Oleh : Hersubeno Arief
“Pak Prabowo, saya itu senang naik sepeda. Dan sering ketika naik sepeda rantainya putus. Tapi percayalah kepada saya Pak Prabowo bahwa rantai persahabatan kita tidak akan pernah putus!”
Pernyataan penutup ( clossing statement ) Jokowi pada debat keempat Sabtu malam (30/3) sungguh sangat mengejutkan. Tak terduga! Prabowo sempat terperangah, namun sejurus kemudian dia mengangkat tangan sambil mengepalkan tinjunya.
Bukan hanya Prabowo yang terperangah. Di bawah panggung para punggawa Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf juga tampak terkejut. Ekspresi wajah mereka yang tertangkap kamera sangat beragam.
Ketua TKN Erick Thohir mengelus-elus dagunya. Kepala Staf Kepresidenan Jenderal (Purn) Moeldoko wajahnya membeku. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri terlihat termangu, tanpa ekspresi. Aura kekalahan sangat terasa menjalar di wajah-wajah anggota TKN yang hadir di arena debat.
Di depan layar televisi lebih dari seratus juta penonton juga terkejut. Mereka tidak menduga Jokowi akan mengucapkan kalimat itu.
Tidak pada tempatnya Jokowi mengucapkan hal itu pada clossing statement. Ibarat sebuah pertandingan sepakbola, penyataan penutup adalah tanda waktu pertandingan secara normal akan berakhir. Injury time. Waktu-waktu krusial yang sangat menentukan hidup mati sebuah tim.
Sepanjang lima babak debat, Jokowi terus tertekan. Prabowo tampil percaya diri. Gol-gol berhasil dilesakkan. Kalau dibuat skor moderat saja posisinya 5-0. Kalah telak. Seharusnya Jokowi total football menyerang. Berusaha dengan cara apapun untuk membalikkan posisi, atau setidaknya mengurangi defisit gol.
Namun yang terjadi malah sebaliknya. Jokowi mengibarkan bendera putih. Dia menyampaikan sebuah kalimat yang tidak bisa diartikan lain kecuali sebagai ucapan perpisahan ( farewell statement ), sekaligus “menitipkan” diri kepada Prabowo.
Jika kita cermat mengamati, Jokowi tidak sedang terpeleset lidah. Kalimat itu sudah dipersiapkan secara tertulis. Dari gerakan matanya terlihat Jokowi membaca teks yang sudah disiapkan.
Jokowi bahkan hanya memanfaatkan waktu selama 1 menit 50 detik dari total 4 menit waktu yang disediakan. Ketika Retno Pinasti moderator debat mengingatkan masih ada waktu yang tersisa, Jokowi menolak dan langsung duduk.
Ketika mendapat giliran menyampaikan kata penutup, Prabowo sejenak seperti orang kebingungan. Dia tak menduga Jokowi akan menyampaikan kalimat seperti itu. Prabowo kemudian mencoba menetralisir sikapnya yang menekan Jokowi tanpa henti sepanjang debat.
Prabowo menyambut pernyataan Jokowi yang akan tetap menjaga persahabatan. Dia juga sejenak terbawa langgam Jokowi. “Saya ini separuh Banyumas, separo Minahasa. Kalau Bapak kan orang Solo. Halus. Banyumas ini Bataknya orang Jawa,“ ujarnya.
Ketika menyadari, Prabowo langsung tertawa sambil mengangkat tangannya. “clossing statement kok jadi begini?” ucap Prabowo itu disambut tawa meriah dari hadirin.
Emotional Breakdown
Ada apa dengan Jokowi? Mengapa dia seperti seorang prajurit kalah perang. Menyerah sebelum pertempuran berakhir. Mengapa dia sangat cepat mengibarkan bendera putih?
Naik sepeda adalah metafora sebuah perjalanan. Dan dalam perjalanan terkadang kita harus terhenti. Baik karena takdir, maupun karena……… rantai putus……….
