Kacau ni!!! Yang Diomongin Cuma Iraaan… Terus

Foto yang dirilis Kementerian Pertahanan Iran, 25 Mei 2023, memperlihatkan peluncuran rudal Khorrammashahr generasi ke-4 meluncur ke udara di sebuah lokasi yang dirahasiakan. Rudal ini akan memberikan tambahan kekuatan pertahanan Iran. Foto: internet

Oleh Erizeli Jely Bandaro *)

Semarak.co – Bumi ini tidak berubah. Namun penduduk terus bertambah. Kebutuhan terus meningkat. Apakah mungkin terjadi krisis pangan? Pertanyaan ini sering terdengar. Apalagi semakin luas lahan pertanian digunakan untuk industry dan real estate.

Bacaan Lainnya

Lambat laun lahan pertanian menyempit. Para aktifis lingkungan menyalahkan regulator yang tidak berpihak kepada ketahanan pangan. Lebih utamakan komersialisasi lahan yang bersifat inflasi. Itu yang dikeluhkan Anna dengan nada geram. Saya senyum aja.

Sebenarnya dunia tetap sama. Hanya persepsi kita yang berubah. Mengikuti peradaban yang seakan begerak ke depan. Tentu tidak cerdas mengutuki realitas. Tuhan tidak akan titipkan bumi kepada manusia kalau Tuhan tidak lengkapi instrument untuk menjaganya. Yaitu akal.

Namun akal itu ibarat pisau. Ia bisa tumpul atau tajam. Yang jadi masalah adalah manusia perlu pendidikan dan literasi untuk menajamkan akal agar bisa digunakan.  Tidak semua orang punya kemewahan menajamkan akal. Begitu juga dengan negara negara.

Makanya persepsi World membagi status negara.  Negara maju dan negara berkembang. Persepsi diskriminasi dilekatkan lewat status negara. Negara maju atas nama HAM, perdamaian dan lingkungan, membuat aturan agar negara berkembang tetap menjadi the second.

Aturan standar ganda tidak bisa terelakan dan itu dirasakan dengan adanya ketidaksetaraan dalam memanfaatkan sumber daya terbatas untuk riset dan tekhnologi. Neutron itu bisa menimbulkan reaksi berantai dan bila tak dikendalikan akan terjadi ledakan nuklir menghancurkan bumi.

Demikian kata negara maju. Sehingga pemanfaatan nuklir dibatasi. Diskriminasi terjadi. Namun pada waktu bersamaan negara maju semakin maju berkat nuklir. Yang katanya hebat dalam mengendalikan nuklir untuk tujuan damai.

Dari adanya nuklir itu, terciptalah pembangkit listrik nuklir yang ramah lingkungan dan beragam aplikasi untuk riset kemajuan sains. Negara seperti Amerika, Rusia, Inggris, Perancis, India, china yang menguasai teknologi nuklir hampir selalu maju di teknologi terapan lainnya, karena: Infrastruktur riset kuat, Investasi pendidikan tinggi, Fokus pada kemandirian strategis.

“Sepertinya berbeda dengan Pakistan dan Korut. Walau punya nuklir namun tetap miskin dan terbelakang. Seakan menjadi symbol kekawatiran betapa beresikonya negara miskin punya nuklir. Terbukti Nuklir hanya digunakan untuk militer.” Kata Anna.

Begitu juga dengan Iran. Kata saya. Sekian decade ekonomi Iran di embargo hanya karena persepsi buruk negara maju yang anggap beresiko bila Iran mengayakan Uranium. Argumen Iran memanfaatkan sumber daya uranium untuk tujuan riset dan tekhnologi tidak didengar.

Kebenaran hanya ada pada negara maju. Sama halnya dengan kebenaran hanya ada yang kuat untuk menganeksasi yang lemah. “Bayangkan. Berkat radiasi nuklir, teknologi mutasi induksi bisa menciptakan keragaman genetik pada tanaman secara langsung dengan memberikan perlakuan mutagen,” ujarnya.

“Sehingga diperoleh varietas baru dengan sifat unggul seperti produksi tinggi, ketahanan penyakit, atau adaptasi lingkungan. Penduduk bertambah bukan masalah. Produksi pangan bisa terus ditingkatkan karenanya, bahkan dengan lahan terbatas dan cuaca kering,” kata saya lagi.

“Wah itu sudah seperti Tuhan. Gimana bisa? tanya Anna. Dia sahabat saya. Kami pernah satu team volantir Lembaga charity international. “Terkesan too good to be true. Apa sudah terbutki tekhnologi itu?” tanya Anna.

“ Contoh Iran,” kata saya.

“Mereka sudah bisa menghasilkan varietas padi yang produksinya tiga kali lebih tinggi dibandingkan varietas natural. Menggunakan lebih sedikit air per hektar. Cepat panen nya. Itu juga berlaku untuk tanaman kedelai, canola, buah buahan, dan juga kapas. Jadi walau iran di embargo ekonominya.

Tidak bisa impor. Namun berkat sains, mereka mandiri soal pangan dan sandang. Anna terdiam. Sepertinya dia berpikir atas apa yang baru saja saya sampaikan. Sulit menjelaskan. Metode mutasi induksi disebut nontransgenik karena tidak melibatkan DNA asing, jelas tidak mungkin paradox outputnya.

Mengapa? prosesnya tidak menyisipkan gen dari spesies lain, baik dari tanaman, mikroba, ataupun organisme lain. Yang terjadi hanyalah perubahan (mutasi) pada DNA yang sudah ada dalam tanaman melalui agen mutagen. “Sederhananya gimana? tanya Anna ingin tahu konkrit tekhnologi mutasi induksi berbasis nuklir.

“Ya. Menggunakan mesin X-ray, isotop Co-60, reaktor neutron, atau akselerator partikel. Radiasi nuklir tercipta. Itu mampu menghasilkan mutasi dengan efektivitas tinggi dan spektrum luas, termasuk mutasi besar seperti delesi kromosom atau translokas,” ujarnya.

Dilanjutkannya, “Itu akan menimbulkan keragaman genetik dalam jumlah besar. Sehingga proses mutasi lebih cepat dibandingkan pemuliaan alami yang memerlukan generasi berulang untuk munculnya mutasi spontan. Mutasi induksi bisa langsung menghasilkan varian dalam 1–2 generasi.”

“Hemat ruang dan biaya tentunya. Tapi katanya nuklir itu bahaya radiasinya dan perlu investasi besar untuk buat reaktor yang aman“ kata Anna mengerutkan kening.

“Sekarang berkat kemajuan tekhnologi fisika inti, sudah ditemukan reactor nuklir seperti SMR atau small modular reactors. Kapasitas reaktor fusi kecil, ya sekitar <300 MWe. Keamanan terjamin. SMR menggunakan sistem pendinginan alami, yang bekerja tanpa listrik atau intervensi manusia. Itu efektif dari human error. Desain compact dan modul membuatnya lebih mudah untuk dibangun tahan gempa, banjir, bahkan diletakkan di bawah tanah atau lepas pantai,” Kata saya.

“Jadi lebih praktis daripada reaktor besar,”Anna mengangguk. Paham dia.

“Ya, dan bisa dipabrikasi dalam bentuk modul CKD. Karena bisa dipabrikasi, tentu biaya jadi rendah. Sekarang berkat SMR, big Tech seperti Google, Amazon, Microsoft, Nvidia, TerraPower, Oklo, dll berinvestasi besar provide SMR untuk memenuhi kebutuhan energi pusat data dan AI,” kata saya.

“Wah berarti. Semua negara bisa menggunakan nuklir sebagai sumber energi dan sarana untuk riset seperti riset tanaman.” Kata Anna.

Saya tersenyum.  Engga mau jawab kesimpulan Anna. Betul kan Ale? Kejar Anna.

“Masalahnya penggunaan reactor nuklir untuk riset dan termasuk pembangkit listrik nuklir harus dapat persetujuan dari Nuclear Regulatory Commission atau NRC. Itu lembaga independen pemerintah AS yang dibentuk tahun 1974. NRC tidak memberikan izin desain kecuali beli dari perusahaan AS,” kata saya.

“Gimana dengan Iran? Mereka dapat izin dari AS?

“Nah problemnya, AS engga mau jual ke Iran, karena sanksi dan isu geopolitik. “

“Terus bagaimana Iran dapat melakukan riset tanaman itu?

“Iran mampu buat desain sendiri, seperti reaktor Darkhovin dengan kapasitas 360 MWe heavy-water dan reaktor riset IR‑40 di Arak. Tapi karena itu AS malah tuduh Iran mau buat bom nuklir.” Akhirnya saya jawab juga. Anna terhenyak.

“Bagaimana dengan Indonesia? Tanya Anna

“Setahu saya, Indonesia dibawah pengawasan IAEA sudah mampu dan aktif melakukan riset mutasi induksi dengan radiasi nuklir, menciptakan varietas unggul yang sudah dilepas dan dikembangkan lebih lanjut di berbagai perguruan tinggi dan lembaga riset. Namun baru sebatas lab saja. Belum dikomersialkan secara luas,” kata saya.

“Mengapa? Tanya Anna. Saya diam saja.

Indonesai bukan Iran dalam memperjuang kedaulatannya. Regulasi pangan Indonesia masih bersifat rente akibat cengkraman oligarki yang memang tidak ingin membuat petani makmur dan Indonesia swasembada pangan secara efisien.

Oligarki yang terhubung dengan kartel pangan dunia seperti Bayer‑Monsanto, Corteva (DowDuPont), Syngenta (ChemChina), dan BASF  yang  menguasai sekitar 60 %+ dari pasar benih dunia. Soal SMR, Indonesia masih dalam proses perizinan dari IAEA.

Itupun karena kita bersedia membeli desain NRC dari koporata yang direkomendasi AS. Yang jadi masalah, izin nya lama. Untuk SMR bisa 6 tahun. Kalau reactor besar bisa 10 tahun. Selama waktu itu, AS bisa saja berubah pikiran kalau kita dinilai tidak patuh dan loyal dengan geopolik dan geostrategis AS.

“Jadi sebenarnya yang diperjuangkan Iran dalam konteks hubungan dengan AS, tak lain kesetaraan dalam memanfaatkan sumber daya nuklir untuk tujuan damai” Anna menyimpulkan. “Ya, Iran sedang berjuang bukan hanya untuk dirinya tetapi untuk semua. Untuk keadilan bagi semua. Sebuah pesan religious dan spiritual yang universal, tentunya” Anna seakan berbicara kepada dirinya sendiri.

Negara tanpa teknologi tidak bisa berdaulat dalam arti sesungguhnya.  Misal, Tidak bisa memproduksi alat pertahanan sendiri. Bergantung pada negara lain untuk pangan (teknologi pertanian).Tidak mampu mengembangkan industri berbasis AI atau energi terbarukan sendiri.

Akibat dari ketimpangan teknologi melahirkan ketimpangan ekonomi, kesenjangan sosial, keterbatasan kedaulatan, dan memperdalam kemiskinan struktural di negara berkembang.

*) pengamat

Sumber: WAGroup Ajang Diskusi (postSelasa24/6/2025/z)

Pos terkait