by M Rizal Fadillah *
semarak.co-Ketika Menag Yaqut menyatakan setuju dan memberi dukungan pada Resolusi PBB tentang penetapan hari penghapusan Islamophobia maka tentu ia meyakini bahwa Islamophobia itu ada. Negara-negara PBB penting untuk menjalankan Resolusi tersebut di negaranya masing-masing.
PBB tidak mengkhususkan Islamophobia pada negara minoritas muslim, tetapi seluruh negara termasuk Indonesia yang mayoritas muslim. Pernyataan Imam Besar Istiqlal Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA bahwa di Indonesia tidak ada Islamophobia bukan saja mengada-ada tetapi juga buta pada realita.
Kasus-kasus penyikapan negatif pada Islam dan umat Islam bukan tidak ada bahkan banyak. Dasarnya adalah Islamophobia. Pak Imam harus tahu bahwa bentuk Islamophobia itu beragam. Antara lain menista atau menodai agama. Tidak adakah di Indonesia?
Lalu menuduh tanpa dasar bahwa agama itu yang membuat radikalisme, intoleran atau terorisme. Islam dan umat Islam yang difitnah sebagai tertuduh. Program moderasi beragama juga berbasis Islamophobia.
Kriminalisasi ulama dan aktivis Islam serta membiarkan faham dan aliran sesat keagamaan seperti ahmadiyah, syi’ah, bahaisme dan lainnya adalah Islamophobia. Membenturkan adat Istiadat dengan agama Islam termasuk di dalamnya.
Lebih jauh menginterpretasi Islam secara liberal dan pengembangan sekularisme yang berujung pada de-Islamisasi atau de-Qur’anisasi adalah Islamophobia akut. Terma yang ada dalam Al Qur’an yang harus dihindari dibaca dan di da’wahkan seperti qital, qishosh, khilafah, jihad, ghazwah, kafir atau lainnya.
Kaum Islamophobia ada di mana-mana. Buzzer yang teriak kadrun-kadrun dan anti Arab itu adalah kaum Islamophobia. Kelompok yang membenturkan Islam dan Pancasila lalu menyatakan bahwa Pancasila itu seperti rumusan 1 Juni 1945 itupun Islamophobia. Ingin menafikan bahwa Pancasila 18 Agustus berasal dari Piagam Jakarta.
Mereka ketakutan berlebihan pada Islam. Kaum Islamophobia menganggap Islam hanya urusan shalat dan puasa. Bisa haji sudah cukup. Tetapi ketika Islam mengharamkan bunga, mengutuk LGBT atau melarang kawin beda agama, maka itu disebutnya radikal. Kaum itu memberi predikat umat Islam intoleran dan anti kemajemukan.
Nah pak Imam Besar, coba buka mata dengan jernih betapa umat Islam kecewa dengan sikap pemerintahan kini yang berbau Islamophobia. Meminggirkan dimensi sosial dan politik keumatan. Pak Imam jangan larut dan ikut-ikutan menuduh umat ini radikal, intoleran atau teroris. Pak Imam Besar bisa menjadi kaum Islamophobia.
Walau memimpin Masjid negara sebagai Ketua DKM. Islamophobia tidak ada tetapi radikalisme agama ada, bias dan tendensius pandangan Nasaruddin ini. Katanya, “Praktek penyebaran radikalisme, intoleransi, dan kebencian di mimbar agama nyata terjadi dan harus diakui guna memunculkan kewaspadaan dini.” Nah payah.
Islamophobia itu ada, masif, dan invasif karenanya harus diwaspadai dan diantisipasi. Bahkan harus dilawan dan dibasmi. PBB telah mencanangkan hari dunia melawan Islamophobia. Pak Menteri Agama telah mendukung, namun Pak Imam Besar malah menafikan atau berujar “Islamophobia tidak ada”. Buta kalee.
“Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi sehingga hati dan akal mereka dapat memahami ?”–fainnahaa laa ta’maal abshooru wa laakin ta’maal quluubu allatii fiish shuduur (sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta itu ialah hati yang ada di dalam dada)–QS Al Hajj 46.
*) Pemerhati Politik dan Keagamaan
Bandung, 24 Juli 2022
sumber: WAGroup Ngaji Berkah (postMinggu24/7/2022/)