KAMI dan Oligarki Kekuasaan

Mantan Penasehat KPK Abdullah Hehamahua. foto: internet

Oleh Abdullah Hehamahua

semarak.co– Oligarki berasal dari bahasa Yunani, oligarkhía. Ia terdiri dari akar kata oligon yang bermakna sedikit dan arkho =  memerintah. Maknanya, oligarki adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok kecil elit dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, maupun militer.

Bacaan Lainnya

Oligarki menurut KBBI adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu. Maknanya, dalam bahasa milineal, oligarki adalah pemerintahan berdasarkan nepotisme.

Apakah anak, mantu, dan besan Jokowi, putri KH Ma’ruf Amin, kemenakan Prabowo serta keluarga Pejabat Negara lain yang maju dalam Pilkada 2020, termasuk nepotisme? Apakah PDIP, Demorat, Gerindera, dan Nasdem yang dikuasai Pendiri dan keturunannya terkategori oligarki? Bagaimana sikap KAMI?

 Nepotisme Versi Kitab Suci

Para nabi dan rasul, hampir semuanya keturunan Nabi Ibrahim AS. Mereka berasal dari dua putera Nabi Ibrahim AS, Ismail dan Ishak. Maknanya, agama membenarkan nepotisme.

Namun, untuk memahaminya, perhatikan doa Nabi Ibrahim AS sebelum dikurniai Ismail dan Ishak: Ya Tuhanku, berilah aku keturunan yang saleh (QS Ash Shaffat: 100). Perkataan ‘saleh’ dalam bahasa Arab, berarti: patut, pantas, layak. Maknanya, anak cucu nabi Ibrahim AS, layak menjadi nabi dan rasul.

Nepotisme jenis ini, dibenarkan Allah SWT karena Dia sendiri yang berwenang melantik seseorang menjadi nabi atau rasul. Syarat dan kualifikasinya, tentu dari Allah SWT sendiri seperti dikisahkan dalam ayat berikut: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS Ash-Shaffat: 102).

Pernyataan ini adalah sikap tegas Ismail remaja ketika diberitahu ayahnya mengenai perintah penyembelihan dirinya oleh Allah SWT. Ayat ini menjelaskan dua syarat utama, seseorang dapat menjadi pemimpin.

Pertama, ketaatan mutlak terhadap perintah Allah SWT. Tidak ada alasan apa pun dalam melaksanakan perintah Allah SWT. Di Indonesia, syarat itu terdapat dalam sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Itulah sebabnya, salah satu syarat, seseorang dilantik sebagai pejabat negara adalah taqwa.

Aplikasinya, semua peraturan perundang-undangan dan operasionalisasinya, apalagi mengenai sila kedua sampai kelima dari Pancasila, tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama. Maknanya, jika ada yang mau menghilangkan sila pertama dengan memerasnya menjadi trisila atau ekasila, yang berarti menghilangkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak layak menjadi pemimpin di Indonesia.

Apakah keluarga besar Jokowi, Ma’ruf Amin, Prabowo, dan pejabat publik lain yang maju menjadi kepala daerah, memiliki kualitas seperti Ismail. ? Jauh api dari panggang. Jadi, rakyat jangan terkecoh dengan penampilan mereka sebagai anak pejabat ketika pilkada nanti. Sikap ini harus menjadi komitmen KAMI.

Kedua, sifat sabar. Kesabaran Ismail remaja untuk menjalani perintah penyembelihan dirinya membuat Allah SWT menggantikan dirinya dengan seeokor kibas. Sabar itulah yang membuat Ismail dilantik sebagai Nabi.

Sebab, kata sabar berasal dari bahasa arab, ‘as-Shabru,’ merupakan masdar dari fi’il madhi yang berarti menahan diri dari keluh kesah. Ar-Raghib Al-Asfihani berpandangan, sabar adalah menahan hawa nafsu dari sesuatu yang dapat merusak akal dan syari’at.

Maknanya, jika seseorang hanya mengikuti hawa nafsunya untuk menjadi pejabat, orang kaya atau selebriti tanpa memerhatikan sunatullah, maka dia akan merusak akalnya sendiri. Pada waktu yang sama, dia meluluh-lantakan sistem perundang-undangan (syariat) yang ada dalam keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.

Apakah keluarga Jokowi, Ma’ruf Amin, Prabowo, dan pejabat publik lainnya, bersikap sabar untuk menjadi pejabat publik.? Salah satu bentuk sabar adalah menunggu waktu ketika umurnya sudah layak untuk menjadi pemimpin. Semua nabi dan rasul (kecuali Isa dan Zakaria) dilantik ketika berumur 40 tahun.

“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).

Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan, sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai 40 tahun dia berdoa, “Ya Rabb-ku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridhai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku.

Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sungguh, aku termasuk orang muslim.” (QS Al-Ahqaf: 15). Ayat ini menetapkan, selain kualifikasi pantas dan layak, seseorang bisa menjadi pemimpin ketika berusia 40 tahun.

