@DokterTifa
Semarak.co – Bismillahirrahmanirrahiim.
Seperti yang sudah saya sampaikan sejak jauh-jauh hari, bahkan sebelum badai ini benar-benar datang, bahwa jika mereka memilih jalan kriminalisasi, pembungkaman, dan intimidasi terhadap diri saya, maka itu bukanlah tanda kemenangan mereka.
Itu justru menjadi titik kelahiran gelombang baru. Karena setiap kali satu suara kebenaran ditekan, akan lahir seribu suara lain yang jauh lebih keras, lebih jernih, lebih berani. Dan hari ini, kita menyaksikannya dengan mata kepala sendiri.
Ketika mereka berusaha membungkam RRT, muncullah Lukas dengan kejernihan argumennya. Bonatua dengan keberanian yang tak pernah mereka prediksi. Leony yang memecah hening dengan ketegasan nurani.
Profesor Ciek yang bicara tanpa takut, berdiri di garis depan bersama rakyat. Mereka bukan sekadar nama. Mereka adalah geometri baru perlawanan, manifestasi dari hukum alam bahwa kebenaran tidak bisa dihentikan oleh ancaman.
Mereka lahir bukan karena saya memanggil, bukan karena saya membentuk. Mereka hadir karena suasana zaman dan qadar sejarah yang memanggil manusia-manusia terpilih untuk berdiri di sisi kebenaran.
Kehadiran mereka adalah bukti bahwa pemalsu ijazah salah total membaca keadaan: mereka pikir membungkam satu orang akan membuat bangsa ini diam. Mereka lupa bahwa bangsa ini sedang bangkit dari tidur panjangnya.
Jika mereka pikir memenjarakan RRT berarti memenjarakan kesadaran, mereka benar-benar tidak mengerti dinamika sebuah bangsa di ambang kebangkitan. Karena hari ini saya katakan sekali lagi, dengan mantap, dengan penuh kesadaran, dan dengan seluruh keberanian yang diberikan Allah:
Jika RRT dibungkam, maka akan muncul bukan hanya 1000 RRT, tapi 10.000.
Jika RRT dikriminalisasi, maka setiap orang yang dulu diam akan mulai bicara.
Jika RRT ditekan, maka tanah ini sendiri akan melahirkan generasi pembawa kebenaran berikutnya.
Dan itu sudah terjadi. Kita sedang menyaksikan awal dari sebuah gelombang. Bukan gelombang manusia, tapi gelombang kesadaran.
Dan di sisi lain, pertahanan Pemalsu Ijazah hari ini berdiri di atas pondasi yang rapuh, begitu rapuh hingga hanya disanggah oleh Termul-Termul yang jumlahnya makin sedikit, makin kelelahan, makin tak punya energi selain mengulang narasi kosong yang bahkan mereka sendiri tidak lagi percayai.
Mereka bukan lagi membela dengan akal. Mereka hanya bertahan dengan kebiasaan, berbohong, menyerang pribadi, menutup akses informasi yang sementara ini bisa mereka kuasai. Argumentasi yang dipakai pun semakin ngawur, semakin kering logika, semakin tidak nyambung dengan realitas rakyat.
Mereka hidup di lorong echo chamber yang mereka buat sendiri, lorong di mana kebenaran diredam, kritik dimatikan, dan kewarasan publik dijadikan musuh utama. Dan ketika akal sudah tidak bisa lagi digunakan, mereka beralih ke instrumen tekanan.
Kepolisian yang bisa ditekan.
UGM yang bisa diseret ke arah legitimasi palsu.
KPU yang dipaksa menjadi perpanjangan tangan kekuasaan.
Dan terakhir, KPI, yang seharusnya menjadi penjaga nalar publik, kini dijadikan pagar betis untuk melindungi narasi busuk rezim. Inilah bentuk pertahanan Pemalsu Ijazah sekarang: institusi-institusi yang digiring, ditekan, dan disetir, bukan dukungan rakyat.
Karena dukungan sejati tidak lagi ada. Yang tersisa hanya sisa-sisa loyalis yang makin mengecil, makin nyaring, makin panik—seperti kapal yang mulai tenggelam tetapi awaknya masih memukul-mukul drum seolah musik bisa menahan air masuk.
Sementara di luar sana, gelombang kesadaran publik terus naik.
Suara-suara baru terus lahir.
Satu demi satu, publik melihat dengan jelas bahwa narasi mereka tidak punya lagi kaki untuk berdiri.
Hasbunallah wani’mal wakil, ni’mal maula wani’man nashiir.
La haula wala quwwata ila billah.
Salam takzim
dr.Tifauzia Tyassuma, http://M.Sc
sumber: dicopas dari media social Twitter atau sekarang X akun pribadi @DokterTifa, Sabtu (6/12/2025)





