Jadikan MK Harapan Terakhir, GKR Kawal Sidang Gugatan Sengketa PHPU

Mantan Penasihat KPK Abdullah Hehamahua (pake peci) di sela demonstrasi sekitar gedung MK. foto: WAG GPN

Gerakan Kedaulatan Rakyat (GKR) yang merepresentasikan kegelisahan bahkan ketakutan rakyat atas kondisi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mengeluarkan pernyataan sikap sebagai bentuk ikut mengawal jalannya sidang Mahkamah Konstitusi (MK).

Koordinator Lapangan (Korlap) GKR Abdullah Hehamahua mengatakan, Pilpres 2019 yang berujung pada gugatan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) oleh Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi ke MK perlu disikapi.

“Pertama, GKR mengajak seluruh rakyat Indonesia yang masih peduli kepada nasib bangsa dan memiliki hati nurani untuk bersama-sama memperjuangkan tegaknya keadilan, kedaulatan, dan hak demokrasi rakyat demi keutuhan NKRI dan moralitas bangsa di masa depan,” ujar Hehamahua dalam rilisnya,  seperti dilansir sejumlah whatsapp (WA) group relawan Prabowo-Sandi, Minggu (16/6/2019).

Ikut mengawal sidang MK mulai 14-28 Juni 2019, lanjut Hehamahua, meminta pada pihak yang sedang diberi amanah kekuasaan, khususnya pihak keamanan, memberi ruang bagi rakyat untuk berdaulat atas hak-haknya yang dijamin oleh konstitusi, termasuk hak untuk menyampaikan pendapat dan hak memperjuangkan hak suaranya yang hilang saat pemilu.

“Ketiga, meminta kepada semua pihak, terutama penguasa dan para elit di negeri ini untuk tidak melakukan intervensi dan intimidasi kepada para hakim di MK,” ujar Dullah, sapaan akrab Abdullah Hehamahua.

Keempat, lanjut Dullah, meminta para hakim MK untuk bersidang secara profesional dan proporsional mengacu pada fakta-fakta hukum yang ada dan mempertimbangkan aspek moral serta nasib bangsa kedepan.

“Yang kelima meminta pada para hakim MK untuk tetap independen, jujur, adil dan bebas dari kepentingan maupun intervensi dari pihak manapun dalam mensidangkan kasus sengketa pemilu,” ujar Dullah, mantan anggota HMI.

Sedangkan keenam, rinci dia, MK dalam mengambil keputusan diharapkan tidak hanya mempertimbangkan angka-angka perolehan suara paslon, tapi seharusnya juga mempertimbangkan secara serius pelanggaran hukum, aspek moral dan tragedi kemanusiaan yang terjadi jelang, saat dan pasca pemilu.

“Terakhir, pelanggaran hukum, aspek moral dan tragedi kemanusiaan yang terjadi jika diabaikan dalam pertimbangan bagi putusan MK, berpotensi melahirkan situasi yang semakin buruk di negeri ini,” imbuh mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Saat ini, sambung Dullah, MK menjadi satu-satunya pintu harapan terakhir bagi rakyat untuk mengembalikan optimisme dalam berdemokrasi bahkan berbangsa dan bernegara.

“Di tangan MK nasib masa depan bangsa dan negara ini akan ditentukan baik buruknya. Dan kami berharap MK tidak salah dalam membuat keputusan. Karena keputusan MK yang salah akan bisa mengakibatkan hilangnya kedaulatan rakyat, lenyapnya demokrasi, lahirnya tirani di negeri ini dan disintegrasi bangsa,” tutupnya.

Proses pemilu belum berakhir, lanjut dia, tragedi kemanusiaan yang telah merampas kedaulatan rakyat masih jadi trauma. Selain belum ada yang menyatakan bertanggung jawab terhadap kasus per kasus, mekanisme pemilu telah sampai di MK.

MK mesti keluar dari ruang normatif yang sempit. Artinya tidak hanya menjadi institusi yang sekedar bekerja untuk menghitung selisih suara yang disengketakan dalam pemilu. Tapi lebih dari itu, MK harus betul-betul menjadi institusi moral yang benar-benar memperhatikan dan mempertimbangkan nasib masa depan bangsa dan negara.

Di tangan MK nanti akan ada keputusan siapa yang akan dimenangkan dalam persidangan untuk selanjutnya dilantik secara konstitusional menjadi presiden. Di sinilah peran krusial MK bagi masa depan bangsa, minimal lima tahun kedepan, bahkan berdampak pada tahun-tahun berikutnya.

“Apakah presiden hasil keputusan MK itu akan membawa Indonesia keluar dari problem bangsa, atau justru membuat negara ini makin terpuruk? Di tangan sembilan hakim di MK, masa depan demokrasi, kedaulatan rakyat dan moralitas bernegara akan ditentukan. Nasib rakyat dan negara ini ke depan akan sangat bergantung kepada keputusan MK,” ujarnya.

Apakah MK akan menambah tragedi baru dengan keputusan yang tidak jujur dan tidak adil? Apakah MK akan membuat keputusan sesuai kepentingan sepihak, atau hasil intervensi dan intimidasi?

Jika itu terjadi, maka tidak saja kredibilitas MK yang semakin buruk, tapi lebih dari itu, keputusan MK akan membuat rakyat akan semakin putus asa karena tak lagi menemukan keadilan hukum dan politik di negeri ini.

Rakyat merasa kedaulatannya secara sistematis telah dirampok oleh hampir semua institusi yang seharusnya menjadi penjaga keadilan hukum dan merawat demokrasi di negeri ini.

Negeri ini menangis. Pemilu yang seharusnya menjadi pesta demokrasi berubah jadi tragedi. Lebih dari 700 petugas KPPS meninggal. Belasan ribu sakit. Mulai dari sakit ringan hingga sakit berat.

Delapan orang wafat ketika protes terhadap pemilu yang dianggap sarat kecurangan. Sebagian dari mereka yang mati adalah remaja. Dua orang diantaranya mati karena tertembak peluru tajam.

Sejumlah tokoh dan ulama yang kritis ditangkap dan dijadikan tersangka. Sebagian dituduh makar. Dijebloskan ke penjara dengan ancaman hukuman yang memberatkan. Pelanggaran yang sama tak berlaku bagi mereka yang mendukung penguasa. Disinilah keadilan patut diperjuangkan.

Banyak yang menyebut pemilu kali ini adalah yang terburuk di sepanjang sejarah demokrasi Indonesia. Paling curang dan paling brutal. Terjadi pelanggaran yang transparan dan telanjang.

Di sisi lain, penguasa yang diharapkan ikut bertanggungjawab untuk meredakan dan menstabilkan situasi tak kunjung hadir. Bahkan dicurigai ikut terlibat, atau setidaknya mendiamkan tragedi itu terjadi hingga berlarut-larut.

Sebuah tragedi yang membuat suasana tegang dan bahkan mencekam bagi rakyat. Negara ini seolah kehilangan pemimpin yang bisa menjamin rasa aman bagi rakyatnya. Penguasa cenderung lebih mengedepankan tindakan represif dari pada pendekatan persuasif.

Absennya pemimpin membuat negara ini lalu dikendalikan oleh segelintir elit yang haus dan rakus kekuasaan. Tragedi pemilu terjadi tanpa ada pihak yang merasa bertanggung jawab. Ini akan menjadi luka sejarah yang akan selalu diingat dalam memori bangsa Indonesia ke depan. (lin)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *