Jangan dan Jangan Lagi, Ibadah di Masjid Dianggap Kegiatan Ekstra Kurikuler

Ilustrasi ungkapan Rapatkan Shaf dalam masjid berarti juga membentengi umat Islam dari upaya-upaya jahat. Foto: internet

Oleh Dr. Adian Husaini *)

semarak.co-Alkisah, pada 26 Juli 2023, saya menguji satu disertasi doktor bidang pendidikan tentang “Pendidikan Life Skill Remaja Masjid”. Disertasi ini menarik, karena meneliti aktivitas Remaja Masjid di sejumlah masjid terkenal, seperti Masjid Sunda Kelapa, Masjid Raya Bintaro Jaya, dan Masjid Jogokaryan Yogya.

Bacaan Lainnya

Tetapi, ada hal aneh dan salah kaprah yang dianggap biasa saja di tengah masyarakat kita. Sebagaimana biasanya, makna PENDIDIKAN disamakan dengan PERSEKOLAHAN. Orang yang tidak sekolah dianggap tidak berpendidikan. Padahal, di masa Nabi ada pendidikan terbaik, tetapi tidak ada sekolah.

Karena terjebak dengan makna persekolahan itu, maka pada umumnya, aktivitas remaja masjid dan sejenisnya, dimasukkan ke dalam kegiatan “ekstra-kurikuler”. Dan biasanya pula, kegiatan “ekstrakurikuler” atau “ekskul” dimaknai sebagai kegiatan tambahan yang dilakukan di luar jam pelajaran, baik yang dilakukan di sekolah atau pun di luar sekolah.

Karena kegiatan di masjid disebut “ekstra-kurikuler” maka kegiatan itu dianggap berada di luar kurikulum inti. Artinya, kegiatan di masjid itu dianggap hanya kegiatan pilihan, sesuai minat dan bakat siswa. Jadi, secara umum, kegiatan ekstra kurikuler dipandang tidak lebih penting dari kegiatan intra-kurikuler di sekolah.

Akibatnya, banyak masjid sepi dari anak-anak muda. Sebab, mereka memandang kegiatan ibadah di masjid – seperti shalat, pengajian, itikaf, menjadi marbot, dan sebagainya – tidak lebih mulia daripada kegiatan belajar di sekolah!

Bahkan ada yang menganggap menjadi marbot di masjid merupakan hal yang tidak produktif, karena tidak mendapatkan gaji tetap, sebagaimana layaknya para pekerja pabrik. Di sejumlah Pesantren, bisa kita jumpai ada pembagian kegiatan santri berupa KBM dan non-KBM.

KBM diartikan sebagai Kegiatan Belajar Mengajar. Itu adalah aktivitas santri yang belajar mata pelajaran tertentu di kelas. Sedangkan aktivitas shalat tahajud, shalat subuh berjamaah, tadarrus dan tahfidz al-Quran tidak dimasukkan ke dalam makna KBM.

Itulah yang selama ini sudah berjalan. Maka, kepada calon doktor di Program Doktor Pendidikan Agama Islam UIKA Bogor itu, saya menyarankan untuk mengubah cara pandang terhadap konsep pendidikan yang konvensional tersebut.

Jangan menempatkan aktivitas di masjid sebagai kegiatan ekstra-kurikuler. Tapi, kegiatan yang baik di masjid itulah sejatinya merupakan proses pendidikan yang paling penting untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu meningkatkan keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia (Lihat: pasal 31 ayat 3, UUD 1945, UU Sisdiknas No 20 tahun 2003, UU Pendidikan Tinggi No 12 tahun 2012).

Karena itu, kegiatan di masjid disusun dan dilaksanakan sebagai satu proses pendidikan dengan kurikulum terbaik. Aktivitas Remaja Masjid itu sejatinya merupakan satu bentuk pendidikan yang sangat penting bagi masa depan anak-anak muda.

Bukan hanya untuk kehidupan di dunia, tetapi juga untuk kehidupan akhiratnya. Tujuan hidup manusia adalah meraih bahagia di dunia dan akhirat. Jadi, mohon, kegiatan di masjid tidak dipandang sebagai kegiatan ekstra kurikuler, yang dianggap tidak lebih penting dari akivitas pembelajaran di sekolah.

