Puteri, Pajak, dan Negeri yang Nuntut terlalu Banyak
semarak.co-Catatan Agus M Maksum *)
Di suatu tempat yang kini mulai ditinggalkan, ada desa yang pernah penuh tawa. Sawah terbentang luas, sungai mengalir jernih, dan anak-anak berlarian mengejar layang-layang di sore hari. Di sana, Puteri lahir. Ia tumbuh dengan cerita tentang kerja keras.
Orang tua dan kakeknya selalu berkata, Sekolah yang tinggi, kerja yang giat, dan hidupmu akan lebih baik. Maka, Puteri mengikuti nasihat itu. Ia bekerja sejak fajar, memikul harapan yang terlalu besar di pundaknya.
Ia bukan hanya bekerja untuk dirinya sendiri. Ia menghidupi orang tua yang sudah menyerah pada hidup. Ia menyekolahkan dua adiknya yang lebih sibuk bermain game daripada menulis masa depan mereka sendiri. Ia membantu paman, bibi, keponakan—keluarga yang tak pernah lepas dari hutang.
Tetapi ia bertahan. Karena begitulah kehidupan berjalan di sini. Hingga suatu hari, ia menyadari sesuatu yang lebih menyakitkan: Negeri ini tidak hanya menuntutnya menghidupi keluarganya. Negeri ini juga menuntutnya menghidupi mereka yang bahkan tidak ia kenal.
Generasi Sandwich Dobel Kuadrat
Ngeri prihatin gemes dan ngenes membaca narasi Tere Liye berjudul Generasi Sandwich Dobel Kuadrat. Setiap bulan, gajinya dipotong pajak. Pajak penghasilan, BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, Tapera. Setidaknya Rp 600.000 hilang begitu saja.
Dalam setahun, lebih dari Rp7,2 juta raib tanpa pernah ia tahu ke mana perginya. Ia bertanya-tanya, apa yang didapatkannya dari semua itu? Ketika ia membutuhkan gas 3 kg, negeri ini berkata, “Tidak boleh, kamu mampu.”
Ketika adiknya ingin mengajukan bantuan pendidikan, negeri ini berkata, “Tidak bisa, keluargamu sudah cukup kaya.”
Tetapi setiap bulan, uangnya terus diambil. Ia bukan hanya menghidupi keluarganya, tetapi juga jutaan orang miskin yang entah mengapa tetap miskin. Negeri ini berkata bahwa pajak itu untuk kesejahteraan rakyat, tetapi Puteri tidak pernah merasakan sejahtera.
Dan sementara ia bekerja dari pagi hingga malam, ada orang-orang yang bahkan tidak perlu bekerja keras seperti dirinya. Mereka flexing. Anak pejabat, anak komisaris, anak-anak yang hidupnya sudah pasti di atas, memamerkan jam tangan seharga rumah, tas seharga tanah
Lalu mobil yang harganya bisa memberi makan satu kampung. Mereka hidup nyaman. Dan ketika akhirnya terbongkar bahwa uang mereka berasal dari korupsi, negeri ini tidak benar-benar marah. Hukuman mereka lebih ringan dari beban yang setiap hari dipikul Puteri.
Pergi atau Bertahan?
Dari layar ponselnya, Puteri melihat dunia lain. Kanada, Australia, Jepang, Korea. Di sana, kerja keras dihargai. Tidak ada yang mengatakan, “Kamu harus berbagi dengan negara,” hanya untuk melihat pejabat-pejabatnya hidup dalam kemewahan.
#KaburAjaDulu bukan sekadar tagar. Ini adalah keputusan rasional dari mereka yang merasa bahwa negeri ini telah meminta terlalu banyak, tetapi memberi terlalu sedikit. Mereka tidak ingin meninggalkan rumah mereka.
Tetapi jika rumah ini tidak lagi memberi mereka tempat untuk bertahan, apa yang bisa mereka lakukan? Mereka pergi dengan hati yang berat. Meninggalkan sawah yang pernah mereka cintai. Sungai tempat mereka bermain. Aroma tanah basah setelah hujan.
Mungkin, suatu hari, mereka akan kembali. Mungkin, suatu hari, negeri ini akan berubah. Tetapi sampai hari itu tiba, mereka harus terus berjalan. Karena bertahan di sini berarti menerima bahwa hidup mereka hanya untuk menanggung beban yang tak pernah mereka pilih.
Catatan untuk Negeri Ini
Gambaran tentang Generasi Sandwich Dobel Kuadrat ini bukan sekadar fiksi. Tere Liye menuliskannya sebagai kenyataan yang dialami banyak anak muda di negeri ini. Anak muda yang bekerja keras tetapi tetap miskin. Anak muda yang harus menghidupi keluarga mereka sendiri.
Sekaligus menopang sistem yang tidak pernah berpihak pada mereka. Anak muda yang akhirnya memilih pergi, bukan karena mereka ingin, tetapi karena negeri ini tidak memberi mereka pilihan lain.
Dan ketika akhirnya mereka benar-benar pergi, siapa yang akan tersisa di sini? Mungkin hanya mereka yang sudah nyaman di atas sana. Dan negeri ini? Ia akan terus berjalan, kehilangan sedikit demi sedikit anak-anak terbaiknya.
*) belum diketahui
Sumber: WAGroup Rumah Aspirasi Gerindra (postJumat21/2/2025/gsup)