Ketua Umum Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DN-PIM) Din Syamsuddin menyatakan, saat ini ada gejala Indonesia menjadi negara diktator konstitusional. Indikasi negara diktator konstitusional adalah sikap keukeuh pemerintah terhadap masukan masyarakat atas kebijakannya.
semarak.co-Hal itu, kata Din, tercermin dalam penolakan revisi UU KPK, desakan penundaan Pilkada serentak, Revisi UU Mineral dan Batubara (Minerba), dan teranyar UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Desakan dan pendapat masyarakat dalam berbagai kebijakan itu, lanjut Din, tidak satupun didengarkan pemerintah. Kebijakan-kebijakan yang ditolak masyarakat tetap saja dilanjutkan.
“Kalau ini terus terjadi, tidak ada titik temu, pemerintah merasa berkuasa, ada gejala negara ini menjadi negara konstitusional dictator,” kata Din saat memberi kata penutup dalam webinar bertajuk Dampak Omnibus Law Terhadap Otonomi Daerah dan Berbagai Aspek Lainnya di Jakarta, Kamis (22/10/2020).
Celakanya, sindir Din, pemerintah merasa diri sudah baik dan berpihak kepada kepentingan rakyat banyak. Padahal, kata dia, dalam banyak hal, pemerintah berjalan dengan keputusan sendiri dan tidak lagi mendengarkan aspirasi masyarakat. “Ini berbahaya,” kata mantan Ketua Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah.
Dalam kasus UU Omnibus Law, ulas dia, hampir seluruh elemen negara telah bersuara keras meminta pemerintah membatalkan pembahasan di DPR. Suara yang sama disampaikan agar UU itu dibatalkan setelah di sahkan.
“Tetapi pemerintah nampak tidak mau mendengarkan aspirasi itu. Moral politik pemimpin yang baik adalah yang mendengarkan aspirasi rakyat. Dalam demokrasi rakyat yang berdaulat,” katanya.
Banyak akademisi yang juga telah memberi kesan terhadap UU Omnibus Law. Misalnya Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) yang menyebut penyusunan UU itu jorok. Kesan-kesan itu, kata dia, diberikan tentu setelah melalui pembacaan atas UU yang diparipurnakan pada 5 Oktober lalu.
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai pernyataan Din Syamsuddin yang ngeri-ngeri sedap bahwa Bangsa Indonesia akan menjadi Pemerintahan yang diktator.
“Karena berapa kali saya mendengarkan Din Syamsuddin mengatakan bahwa Indonesia menuju konstitusional dictatorship, yaitu diktator tapi konvensional,” ucap Refly Harun dilansir PikiranRakyat-Cirebon.com dari video yang diunggah pada akun YouTube Refly Harun.
Ditambahkan Refly dalam video itu, “Diktator konvensional atau diktatorship, ini terjadi ketika orang menilai masa pemerintahan bung Karno pada era orde lama dari tahun 1966 dan dengan pemerintah orde baru dari tahun 66 sampai kemudian 98 perbedaannya adalah dari sumber legitimasi.”
Keduanya pemerintahan yang otoriter, nilai Refly, itu sudah menjadi pendapat umum para ilmuwan baik politik maupun hukum tata negara. Bahwa baik orde lama maupun orde baru itu adalah otoriter.
“Tetapi yang membedakan adalah Bung Karno tidak memerlukan legitimasi konstitusi untuk bertindak, dia melampaui mengatasi konstitusi itu sendiri. Sebagai contoh, ketika dia menjadikan pidatonya sebagai GBHN, yaitu Garis-garis Besar Haluan Negara,” kutip Refly Harun yang mantan komisaris BUMN.
Pidatonya yang bertajuk manipol (manifesto politik) usdek, kutip Refly, undang-undang dasar sosialisme dan demokrasi ekonomi itu menjadi garis-garis besar hal yang haluan negara atau Guideline.”
Konstitusi mengatakan yang berhak menetapkan itu adalah majelis permusyawaratan rakyat. Namun pada masa pemerintahan Presiden Soeharto menjalankan formalisme konstitusi. Walaupun semua orang tahu bahwa GBHN itu dibuat oleh pemerintah.
“Bahwa GBHN itu disiapkan pemerintah disorongkan ke MPR melalui terutama fraksi Golkar dan fraksi ABRI yang merupakan kaki dari pak Harto lalu secara aklamasi akan disetujui,” ujar Refly.
Jadi formalisme saja itu yang disebut konstitusional diktatorship, nilai dia, jadi konstitusional diktatorship itu adalah prosedur-prosedur sumber konstitusi itu dipakai tapi hanya prosedurnya saja substansinya tidak.
“Padahal kan kita bicara substansi seharusnya ruang perdebatan itu ada di wakil-wakil rakyat di MPR baik dari unsur DPD maupun unsur DPR. Kalau dulu unsurnya bukan DPD tapi utusan golongan dan utusan daerah wataknya sama tapi prosedurnya berbeda,” ujarnya.
