Jokowi Mencium Bau Kolonialisme, Tapi Kebijakannya Mengulang Sejarah Kelam?

Presiden Jokowi membagikan Bantuan Modal Kerja di Istana Bogor. Foto: Instagram @jokowi di fajar.co.id

Oleh Agusto Sulistio *)

semarak.co-Kolonialisme di Indonesia dimulai sejak kedatangan Cornelis de Houtman di Banten tahun 1596. Ini adalah awal dari era penjajahan yang berlangsung lebih dari tiga abad, di mana rakyat Indonesia saat itu dikenal sebagai Hindia Belanda mengalami penindasan yang mendalam dan eksploitasi besar-besaran oleh kekuatan kolonial Belanda.

Bacaan Lainnya

Pada abad ke-19, Belanda memperketat cengkeraman mereka melalui kebijakan seperti Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa yang diperkenalkan tahun 1830 oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch.
Kebijakan ini memaksa petani Indonesia menanam tanaman ekspor seperti kopi, gula, dan indigo untuk kepentingan Belanda, sementara rakyat tetap berada dalam kemiskinan dan penderitaan.

Infrastruktur Kolonial: Warisan yang Masih Hidup

Meskipun kolonialisme diwarnai oleh penindasan dan eksploitasi, Belanda juga membangun infrastruktur yang hingga kini masih digunakan di Indonesia. Contohnya adalah Jalur Kereta Api Daendels yang dibangun pada awal abad ke-19, menghubungkan Batavia (sekarang Jakarta) dengan Surabaya, yang masih menjadi salah satu jalur transportasi utama di Pulau Jawa.

Bangunan-bangunan seperti Stasiun Kereta Api Tawang di Semarang, Gedung Sate di Bandung, dan Jembatan Ampera di Palembang juga merupakan peninggalan kolonial yang terus dimanfaatkan. Istana Bogor adalah salah satu contoh peninggalan kolonial yang hingga kini digunakan sebagai kediaman resmi Presiden Indonesia.

Istana ini pertama kali dibangun pada tahun 1745 oleh Gubernur Jenderal Belanda, Gustaaf Willem van Imhoff, sebagai tempat peristirahatan. Dengan arsitektur yang khas dan dikelilingi oleh Kebun Raya Bogor, istana ini adalah simbol dominasi kolonial pada masanya, namun kini menjadi pusat kekuasaan pemerintahan Indonesia.

Komentar Jokowi dan Bau Kolonialisme

Beberapa waktu lalu, 13 Agustus 2024, Presiden Joko Widodo mengungkapkan di depan seluruh Kepala Daerah, dirinya selama 9 tahun mencium bau kolonialisme saat berada di Istana Bogor dan Istana Jakarta, menurutnya ini merupakan salah satu idenya membuat Ibu Kota Negara (IKN).

Penulis menilai Ini adalah pernyataan yang wajar mengingat sejarah istana tersebut sebagai pusat kekuasaan kolonial Belanda di Jawa Barat. Di sisi lain, persoalan yang lebih penting dari sekadar perasaan Jokowi terkait bau kolonialisme dari sebuah gedung istana peninggalan Belanda adalah pentingnya dikedepankan oleh Jokowi menghindari kebijakan yang meniru langkah-langkah kolonialisme di masa lalu.

Dan bukan mencari alasan yang kurang relevan untuk memperkuat ambisinya mewujudkan IKN yang menimbulkan multi efek. Sejarah Indonesia mencatat bahwa perlawanan terhadap kolonialisme seperti Proklamasi Kemerdekaan, Sumpah Pemuda, dan berbagai agenda nasional lainnya justru lahir dari gedung-gedung peninggalan kolonial.

Gedung-gedung tersebut, meskipun dibangun oleh penjajah, menjadi saksi bisu perjuangan bangsa untuk merdeka. Di sisi lain, Jokowi yang mendiami Istana Bogor dan Istana Jakarta sebuah simbol kolonial, belum menghasilkan kebijakan yang benar-benar mencerminkan semangat anti-kolonialisme.

Neo-Kolonialisme dalam Kebijakan Jokowi

Sayangnya, di bawah pemerintahan Jokowi, beberapa kebijakan yang diambil justru mencerminkan bentuk baru dari kolonialisme, atau yang lebih dikenal sebagai neokolonialisme. Salah satu contoh adalah proyek-proyek infrastruktur besar yang didanai utang luar negeri, terutama dari China, seperti Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.

Sementara proyek ini terlihat sebagai upaya modernisasi, ada kekhawatiran bahwa ketergantungan pada utang luar negeri dapat mengarah pada kontrol asing yang lebih besar atas ekonomi Indonesia, mirip dengan cara Belanda mengeksploitasi sumber daya dan ekonomi Indonesia selama masa kolonial.

Selain itu, kebijakan pemerintah yang cenderung mengutamakan investasi asing dengan memberikan kemudahan yang berlebihan, sering kali mengorbankan kepentingan rakyat kecil dan lingkungan.

Misalnya, dalam sektor pertambangan dan perkebunan, kebijakan Jokowi yang memberikan izin kepada investor besar sering kali menyebabkan perampasan tanah rakyat dan kerusakan lingkungan, mengingatkan kita pada praktik eksploitasi sumber daya alam oleh Belanda di masa kolonial.

Belajar dari Sejarah, Menolak Neo-Kolonialisme

Kolonialisme di Indonesia telah meninggalkan jejak yang mendalam dalam sejarah bangsa, baik dalam bentuk luka akibat penindasan dan eksploitasi, maupun dalam bentuk infrastruktur yang masih berdiri kokoh hingga kini.

Istana Bogor, sebagai simbol kolonial yang kini menjadi pusat pemerintahan, seharusnya menginspirasi pemimpin Indonesia untuk menghindari kebijakan yang memunculkan neo-kolonialisme.

Di saat kita mengenang penderitaan akibat penjajahan, sangat penting bagi pemimpin saat ini, termasuk Jokowi, untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak hanya memperbaiki kondisi saat ini, tetapi juga melindungi kepentingan nasional dari dominasi asing yang baru.

Warisan infrastruktur kolonial, yang kini dimanfaatkan oleh pemerintahan Jokowi, seharusnya menjadi pengingat bahwa sejarah bisa berulang jika kita tidak berhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.

Stasiun KA Bogor, Dekat Istana Bogor, Kamis 15 Agustus 2024, 11:27 Wib

*) Pegiat Sosmed.

 

sumber: WAGroup JUR-DIL PERUBAHAN (postKamis15/8/2024/agt)

Pos terkait