Mengapa? Sebab, pada usia inilah manusia mencapai puncak kehidupannya, baik dari segi fisik, intelektual, emosi, maupun spiritualnya. Itulah sebabnya, Nabi Muhammad bersabda: ”Jika seseorang sudah mencapai usia empat puluh tahun, lalu kebaikannya tidak mengatasi kejelekannya, setan mencium di antara kedua matanya dan berkata, ‘inilah manusia yang tidak beruntung.”

Bagaimana calon-calon Kepala Daerah yang melalui jalur nepotisme ini. Gibran, anak Jokowi, calon Walikota Solo, berumur 33 tahun.

Boby Nasution, mantu Jokowi,  calon Walikota Medan, 29 tahun. Siti Nur Azizah, anak KH Ma’ruf Amin, 46 tahun, calon Walikota Tangerang Selatan. Nur Azizah memenuhi syarat dari segi umur. Namun, sebagai seorang kiyai dan Ketum MUI Pusat, Ma’ruf Amin tentu paham akan sensitivitas umat Islam terhadap pemimpin politik perempuan.

Ingat, NU pernah mengeluarkan fatwah, haram perempuan menjadi pemimpin/presiden. Apalagi ditambah masalah nepotisme. Rahayu Saraswati, keponakan Prabowo, 34 tahun, calon Wakil Walikota Tangerang Selatan.

Munafri Arifuddin, kemenakan JK, 45 tahun, calon Walikota Makassar. Umurnya memenuhi syarat, tetapi disebabkan nepotisme itu, beliau kalah melawan kotak kosong dalam Pilkasa 2019 yang lalu.

Data-data di atas menunjukkan, sebagian besar calon tidak memenuhi syarat dari segi umur. Syarat berikut, merujuk ayat Al Qur’an di atas, calon pemimpin harus memiliki sikap-sikap konsistensi, keteguhan, dan militansi dalam melaksanakan ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila. Bahasa manajemen modern, kompetensi.

Association K.U. Leuven menyebutkan, kompetensi adalah peingintegrasian dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang memung-kinkan untuk melaksanakan suatu cara secara efektif.

Dalam kontek ini, Abdullah bin Abbas RA dalam suatu riwayat berkata, “Barangsiapa mencapai usia 40 tahun dan amal kebajikannya tidak mantap dan tidak dapat mengalahkan amal keburukannya, maka hendaklah ia bersiap-siap ke neraka.” Bagaimana sikap KAMI terhadap kualifikasi para calon Kepala Daerah dari jalur nepotisme ini. ? Tunggu saja!

Nepotisme Versi Manajemen Modern

Apakah semua anak Nabi dan Rasul, dilantik Allah SWT sebagai pengganti ayahnya.? Tidak.! Anak Adam AS, Qobil ditolak kepemimpinannya. Buktinya, qurbannya ditolak Allah SWT. Penyebabnya, selain tidak ikhlas, qurban yang diberikan Qobil, tidak berkualitas.

Qobil tidak memiliki kompetensi yang mumpuni. Maknanya, seorang calon pemimpin, selain kekuatan iman dan aqidah, juga harus memiliki kompetensi yang mumpuni. Anak Nabi Nuh justru ikut tenggelam bersama golongan kafir dalam banjir besar.

Penyebabnya, selain tidak beriman dan berqidah yang benar, beliau juga tidak punya kompetensi untuk memahami gejala alam berupa akan datangnya air bah yang akan menenggelamkan negerinya. Beliau juga tidak punya kompetensi dalam membaca dan memahami aspirasi pengikut ayahnya.

Maknanya, manajemen modern mengajarkan, seseorang dapat menjajdi pemimpin jika dia memiliki iman dan aqidah yang kuat serta mempunyai kompetensi yang mumpuni. Sebab, kompetensi adalah kombinasi dari nilai-nilai ilmu pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan perilaku yang terpuji.

Aplikasinya, untuk menjadi Menteri Pendidikan misalnya, harus punya pengalaman menjadi guru atau dosen. Menjadi Menteri Pertanian, harus punya pengalaman menjadi petani, dan seterusnya.

Simpulan

Seseorang layak menjadi pemimpin, kepala daerah  atau pejabat publik, jika secara fisik, sudah berumur 40 tahun. Persyaratan nonfisik, seseorang harus memiliki aqidah yang kuat, sesuai sila pertama Pancasila serta memiliki kompetensi mumpuni. Keluarga pejabat negara, jika beraqidah dan memiliki kompetensi mumpuni, dapat menjadi seorang pemimpin atau pejabat publik.

Kerabat yang tidak beraqidah dan tanpa kompetensi, tidak layak dipilih sebagai pemimpin sekalipun dia anak presiden, wakil presiden, Menteri atau pejabat publik lainnya. Pada waktu yang sama, warga negara biasa, laki-laki beraqidah dan mempunyai kompetensi yang mumpuni, dapat menjadi pemimpin atau pejabat publik. Bagaimana sikap KAMI. Wait and see!!!

Jum’at Keramat, 14 Agustus 2020

 

sumber: suaratangerang.com di WA Group Keluarga Alumni HMI MPO

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *