Era revolusi Industri telah melahirkan banyak perubahan. Jadi sebagai sarjana maupun sebagai perguruan tinggi (PT) ditantang untuk berperan di masyarakat agar menciptakan masyarakat yang lebih religius. Religius itu mempunyai sepak terjang yang dijiwai oleh agama, yaitu Islam.
Sekretaris Kopertais Wilayah I DKI Jakarta H. Supriadi Ahmad mengatakan, pertama yang harus kita lakukan adalah menegakkan 4 Pilar Kebangsaan Indonesia. Ini seperti diajarkan di awal-awal semester melalui mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, yaitu Pancasila, UUD 45, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.
“Religiusitas kita akan terganggu kalau NKRI terganggu,” ujar Supriadi dalam sambutan sekaligus mengisi kuliah umum dengan judul: Peran PerguruanTinggi Keagaamaan Islam dalam wujudkan Masyarakat Religius di era Revolusi Industri 4.0 dalam rangka Sidang Senat Wisuda ke 37 Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Publisistik Thawalib Jakarta di auditorium Perpustakaan Nasional, kawasan Salemba, Jakarta Pusat, Kamis (3/10/2019).
Ketika ada peristiwa kerusuhan social di Wamena Papua, kutip Supriadi, yang menyedihkan religiusitas kita terganggu. Karena NKRI kemungkinan tercabik-cabik. “Maka ini penting sekali untuk kita pertahankan bahwa NKRI harus kita jaga, harus kita pertahankan baik-baik,” imbuhnya.
Disamping menegakkan 4 Pilar Kebangsaan Indonesia, lanjut dia, kita harus juga menjaga kerukunan umat beragama. “Saya mau ilustrasikan, ada enam orang yang beragama berbeda-beda saling bergandengan tangan untuk bekerja sama mempertahakan NKRI di Wamena itu,” ujarnya.
Jadi kerukunan umat bergama ini, nilai dia, sangat mahal di saat-saat kita mempertahankan NKRI. “Kalau salah melakukan kerukunanan beragama ini, maka akan terjadi geseken-gesekan yang mungkin mengganggu kerukunan agama itu sendiri,” terangnya disaksikan Staf Diktis Kemenag RI M. Syarif Hidayatullah.
Apa kaitannya dengan Revolusi Industri? Supriadi memamparkan, sekarang segala sesuatu yang kita jalani di Indonesia maupun di dunia sangat terkait dengan revolusi industri. Revolusi industri pertama terjadi tahun 1784. Di mana tenaga-tenaga manusia saat itu digantikan oleh mesin.
“Saat itu, di Perancis orang-orang yang dulunya bekerja dengan tangannya atau dengan fisiknya digantikan oleh mesin. Di Mesir pernah terjadi sepert itu. Ketika itu, Mesir dijajah orang-orang Perancis di bawah Napoleon Bonaparte,” ungkapnya dihadapan Ketua STAI Publisistik Thawalib Syamsuddin Kastoer.
Orang-rang Mesir sangat tradisional saat itu, lanjut dia, membajak dengan bajak yang ditarik sapi atau kerbau dan atau binatang lain. “Tapi ketika datang mesin, manusia-manusia yang membajak sawah jadi menganggur. Sapi-sapi atau kerbau mereka pun tak guna lagi,” sindirnya.
Mungkin ini bagi petani seperti ayah Supriadi pada zamannya cukup maju. “Ketika itu, para tetangga membantu ayah membajak sawah dan ayah saya bisa memberi upah bahkan kerbaunya pun dapat jatah uang. Tapi ketika ada mesin traktor disel, sapi-sapi itu menganggur. Bajak-bajak ditaruh di gudang,” kenangnya.
Jadi kita memberi uang pada orang yang punya mesin, kata dia, bukan pada orang yang punya sapi atau bajak. “Revolusi Industri kedua, terjadi 1870an. Dimana industri terjadi dimulai ada revolusi cetak, ada mesin uang, dan sebagainya. Lalu dilanjut Revolusi Industri ketiga tahun 1968,” rincinya.
Di abad 20 itu sudah mulai ada komputer, masih Supriadi, kita semua merasakan betapa komputer bisa menggantikan tugas-tugas kita. “Saya dulu waktu menulis skripsi dengan pembimbing Prof Anton Timur Djaelani, masih pakai mesin ketik manual. Kalau salah, harus di tipe x. Ganti kertas, tipe x lagi,” ulasnya.
