Oleh Abdullah Hehamahua
semarak.co– Sebulan sudah berlalu pasca proklamasi kedua kemerdekaan Indonesia oleh Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Acara yang berlangsung di pekarangan bekas rumah warga keturunan Arab tersebut merebak di pelabagai wilayah Indonesia.
Yogya, Surabaya, Sulsel, Sumbar, Sumut, Jabar, dan lain-lain. Beberapa wilayah lain, baik provinsi maupun kabupaten dan kota sedang siap-siap melakukan deklarasi yang sama.
Artikel terakhir saya adalah berkaitan dengan maklumat KAMI mengenai sosial budaya yang berintikan kegagalan pendidikan nasional. Hari ini, saya mengomentari maklumat KAMI tentang penegakkan hukum dan HAM di Indonesia.
Sebab, salah satu alasan PBB, Indonesia berada dalam urutan 88 negara “bahagia” di dunia adalah karena penegakkan hukum yang memalukan. “Hadirnya perubahan UU KPK No. 30/2002 jo UU No. 19/2019, justru melemahkan dan berpotensi melumpuhkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Demikian pula Perppu No.1/2020 yang sudah diundangkan menjadi UU No.2/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara, untuk Penanganan Pandemi COVID-19, telah memberikan kewenangan yang berlebihan kepada Pemerintah, menimbulkan moral hazard, dan telah mereduksi serta mengamputasi kewenangan beberapa Lembaga tinggi negara, khususnya DPR dan BPK.
Sesungguhnya, sejak UU tersebut diputuskan, Indonesia telah mempraktikan dan menjadi negara kekuasaan (machtsstaat) karena segala hal pengelolaan keuangan negara oleh Pemerintah tidak dapat diperiksa dan diminta pertanggunganjawaban di muka hukum, dan Indonesia bukan lagi sebagai negara hukum (rechtsstaat).
Paragraf di atas merupakan salah satu fokus tanggapan KAMI terhadap proses penegakkan hukum dan HAM di Indonesia. KAMI menganggap, Indonesia sekarang merupakan negara kekuasaan, bukan negara hukum.
Bukti yang menonjol berkaitan dengan UU KPK di mana pihak KPK tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU KPK tersebut. Padahal, pemerintah mengatakan, revisi UU KPK dimaksudkan untuk menguatkannya. Bagaimana logikanya jika yang punya badan, tidak dimintai pendapatnya mengenai diri mereka sendiri.
Andaikan pemerintah dan DPR melibatkan KPK dalam pembahasan UU KPK, maka akan diketahui, hal-hal yang diperlukan antara lain: (a) Pengawasan Internal (PI) ditingkatkan statusnya dari direktorat menjadi deputi.
Status seperti itu membuat PI dapat langsung memeriksa pimpinan atau pegawai KPK yang diduga melanggar Kode Etik tanpa menunggu perintah dari Deputi PIPM (Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat); (b) Saran-saran Penasihat, tidak saja bersifat imbauan, tetapi mengikat pegawai KPK.
Pada waktu yang sama, saran-saran tersebut mendapat prioritas bagi Komisioner dalam mengambil putusan atau kebijakan; (c) Penetapan insan KPK sebagai Pegawai Negara sehingga mereka dapat dimutasi ke Kementerian/Lembaga Negara mana saja.
Hal ini merupakan salah satu bentuk mobilitas peranan pegawai KPK. Pola ini, selain memudahkan proses mobilitas vertikal di internal organisasi, pegawai negara KPK dapat berfungsi sebagai stimulus pencegahan korupsi di mana tempat mereka ditugaskan.
Penegakkan Hukum versi Orang Gila
Menurut Kabareskrim, sejak tahun 2017 – 2018, terjadi penganiyaan terhadap 21 ulama. Semuanya konon dilakukan orang gila. Hebatnya orang gila ini sehingga Indonesia satu-satunya negara di dunia yang orang sakit jiwa juga ikut memilih dalam Pemilu dan Pilpres. Dapat dibayangkan, bagaimana kualitas presiden, wakil presiden, gubernur, bupati, dan walikota yang dipilih orang gila.
Beberapa data di bawah ini dapat diacu untuk mengetahui kondisi penegakkan hukum di Indonesia versi orang “gila”: (a) Dokter spesialis syaraf, Ani Hasibuan menyarankan agar dilakukan outopsi untuk mengetahui penyebab kematian 579 petugas KPPS dalam waktu relative bersamaan pada Pilpres 2019. Faktanya, dalam waktu singkat, Bareskrim Polda Jaya menetapkan status dokter Ani sebagai tersangka.
Padahal, banyak laporan masyarakat terhadap “hate speech” yang dilakukan pendukung Jokowi, tidak diproses secara proporsional. Laporan mengenai Ade Ormando dan Abu Janda misalnya, penanganannya tidak serius dibandingkan laporan tentang kiyai, ustadz atau aktivis yang mengeritik pemerintah.
(b) Buni Yani langsung ditetapkan tersangka dan dijatuhi hukuman penjara padahal beliau bukan pengunggah pertama pidato Ahok. Apalagi, Ahok memang terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman penjara sehingga logika hukumnya, Buni Yani seharusnya tidak dipidana.
(c) Kasus Habib Bahar bin Smith. Jaksa dalam berkas tuntutannya, meyakini Bahar terbukti bersalah sesuai pasal Pasal 333 ayat (2) KUHP dengan tuntutan 6 tahun penjara.
Hakim menjatuhi hukuman 3 tahun penjara. Faktanya, Novel Baswedan yang mengalami penganiyaan sehingga matanya buta total, terdakwanya dituntut hanya setahun penjara.
Terdakwa dijatuhi hukuman penjara 1,5 dan 2 tahun, jauh dari hukuman maksimal yang diatur dalam Pasal 353 ayat (2) KUHP, yaitu 7 tahun penjara. Padahal, bulan Juni tahun ini, Hakim PN Pelalawan menjatuhi hukuman 4 tahun penjara bagi pembunuh seekor harimau.
(d) Nazarudin, anggota DPR dan bendahara umum partai penguasa waktu itu, ditangkap KPK di Kolombia setelah melarikan diri ke Singapura, Malaysia, Vietnam, Kamboja, China, dan Argentina.
Nazaruddin ditangkap setelah sebulan setengah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Bandingkan dengan Harun Masiku yang bukan pejabat, elit politik, pengusaha atau seleberiti, belum ditangkap, meski sudah 8 bulan menjadi buron hanya karena caleg PDIP.
Simpulan
Indonesia bakal menjadi negara maju pada tahun 2045 jika hukum ditegakkan, mulai dari kades sampai presiden. Indonesia bakal hilang dari peta bumi, menjadi beberapa negara baru atau menjadi jajahan salah satu super power jika penegakkan hukumnya masih seperti sekarang. Apalagi, jika terjadi oligarki kekuasaan di antara penguasa dan pengusaha seperti penomena yang ada sekarang. Semoga !!!
Depok, 23 September 2020
sumber: suaratangerang.com di WA Group Keluarga Alumni HMI MPO