Kendati disampaikan secara simbolis, namun pesan Jokowi sangat jelas. Terang benderang. Cetho welo-welo, kata orang Jawa. Tidak perlu ada penafsiran lain.
Sejak memasuki arena panggung debat, penampilan Jokowi sudah tidak meyakinkan. Dia seperti orang yang mengalami emotional breakdown, nervous breakdown.
Tampilannya seperti seorang petinju yang terpaksa naik ring. Dia sudah kalah sebelum bertanding. Padahal dia juara bertahan yang harus mempertahankan sabuk juaranya.
Secara psikologis emotional breakdown dikategorikan sebagai situasi penuh stres yang bisa membuat seseorang tak mampu berfungsi secara normal. Biasanya disebabkan oleh stres dan rasa cemas saat seseorang merasa kewalahan ketika menghadapi sebuah situasi yang tidak bisa dia kendalikan.
Tanda-tanda itu terlihat dari ekspresi fisik, maupun ucapannya. Tepat sepekan sebelumnya di Stadion Kridosono Yogya (23/3) Jokowi menyatakan akan melawan para penentangnya setelah 4.5 tahun difitnah dan berdiam diri. “Tetapi hari ini di Yogya saya sampaikan, saya akan lawan! Ingat sekali lagi, akan saya lawan!,” ujarnya dengan suara meninggi.
Teriakan Jokowi terdengar seperti orang yang tak berdaya dan putus asa. Padahal Jokowi adalah seorang inkumben. Seorang presiden yang tengah menjabat dan sangat berkuasa.
Pekan pertama kampanye terbuka tanda-tanda Jokowi akan mengalami kekalahan semakin nyata. Seperti sudah diprediksi, Jokowi apalagi Ma’ruf Amin sangat kesulitan mengerahkan massa pendukung. Mereka terpaksa melakukan mobilisasi agar kampanye terlihat meriah. Ma’ruf malah memilih berkunjung ke pondok pesantren, atau mengumpulkan para santri dalam kampanye terbuka.
Sebaliknya kampanye Prabowo-Sandi di berbagai kota —termasuk di kota-kota— yang semula menjadi basis Jokowi sangat membahana. Situasi di lapangan membuktikan Prabowo berhasil merebut kantong-kantong suara Jokowi.
Pada Pilpres 2014 Prabowo hanya menang di 10 provinsi. Sementara Jokowi menang di 24 provinsi, termasuk pemilih di luar negeri. Selesih suara keduanya sebesar 8.4 juta. Prabowo hanya menang di Aceh, Sumatera Barat, Riau, Sumsel, Jabar, Banten, NTB, Kalsel, Gorontalo, Maluku Utara.
Beberapa survei menunjukkan hampir seluruh provinsi di Sumatera sudah jatuh ke tangan Prabowo. Yang tersisa hanya Lampung.
Di pulau Jawa daerah penting seperti DKI Jakarta juga sudah jatuh ke tangan Prabowo. Yogyakarta, dan Jawa Timur sudah mulai berimbang. Tinggal Jawa Tengah posisi Jokowi masih perkasa, namun mulai goyah.
Di Indonesia Timur posisi Jokowi juga mulai goyah. Daerah terkuat seperti Sulsel dipastikan jatuh ke tangan Prabowo. Jokowi masih berhasil mempertahankan kantong suara di wilayah non muslim seperti NTT, Bali, Papua, Papua Barat, dan Sulawesi Utara.
Namun melihat arus besar yang sedang bergerak, ada kemungkinan terjadi migrasi suara besar-besaran di kawasan ini. Apalagi dalam debat tadi malam Prabowo berhasil secara cerdik mematahkan isu Islam radikal dan khilafah. Sebuah isu yang sengaja dimanfaatkan oleh kubu Jokowi untuk menakut-nakuti pemilih non muslim dan Islam sekuler.
Pendukung Prabowo-Sandi juga kian militan. Mereka tidak hanya bersemangat menghadiri kampanye terbuka, tapi juga rela memberikan sumbangan dalam jumlah besar untuk kemenangan Prabowo.
Sebaliknya Jokowi terancam ditinggalkan para pendukungnya. Ada yang memutuskan tidak memilih (Golput), namun ada juga yang menyeberang ke kubu Prabowo menjadi “muallaf” politik. Mereka kecewa, dan merasa tertipu karena salah memilih presiden.
Dalam dua hari terakhir sebuah surat terbuka yang ditulis oleh Linda Christanty berjudul “ Selamat Tinggal Pak Jokowi” viral di media sosial. Linda sastrawan dan wartawan yang banyak mendapat penghargaan dari dalam dan luar negeri, pada Pilpres 2014 merupakan pendukung berat Jokowi.
Banyak figur terkenal seperti Linda yang menyesal dan memutuskan meninggalkan Jokowi. “ Saya juga muallaf politik mas. Dulu kesana, malah ikut konser Salam Dua Jari. Sekarang nyesel,” ujar presenter top Arie Untung.
Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah ( 2006-2010) Izzul Muslimin termasuk salah satu tokoh yang memutuskan hijrah dan menjadi muallaf politik. Dia saat ini sangat aktif mendukung Prabowo dan menggalang dukungan di kalangan warga Muhammadiyah. Di mendirikan gerakan Aliansi Pencerah Indonesia (API).
Pada Pilpres 2014 Izzul membentuk Relawan Matahari mendukung pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. “Kalau 2014 saya salah memilih itu namanya orang yang tertipu. Tapi kalau 2019 masih tetap memilih orang yang sama itu namanya orang bodoh,” ujar mantan politisi Partai Hanura itu.
Gabungan antara sulitnya mengerahkan massa pendukung, dan banyaknya pemilih golput, maupun migrasi ke kubu Prabowo membuat Jokowi sangat tertekan. Emotional breakdown, dalam stadium sedang menuju berat.
Menyaksikan perdebatan keempat yang menunjukkan superioritas Prabowo dan tanda-tanda Jokowi sudah mengibarkan bendera putih, dipastikan akan membuat mental pasukan pendukungnya kian tertekan.
Arus besar migrasi pendukung besar-besaran diperkirakan sedang terjadi pasca debat tadi malam. Arus itu akan menjadi gelombang besar yang menggerus elektabilitas Jokowi.
Masih ada waktu tersisa selama dua pekan bagi Jokowi untuk mengumpulkan dan memulihkan kembali mental pasukannya. Yang juga lebih penting adalah mental dirinya sendiri.
Pada tanggal 8 April Jokowi-Ma’ruf akan menggelar kampanye akbar di Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta. Sementara tanggal 13 April group band Slank akan menggelar konser besar “Salam Satu Jari.”
Melihat antusiasme pendukungnya dua perhelatan besar itu juga dibayangi kegagalan. Apalagi sehari sebelumnya Prabowo juga akan menggelar kampanye terbuka di tempat yang sama.
Hampir dipastikan kampanye itu akan meledak dan menjadi ajang unjuk kekuatan para pendukung Prabowo. Sudah banyak pendukung dari luar daerah yang menyiapkan diri, jauh-jauh hari menabung agar dapat hadir pada acara super spesial itu
Konser Slank juga dipastikan banyak kehilangan tim inti dari kalangan artis. Jay Subiyakto penata artistik Konser Salam Satu Jari (2014) sudah menyatakan tidak akan terlibat.
Apakah Jokowi bisa membalikkan situasi seperti pada Pilpres 2014? Dalam situasi ini kita perlu mengingat kembali petuah panglima perang paling top dari Perancis Jenderal Napoleon Bonaparte : A leader is a dealer in hope.
Seorang pemimpin adalah penjual harapan. Melihat Jokowi seperti orang yang sudah kehilangan harapan, lantas apa lagi yang bisa dia “jual” kepada para pendukungnya.
Apakah ini waktu yang tepat bagi kita untuk mengucapkan: Selamat tinggal Pak Jokowi. Selamat berpisah. So long. end
sumber: WA Group KAHMI Cilosari 17 kiriman Edi Zulhedi MS, Minggu (31/3)