Jurnalisme Kita, Jurnalisme Burung Nazar

Ilustrasi burung Nazar. foto: internet

Opini by Yusran Darmawan

semarak.co -Sitti Hikmawatty memang seorang pejabat publik. Dia menempati posisi yang mentereng yakni komisioner KPAI. Dia menerima undangan wawancara dari satu media. Dia berbicara secara lepas, dengan segala kengawurannya. Setelah itu dia menerima bully dan olok-olok dari seluruh negeri.

Bacaan Lainnya

Pernyataannya memang ngawur. Dia memang keliru. Tapi, dia tidak bisa dituding seorang diri. Media yang memberitakan harusnya bisa memilah informasi sejak awal. Jika memang kalimat itu keliru sejak awal, harusnya media bisa melakukan filter informasi dan menganggapnya tidak relevan.

Pernyataan itu memang muncul dari satu wawancara. Harusnya yang dilakukan media adalah terus mencecar Sitti tentang rujukan dan sumber informasi yang disampaikannya. Jika tak ada rujukan, maka jurnalis bisa kritis mendiskusikannya sejak awal dengan narasumber.

Di era ini, jurnalisme kita tidak lagi sekadar mencari sesuatu yang penting dan menarik. Juga tidak mencari seberapa relevan satu informasi dengan topik besar yang hendak ditulis. Dahulu, substansi adalah sesuatu yang dikejar seorang jurnalis melalui wawancara dan olah data, kemudian menyajikannya ke publik.

Kini, substansi itu tidak lagi menjadi sesuatu yang dikejar. Saat proses wawancara dan tiba-tiba ada keseleo lidah serta informasi ngawur, substansi dari wawancara itu akan dilupakan. Secuplik keseleo lidah itu akan segera menjadi berita besar yang mengundang klik dan respon pembaca.

Lihat saja kasus Sitti Hikmawaty. Sejatinya wawancara itu mengenai fenomena aborsi di kalangan remaja. Hanya karena setitik kengawurannya, maka rusaklah sebelanga informasi yang hendak disampaikannya. Tak ada lagi yang bahas fenomena aborsi.

Dia menjadi bahan olok-olok di seluruh negeri. Dia menjadi bahan meme kreatif dari para netizen. Satu negeri heboh dan membicarakan kengawurannya. Padahal, tak perlu sekolah tinggi untuk tahu kalau pernyataannya memang ngawur. Cukup dengar, kemudian abaikan. Substansi harus tetap dikedepankan demi mencerahkan publik.

Kita abai pada kompetensi. Jika Sitty diwawancarai dalam konteks regulasi terhadap perlindungan anak, dia memang kompeten. Tapi saat dia sudah membahas mengenai penyebab kehamilan, maka dia jelas tidak kompeten. Itu jauh dari bidang yang dia dalami selama ini.

Harusnya sejak awal jurnalis tidak membiarkan dia bicara hal-hal yang bukan kompetensinya. Jurnalis harus setegas Najwa Shihab yang berani memotong informasi yang tidak relevan dengan apa yang sedang disajikan. Tak perlu melebarkan topik. Fokuslah pada apa yang hendak ditelusuri.

Apa daya, kita hidup di era di mana semua yang ngawur dan aneh adalah berita besar. Jurnalis kita berniat wawancara, tetapi dia menyiapkan jerat dan perangkap jika wawancara itu berpotensi akan dilihat secara berbeda oleh publik dan netizen yang maha benar.

Tidak mengejutkan jika Kepala BPIP menjadi bulan-bulanan. Rizieq Shihab sering dilaporkan. Jokowi sering jadi bahan olok-olok. Bahkan Ahok pun harus menerima demi berjilid-jilid karena kelepasan bicara yang memicu reaksi publik. Prabowo benar ketika selalu curiga dengan jurnalis. Bahkan dia pernah bilang “Pasti kalian nunggu saya salah ngomong kan?”

Kita kehilangan tradisi berbicara dengan santai, sembari tetap fokus pada substansi yang hendak dibahas. Pejabat publik dituntut untuk seperti malaikat yang harus selalu benar dan tidak boleh ngawur.

Jurnalisme kita ibarat burung nazar yang menunggu seorang narasumber salah bicara, kemudian mewartakan salah bicara itu secara luas. Jurnalisme kita mengintip-intip seorang tokoh publik, menunggu hingga mereka ngomong lepas dan ngawur, setelah itu menerkam, menyebarkan kesalahan itu hingga viral, kemudian memprovokasi publik agar mencaci dan mengolok-olok.

Jurnalisme kita tidak lagi menyajikan informasi yang bernas dan penting, tetapi mencari dan menyediakan banyak bahan untuk bully agar publik menyerapah secara berjamaah dan bersahut-sahutan di media sosial. Semua orang secara koor mengatai “goblok,” lalu kehilangan sikap kritis untuk menyikapi semua informasi dengan bijak.

Apa boleh buat. Di era ketika page view dan jumlah klik menjadi panglima, maka segala yang heboh harus selalu dibuat. Jika tak ada, ciptakan kehebohan itu. Maka kamera dan tape recorder seorang jurnalis bukan lagi corong publik untuk tahu informasi, tetapi bisa menjadi jerat dan perangkap yang menyebarkan ketololan Anda ke berbagai kanal media sosial.

Tapi, tak elok juga menyalahkan para pewarta. Akuilah kita adalah bangsa yang suka mencaci dan mengolok. Kita suka menertawakan dan mengatai orang lain bodoh, sementara kita lupa untuk refleksi kalau kita pun sering melakukan kesalahan yang manusiawi itu. Kita pun bertindak serupa Dewa yang merasa selalu benar dan suka mengolok kesalahan.

Permintaan maaf dari komisioner KPAI itu pun menjadi angin lalu di tengah massifnya hujatan dan olok-olok. Dia sudah dihakimi publik yang telanjur memberi label padanya. Dia tak lagi bisa bersuara. Dia harus tunduk pada label yang sudah dipasang publik. Saya bayangkan dia akan sulit tidur saat tagar yang memintanya mundur jadi trending topic.

Saya terkenang pada Fanni Ammidania, sosok yang disebut sebagai Ratu Agung Sejagad. Dia dan pasangannya Totok Santoso pernah dihadirkan secara live di tayangan ILC untuk ditanyai soal klaim mengenai Keraton Ratu Agung Sejagad yang memimpin dunia. Saya menduga, dia diwawancarai untuk diolok dan ditertawakan.

Tapi dia justru menjadi pihak paling waras di acara itu. Fanni yang terisak dan memakai baju tahanan menolak wawancara. Dia menjawab singkat: “Apa pun yang saya katakan tidak penting lagi. Sebab saya terlanjur dihakimi publik dan menjadi bulan-bulanan pihak berwenang. Saya memilih diam saja.” ***

 

sumber: timur-angin.com (post: Selasa 25/2/2020)/WA Group Baznas Media Center (BMC)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *