Opini D.Dj. Kliwantoro
Ketika membaca berita, baik di surat kabar/majalah maupun media dalam jaringan (daring), tidak selamanya berupa kalimat tunggal. Adakalanya wartawan menggunakan kalimat majemuk setara atau kalimat majemuk bertingkat.
Namun, karena kekurangtelitian segelintir wartawan dan/atau redaktur, masih ada kalimat tanpa induk kalimat. Contoh kalimat (sebelum pengeditan) di bawah ini tanpa induk kalimat.
Kendati panas dan keringatan, namun Mas Pram tetap tersenyum menghadapi kumpulan wartawan yang berlari dengannya saat itu.
Kalimat itu terdiri atas dua kalimat dasar. Kalimat pertama merupakan anak kalimat yang ditandai konjungtor kendati atau kata penghubung untuk menandai hal tidak bersyarat.
Pada kalimat kedua, terdapat konjungsi namun merupakan kata penghubung antarkalimat untuk menandai perlawanan. Agar kalimat tersebut berinduk kalimat, menghilangkan kata namun.
Kendati panas dan keringatan (anak kalimat), Mas Pram tetap tersenyum menghadapi kumpulan wartawan yang berlari dengannya saat itu (induk kalimat).
Kalimat majemuk bertingkat ini bisa bertukar posisi. Misalnya, induk kalimat berada di depan.
Mas Pram tetap tersenyum menghadapi kumpulan wartawan yang berlari dengannya saat itu (induk kalimat) kendati panas dan keringatan (anak kalimat). Kalimat ini terdiri atas induk kalimat dan anak kalimat (keterangan).
Induk kalimat dalam kalimat majemuk bertingkat itu dapat berdiri sebagai kalimat mandiri, sedangkan anak kalimat tidak dapat berdiri sebagai kalimat tanpa induk kalimat.
Begitu pula, kalimat di bawah ini tanpa induk kalimat.
Meski dia mengaku tidak tahu akan menjadi menteri bidang apa, tetapi Jokowi memintanya untuk membenahi sektor ketenagakerjaan.
Kata penghubung meski menyatakan hubungan anak kalimat dalam kalimat majemuk bertingkat, sedangkan konjungsi tetapi menyatakan hubungan perlawanan dalam kalimat majemuk setara. Jika memilih kalimat majemuk setara, menghilangkan konjungsi meski.
Dia mengaku tidak tahu akan menjadi menteri bidang apa, tetapi Jokowi memintanya untuk membenahi sektor ketenagakerjaan.
Dua kalimat dasar di atas dapat berdiri sendiri sebagai kalimat tunggal. Misalnya:
Dia mengaku tidak tahu akan menjadi menteri bidang apa.
Jokowi meminta dia untuk membenahi sektor ketenagakerjaan.
Namun, unsur dalam kalimat majemuk setara itu tidak dapat berpindah tempat. Contoh kalimat di atas bisa juga berupa kalimat majemuk bertingkat dengan menghilangkan kata tetapi.
Meski tidak tahu akan menjadi menteri bidang apa, dia diminta Jokowi untuk benahi sektor ketenagakerjaan.
Tanda koma
Karena anak kalimat mendahului induk kalimatnya, jangan lupa menggunakan tanda koma sebelum kalimat dia diminta Jokowi untuk benahi sektor ketenagakerjaan.
Tanda koma ini juga dipakai sebelum kata penghubung, seperti tetapi, melainkan, dan sedangkan, dalam kalimat majemuk setara (vide Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia).
Dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) disebutkan bahwa tanda koma dipakai di belakang kata atau ungkapan penghubung antarkalimat, seperti oleh karena itu, jadi, dengan demikian, sehubungan dengan itu, dan meskipun demikian.
Tanda koma dipakai sebelum dan/atau sesudah kata seru, seperti o, ya, wah, aduh, atau hai, dan kata yang dipakai sebagai sapaan, seperti Bu, Dik, atau Nak.
Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan petikan langsung yang berupa kalimat tanya, kalimat perintah, atau kalimat seru dari bagian lain yang mengikutinya. Namun, belakangan ini ada wartawan menambah koma atau titik setelah tanda tanya, misalnya “…?”. atau “…?”,…. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan di dalam PUEBI.
Selain itu, sebagian dari media cetak/daring tidak menggunakan tanda koma dan titik ketika menulis singkatan gelar akademis. Misalnya, Tugiran SH dan Tugiran, S.H. Singkatan yang pertama merupakan singkatan nama diri Tugiran Sastro Hadi, sedangkan yang kedua Tugiran yang bergelar sarjana hukum.
Di dalam PUEBI dijelaskan bahwa tanda koma dipakai di antara nama orang dan singkatan gelar akademis yang mengikutinya untuk membedakannya dari singkatan nama diri, keluarga, atau marga. Bahkan, dilengkapi pula contoh penulisan nama singkatan gelar akademis, misalnya Siti Aminah, S.H., M.H.
Predikat dan objek
Pembaca surat kabar/media daring kemungkinan tidak kesulitan menemukan tanda koma di antara predikat dan objek. Kalimat di bawah ini dikutip dari sebuah surat kabar.
Kepala Daerah Operasi Manggala Agni Pontianak Sahat Irawan Manik mengatakan, kebakaran lahan masih terjadi di sebagian wilayah Kalbar.
Kalimat berita di atas predikat dan objek dipisah tanda koma.
Jika tetap ingin mempertahankan tanda koma, lebih tepat menggunakan kalimat langsung.
Kepala Daerah Operasi Manggala Agni Pontianak Sahat Irawan Manik mengatakan, “Kebakaran lahan masih terjadi di sebagian wilayah Kalbar.”
Sebaliknya, kalau tetap mempertahankan kalimat tidak langsung, mengganti tanda koma dengan konjungsi bahwa, atau menambahkan keterangan yang berupa anak kalimat seperti di bawah ini.
Kepala Daerah Operasi Manggala Agni Pontianak Sahat Irawan Manik mengatakan, ketika menjawab pertanyaan wartawan, bahwa kebakaran lahan masih terjadi di sebagian wilayah Kalbar.
Dengan demikian, bahasa Indonesia jurnalistik tidak sekadar komunikatif, tetapi juga harus tunduk pada kaidah bahasa yang telah dibakukan: kaidah tata bahasa, kaidah ejaan, dan tanda baca.
Dengan memperhatikan kaidah bahasa Indonesia, setidaknya wartawan telah ikut serta dalam penyebarluasan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di tengah masyarakat.
Oleh karena itu, pada Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2019, mari menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia demi mempererat ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). (net/lin)
sumber: indopos.co.id