis waktu kita untuk meributkan Pancasila terus menerus sementara kehidupan kesejahteraan dan kemajuan bangsa kita terbengkalai akibat energi kita terkuras kepada masalah Pancasila yang sebenarnya sudah hidup dan dipraktekkan oleh warga bangsa kita pada umumnya.

Pancasila itu sudah sejak mula dihayati oleh rakyat kecil. Jadi jangan kuatir berlebihan. Yang mereka tunggu adalah implementasi nilai-nilai Pancasila oleh para pemimpin rakyat. Indikator terimplementasikannya Pancasila itu gampang dilihat.

Kalau rakyat sudah bisa tidur nyenyak, makan nikmat, punya rumah sendiri meskipun sederhana, mampu beli pakaian sederhana, dan merasa aman bepergian kemanapun, bisa ketawa lepas (wong cilik iso ngguyu) dan bisa ber Ibadah dengan khusuk, itu artinya Pancasila sudah diterapkan.

Karena itu siapapun yang memegang pemerintahan segera sajalah merealisasikan impian wong cilik tersebut dan akhiri perselisihan soal Pancasila. Capek kita melihatnya.

*Amir Santoso, Gurubesar FISIP UI: Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta

 

sumber: WA Group Keluarga Alumni HMI MPO (post Senin 27/7/2020)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *