Kalau yang Seperti Itu Sesat yang Tidak Sesat Seperti Apa

Ilustrasi kartun muslimah bercadar. Foto: Instgram/kartunmuslimahbercadar di VIVA.co.id

Oleh Siswo Kusyudhanto حفظه الله

semarak.co-Ada seorang teman yang awam mengatakan, “Adikku yang perempuan sejak sering dengar kajian Ustadz yang kebanyakan lulusan Universitas Islam Madinah itu dia sekarang jadi sesat” Astaghfirulloh!

Bacaan Lainnya

Lalu saya tanya, “Memang sesatnya dimana yaa?”,

Lalu dia jelaskan, “Sejak sering dengar kajian mereka dia jadi pakai hijab lebar dan bercadar kayak ustadzah aja. Lalu dia tidak mau lagi ikut acara desa seperti tahlil kematian, sedekah bumi, maulid nabi, Larung sesaji ke laut, dan seterusnya katanya itu amalan bid’ah dan syirik”.

Juga sejak dengar kajian itu, “Dia gak mau meneruskan kredit motornya alasannya itu riba.”

Lalu saya bilang, “bukannya itu bagus?”, Dia malah marah, “itu bukan bagus, tapi sesat!!!”.

Subhanallah. Jika seseorang berusaha mengikuti syariat Allah Ta’ala dan RasulNya, seperti menjauhi maksiat, riba, bid’ah dan syirik dianggap sesat, dan juga beramal diatas dalil sahhih dari Al-Qur’an dan hadits dianggap sesat, terus yang tidak sesat seperti apa?

Ini mungkin gambaran keadaan agama kebanyakan di kalangan umat zaman ini, sesat dan tidak sesat bukan diukur dari dalil Sahhih, tapi tolak ukurnya selera masing-masing, baik dan buruknya sesuatu diukur dari kepentingan pribadi bukan apa kata Allah Ta’ala dan RasulNya.

Jadi ingat perkataan Ustadz Armen Halim Naro Rahimahullah, kata beliau, jaman ini mungkin seperti yang disampaikan Rasulullah Shalallahu alaihi wa Sallam, yakni jaman dimana kebodohan merajalela di kalangan umat muslim, dimana baik dan buruk hanya mengikuti syahwat.

Padahal dalam beragama yang benar adalah didasarkan kepada ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an dan As Sunnah, sehingga dalam beramal mengikuti ketentuan dari Allah Ta’ala dan juga RasulNya.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebagian di antara tanda dekatnya hari kiamat adalah diangkatnya ilmu, kebodohan merajalela, khamr ditenggak, dan perzinaan merebak.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-’Ilm[80] dan Muslim dalam Kitab al-’Ilm [2671])

Di dalam riwayat Ahmad dan Thabrani dari jalan Abu Umamah radhiyallahu’anhu disebutkan bahwa ketika Hajjatul Wada’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ambillah ilmu sebelum ia dicabut atau diangkat.” Maka ada seorang Badui yang bertanya, “Bagaimana ia diangkat?”.

Maka beliau menjawab, “Ketahuilah, hilangnya ilmu adalah dengan perginya (meninggalnya) orang-orang yang mengembannya.” (lihat Fath al-Bari [1/237-238])

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Kebutuhan kepada ilmu di atas kebutuhan kepada makanan, bahkan di atas kebutuhan kepada nafas. Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak bisa bernafas adalah kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan hilangnya kehidupan hati dan ruh.”

“Oleh sebab itu setiap hamba tidak bisa terlepas darinya sekejap mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan ilmu akan mengakibatkan dirinya jauh lebih jelek daripada keledai. Bahkan, jauh lebih buruk daripada binatang di sisi Allah sehingga tidak ada makhluk apapun yang lebih rendah daripada dirinya ketika itu.” (lihat al-’Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 96)

Referensi: “Kemuliaan Ilmu dan Ulama”, karya Ari Wahyudi di muslim.or.id

 

sumber: m.facebook.com/groups di WAGroup ADAB & ILMU (postSenin9/5/2022/bambangwicaksono)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *