Direktur PT Multi Coco Indonesia Ady Indra Pawennari membantah pemberitaan yang menyebut dirinya ditangkap karena penipuan dalam proyek pematangan lahan 75 ribu meter persegi di Kijang, Bintan, senilai Rp1,8 miliar. Ia menegaskan justru menjadi korban dalam kasus ini.
semarak.co-Ady juga menyesalkan kasus ini dikaitkan dengan jabatannya sebagai Ketua Umum Himpunan Penambang Kuarsa Indonesia (HIPKI) dan Bendahara Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).
“Pemberitaan ini mencederai nama baik dan reputasi yang saya bangun bertahun-tahun. Saya telah berdiskusi dengan kuasa hukum untuk mengajukan pengaduan ke Dewan Pers,” ujar Ady di Kantor Hukum AR 555 & Co, Batam, Senin (3/3/2025).
“Kasus ini terjadi pada 2020, sedangkan saya menjabat di HIPKI dan PWI pada 2022 dan 2023. Tidak ada hubungannya,” demikian Ady menambahkan seperti dirilis humas PWI Pusat melalui WAGroup Pengurus PWI Pusat 2023-2028, Senin (3/3/2025).
Kasus ini bermula pada Juni 2020 ketika seorang pengusaha asal Jakarta, TML, meminta bantuan Ady mencarikan kontraktor untuk menimbun lahannya di Desa Gunung Kijang, Bintan. Lahan seluas 66,3 hektare itu direncanakan untuk proyek pemerintah bernilai triliunan rupiah, tetapi sebagian besar masih berupa rawa.
Ady kemudian menghubungi GSS, perwakilan PT RHP di Tanjungpinang, yang berpengalaman dalam pekerjaan penimbunan. Setelah survei lokasi, GSS mengajukan penawaran harga dan TML menyetujuinya dengan syarat pembayaran setelah pekerjaan selesai.
Namun, GSS meminta jaminan berupa cek mundur tiga bulan. “TML tidak memiliki cek dan meminta saya menerbitkannya. Saya pun mengeluarkan dua lembar cek senilai Rp1,88 miliar atas nama PT Multi Coco Indonesia,” jelas Ady.
Namun, setelah pekerjaan selesai dan cek jatuh tempo, TML tidak menyetorkan dananya. TML kemudian meminta perpanjangan waktu tiga bulan dan PT RHP menyetujuinya dengan tambahan bunga bank Rp584,5 juta, sehingga total kewajiban menjadi Rp2,47 miliar.
Sayangnya, masih terang Ady, TML kembali ingkar janji. Ady yang tidak memiliki perjanjian tertulis mengenai penggunaan cek perusahaan mulai khawatir. Ia pun menyarankan PT RHP mengajukan somasi.
“Karena cek atas nama perusahaan saya, secara hukum saya yang harus bertanggung jawab. Padahal, saya bukan penerima manfaat dan bukan pemilik lahan. Saya bukan tidak mampu membayar, tapi saya merasa tidak adil karena cek tersebut bukan untuk kepentingan saya,” ujarnya.
Dilanjutkan Ady, “Akhirnya, saya pilih pasrah ditahan dan menghadapi proses hukum. Setelah saya ditahan beberapa hari, TML akhirnya membayar kewajibannya, PT RHP mencabut laporan di Polda Kepri, dan perjanjian damai ditandatangani.”
Kesepakatan Damai
Direktur Utama PT RHP, MHS, membenarkan pihaknya telah mencabut laporan di Polda Kepri dan berdamai dengan Ady. “Pak Ady benar-benar korban. Dari awal kami tidak berniat memenjarakan siapa pun. Justru pak Ady sendiri yang menyarankan somasi hingga berujung laporan polisi. Syukurnya, setelah beliau ditahan, TML akhirnya membayar,” kata MHS.
Baik Ady maupun MHS berterima kasih kepada Kapolda Kepri Irjen Pol Asep Syafrudin, Dirreskrimum Kombes Pol Ade Mulyana, dan Kasubdit I Ditreskrimum AKBP Arthur Sitindaon atas penyelesaian kasus ini melalui restorative justice.
“Sejak 27 Februari 2025, kami resmi berdamai dan masalah ini selesai. Terima kasih kepada Kapolda Kepri dan jajarannya yang telah memberikan ruang untuk penyelesaian perkara secara kekeluargaan,” tutup Ady. (pwi/smr)