Bahkan, akivitas KBM di sekolah, bisa jadi tidak termasuk ke dalam makna pendidikan, jika bahan ajar dan cara pembelajaran di sekolah itu menjadikan siswa semakin buruk akhlaknya dan semakin jauh dari Tuhannya.

Jika kondisi pembelajaran itu salah, maka hal itu jauh berbeda dengan pendidikan remaja masjid untuk melatih keterampilan life skill (kecakapan hidup) mereka. Para aktivis remaja masjid itu dilatih agar memiliki kecakapan hidup dalam berbagai bentuknya, seperti personal skill, social skill, vocation skill, academic skill mereka.

Semua program pelatihan kecakapan hidup semacam itu sepatutnya tidak dimasukkan ke dalam kategori pendidikan “ekstra-kurikuler”.  Sebab, hal itulah sesungguhnya program pokok dalam pendidikan kita.

Apalagi, jika personal skill itu juga mencakup ketrampilan dalam beribadah kepada Tuhan dan berperlaku baik kepada sesama manusia. Ini justru inti-kurikulum pendidikan kita. Sekali lagi, janganlah hal itu disebut sebagai aktivitas “ekstra-kurikuler”. Jangan dan jangan lagi!

Di sinilah pentingnya para pegiat pendidikan Islam menjadikan konsep ilmu dalam Islam sebagai dasar penyusunan kurikulum pendidikannya. Ilmu-ilmu yang fardhu ain harus lebih diutamakan dibandingkan ilmu-ilmu fardhu kifayah, apalagi ilmu-ilmu yang mubah. Jangan mengajarkan ilmu-ilmu yang mudharat. Adab harus dijadikan sebagai dasar penambahan ilmu.

Begitu juga dengan istilah KBM! Agar proses pendidikan berlangsung secara integral – sesuai konsep ilmu dan pendidikan Islam – maka sepatutnya aktivitas shalat tahajjud dan shalat berjamaah di masjid juga dimasukkan ke dalam kurikulum inti dan juga bagian dari KBM (Kegiatan Belajar Mengajar).

Bahkan, sejak bangun tidur pun, seorang santri sudah dilatih untuk belajar menjadi orang baik, dengan cara mengamalkan adab bangun tidur. Begitu bangun tidur, sebaiknya kita duduk sebentar sambil membaca doa: “Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan aku setelah mematikan aku dan kepada-Nya aku akan kembali.”

Ini doa yang sangat dahsyat kandungan maknanya. Doa ini melatih kecerdasan dan kesadaran akan hakikat dan tujuan hidup. Pembiasan adab bangun tidur seperti itu sudah merupakan satu bentuk pendidikan dan sekaligus pembelajaran yang hebat.

Doa itu – jika dipahami dan dihayati maknanya — melatih kecerdasan berpikir. Sebab, kita diajak untuk berpikir dalam tiga dimensi waktu sekaligus! Waktu kini, waktu lampau, dan waktu mendatang. Inilah makna pendidikan yang hakiki dalam pandangan Islam.

Jangan samakan pendidikan dengan persekolahan. Tujuan pendidikan kita adalah membentuk manusia yang seutuhnya; manusia yang beriman bertaqwa dan berakhlak mulia. Tujuan mulia ini hanya bisa terwujud jika makna pendidikan dipahami dan diterapkan dengan benar.

Untuk mengembalikan makna pendidikan yang hakiki dan memuliakan kedudukan masjid, maka Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) mendirikan Dewan Dakwah Boarding School (DBS) – yaitu suatu SEKOLAH UNGGULAN BERBASIS MASJID.

Semoga Allah SWT menolong kita semua dalam mewujudkan tujuan dakwah yang mulia, yaitu terlaksananya ajaran Islam dalam kehidupan pribadi, masyarakat, bangsa dan negara kita. Amin. (Jakarta, 9 Desember 2024).

*) Ketua Program Doktor PAI UIKA Bogor

 

sumber: WAGroup Himpunan Aktifis Masjid Indonesia (HAMI)/(postSelasa10/12/2024baharuddinhusin)

Pos terkait