Ditambah Refly, “Sekarang ketika masa pemerintahan presiden Jokowi dianggap ada kecenderungan pada diktator konstitusional atau konstitusional diktatorship. Saya tidak membantah ada kecenderungan itu yang paling nyata adalah penggunaan secara masif undang-undang ite undang-undang tentang internet dan transaksi elektronik yaitu undang-undang yang betul-betul sapujagat untuk membungkam sikap kritis siapa pun.”
Sering digunakan negara tapi sering digunakan kelompok-kelompok situs society yang tidak mau kritik. “Jadi baik unsur negara maupun unsur civil society menggunakan undang-undang ite itu untuk menghantam untuk memenjarakan siapapun yang tidak sepakat dengan pemerintahan misalnya atau siapapun yang dianggap melakukan penghinaan dianggap melakukan provokasi perbuatan-perbuatan yang dianggap tidak menyenangkan dan lain sebagainya.” ujar Refly Harun.
Jadi undang-undang itu sebenarnya banyak makan korban tapi sayangnya MK hingga saat ini tidak mau hapuskan atau membatalkan undang-undang itu. “Tertawa keberadaan pasal 27 yang paling berbahaya subjektifnya tinggi sekali jadi liat ini di luar sudah,” pungkasnya.
Mudah-mudahan kita tidak terus terjerumus ke dalam lubang dictatorship ini, lanjut dia, dan satu hal kalau gara-gara mengatakan bahwa pemerintah sekarang ada kecenderungan konstitusional dictatorship atau diktator konstitusional lalu ada konsekuensi hukum kepada profesor Din Syamsuddin, misalnya katakan ditangkap juga, maka ini justru membuktikan bahwa memang benar-benar ada diktatorship itu.
“Kita tentunya tidak menginginkan negara kita menjadi negara yang otoritarian kembali pemimpin yang menjadi diktator kembali karena membangun demokrasi ini tidak mudah penuh dengan darah dan air mata dan juga korban nyawa dari syuhada syuhada reformasi tahun 98,” imbuhnya.
Dan siapapun yang menikmati kepemimpinan hari ini yang duduk di kepemimpinan baik para pemimpin yang memimpin para pendukungnya harus mengingat ini baik-baik jangan sampai negara ini regresif kembali. “Tidak enak mengalami era seperti era orde baru apalagi era orde lama.” ucapnya.
“Padahal saya belum lahir tapi orde baru sangat merasakan bagaimana kebebasan sangat dibuka bagaimana kita tidak bisa bersuara bebas. Jadi kalau sekarang dikatakan kita tidak sama dengan masa pemerintahan Pak Harto, kita tidak pengen sama karena kalau kita menjadi sama maka Negara kita adalah Negara yang gelap Negara yang otoriter negara yang tidak lagi menghargai perbedaan pendapat.”
Tapi jangan lupa itu menjadi satu aspek kebebasan sipil, pesan Refly, aspek politik, aspek kebebasan berpendapat menyatakan pikiran baik secara lisan maupun tulisan, tapi aspek lain juga harus diselesaikan misalnya ekonomi kebudayaan pendidikan dan lain sebagainya.
Menurut Refly kalau kita bandingkan antara satu dengan yang lainnya bisa jadi lebih baik dari satu segi pada era orde baru dibandingkan era reformasi saat ini lebih baik era kepemimpinan SBY dibanding era kepemimpinan Jokowi.
“Misalnya lebih baik era kepemimpinan pak Harto dibandingkan era kepemimpinan Jokowi atau SBY,” imbuhnya. Tapi kita harus lihat aspeknya dulu, ajak dia, kalau kita bicara aspek kebebasan sipil ya jangan kita tiru era orde lama dan orde baru itu.
“Yang membungkam sipil yang menjadikan negara kita menjadi diktator, mungkin satu diktator konstitusional karena pada zaman pemerintahan pak Harto selalu menyandarkan pada Pancasila dan undang-undang dasar 1945 untuk memukul siapapun yang berbeda pendapat,” ujar Refly.
Refly menambahkan lagi, “Saya tidak ingin masa itu terulang kembali pada era saat ini terutama era pemerintahan Jokowi dan jangan sampai presiden Jokowi justru meninggalkan warisan sebagai pemimpin yang menggerakkan kembali Ilham otoritarianisme di negara ini.”
Memang jalan demokrasi itu jalan-jalan yang penuh penak dan duri, sambung Refly, tapi di situlah sesungguhnya kemerdekaan hendak kita ciptakan dan kita perjuangkan. Bahwa kemerdekaan itu harus membebaskan hati nurani kita termasuk hati nurani untuk diungkapkan kepada publik dan itu dijamin oleh konstitusi kita sebagai sebuah kebebasan yang hakiki.
“Jangan sampai kita kemudian terlalu berlebihan, tidak baik juga terlalu berlebihan dalam menanggapi sesuatu yang hanya merupakan wacana. Jangan melebih-lebihkan sesuatu wacana seolah-olah menjadi sebuah kerumitan keriuhan dan lain sebagainya. ucap Refly. (net/smr)
sumber: cirebon.pikiran-rakyat.com di google.co.id