Oleh Damai Hari Lubis *)
semarak.co-Jimly Asshiddiqie membuat pernyataan yang mengejutkan terkait Majelis Hakim PTUN dalam perkara No.133/G/TF/2024/PTUN.JKT. Ia menyatakan bahwa jika hakim memutuskan untuk membatalkan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wapres, maka mereka dapat dipenjara.
Ini jelas merupakan ancaman yang tidak hanya menyesatkan, tetapi juga mengintervensi independensi hakim. Sebuah opini hukum yang kontradiktif dan tidak logis. Opini Jimly bertujuan untuk menutupi prinsip dasar yang melindungi hakim dari hukuman terkait putusan yang mereka ambil.
Prinsip hukum tersebut menyatakan bahwa hakim tidak dapat dijatuhi hukuman atas keputusan yang diambil selama proses peradilan karena tugas pokok dan fungsinya melindungi hak para pihak yang berperkara dengan integritas. Ada tiga kemungkinan hasil putusan dalam perkara ini:
Mengabulkan petitum: Hakim menerima dan mengesahkan tuntutan penggugat.
Menolak petitum: Hakim menolak tuntutan dengan dasar hukum yang sah.
Tidak menerima gugatan: Karena alasan teknis, seperti ketidakjelasan atau kompetensi relatif.
Ancaman yang dilontarkan Jimly bukan hanya mencemarkan marwah peradilan, tetapi juga mengakibatkan keresahan di kalangan masyarakat hukum dan pemerhati penegakan keadilan.
Apakah ancaman ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penundaan sidang dari 10 Oktober ke 24 Oktober 2024? Publik pun bertanya-tanya apakah keputusan hakim akan diumumkan setelah pelantikan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden yang baru pada 20 Oktober 2024.
Jika putusan PTUN membatalkan pencalonan Gibran sebagai Wapres, maka ini akan memicu kontroversi hukum lebih lanjut. Hal ini juga bisa mengindikasikan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melanggar prosedur hukum, yang dapat menimbulkan polemik berkepanjangan.
Dalam konteks politik, apakah ini berkaitan dengan negosiasi atau kompromi politik antara penggugat dan penguasa baru? Spekulasi tentang “bargaining position” pun muncul, di mana musyawarah politik bisa lebih diutamakan daripada putusan hukum yang inkracht (berkekuatan hukum tetap).
Namun, jika kompromi politik seperti bagi-bagi kursi kekuasaan benar terjadi, hal ini bisa merugikan publik secara luas, yang merasa hak-hak hukumnya sebagai warga negara untuk mendapatkan keadilan telah dilanggar. Dampaknya terhadap sistem politik dan hukum Indonesia di masa depan sangat besar.
Kita harus mempertimbangkan apakah langkah-langkah ini akan mengarah pada ketidakpastian hukum dan mencederai sejarah politik hukum di Indonesia. Kepemimpinan di bawah Jokowi telah mengundang kritik keras, dan pertanyaan tentang warisan politiknya masih menjadi perdebatan panas di tengah masyarakat.
*) Aktifis Mujahid 212
sumber: fusilatnews.com/October 11, 2024 di WAGroup