Ketika ada komputer dia belajar di Sarinah Thamrin dari Ulujami seminggu 2 kali. “Betapa enak dan nikmatnya saat saya menulis tesis tidak lagi dengan mesin tik manual. Kalau salah tingggal diblok selesai. Betapa cepatnya ckomputer menggantikan dan membantu tenaga manusia untuk mempercepat pekerjaannya,” ucap Supriadi yang fasih berbahasa Arab.
Terakhir revolusi industri 4.0 yang terjadi sekarang. Revolusi industri ini membawa kita kepada kemudahan-kemudahan. Tapi tenaga manusia pun terancam. Selain komputer, tapi juga robot. “Contoh restoran di Jepang, pelayannya bukan gadis remaja yang cantik-cantik dan ganteng-ganteng, tapi sudah robot. Kita bayangkan kemana ini tenaga manusianya,” sindirnya.
Di Indonesia kemudian timbul rencana-rencana atau strategi-strategi nasional pemerintah untuk mengantisipasi revolusi industri 4.0 itu. “Antara lain, perbaikan alur barang dan material, desain ulang zona industri, dan lain-lainnya. Hal-hal semacam ini agak berat bagi kita di perguruan tinggi Islam, termasuk STAI Publisistik Thawalib,” bebernya.
Kalau disebutkan alumninya ada jadi wartawan, itu masih ada kaitannya. “Jadi dalam era 4.0 ini, perguruan tinggi agama Islam bisa memerankan minimal dua hal saja. Peningkatan kualitas SDM atau peningkatan mutu SDM. Ini tugas perguruan tinggi. Kemudian harmonisasi aturan dan kebijakan. Ini mungkin bisa dilakukan oleh kita-kita di perguruan tinggi keagamaan Islam,” sarannya.
Misalnya, kutip dia, menarik minat investasi asing. “Mungkin agak kurang sesuai untuk kita di perguruan tinggi keagamaan, tapi kalo Thawalib Publisistik bisa berperan dalam menarik investasi asing, mungkin bisa saja. Tapi yang paling banyak pada peningkatan SDM,” urainya.
Jadi para wisudawan-wisudawati yang akan berkiprah di masyarakat, bisa berperan dalam meningkatkan kualitas SDM sebagai wujud peran dari perguruan tingginya. “Kemudian sekurang-kurangnya ada 4C yang harus disiapkan setelah jadi alumni untuk terjun ke masyarakat,” terangnya.
Pertama, critical thinking and problem solving. Jadi pemikiran-pemikiran yang baik dan kritis, tapi juga harus bisa memberi solusi. Jangan seperti aksi demo mahasiswa di Cianjur, Jawa Barat. Mereka membakar ban, lalu datang polisi untuk memadamkan tapi pikiran kritis ini tidak dibarengi pemecahan masalah.
“Karena mahasiswa itu menyiram bensin pada api yang sedang menyala di ban itu. Ini menyulut polisi jadi korban. Ini beda demo mahasiswa yang menolak revisi berbagai UU, ternyata mahasiswa di situ mempunyai pemikiran yang sangat kritis dan ada sesuatu yang mereka lakukan untuk memecah problem,” paparya.
Alquran, kata dia, memberikan dorongan kita untuk berpikir. “Ini artinya, jangan puas jadi sarjana, tapi kejar lagi S2 dan S3. Tapi kalau yang perempuan, saran pribadi saya, sebaiknya langsung membangun rumah tangga selesai kuliah. Jangan terlambat, kalau meneruskan ke S2 dan bekerja, jangan lupa untuk tetap mengurus keluarga,” pesannya.
Beda dengan laki-laki yang belum waktunya. “Karena biasanya wanita yang karirnya melejit suka lupa berkeluarga. Apalagi, pria pun takut memetiknya. Makanya, laki-laki terus berkarir dan bekerja saja dulu,” sarannya.
Kedua dari 4C itu, lanjut dia, harus punya creativity and innovation. “Artinya, harus ada sesuatu yang baru yang anda temukan ada kreasi untuk memperbaiki masyarakat agar lebih religius lagi. Ketiga communication, yaitu kita harus meningkatkan komunikasi dan terakhir collaboration,” tutupnya.
Di bagian lain Supriadi mengaku, punya hubungan yang personal dengan Prof Anton Timur Djaelani pendiri Thawalib Publisistik. Karena waktu menyusun skripsi tahun 1985, dia dibimbing Anton sampai di rumahnya di Matraman Jakarta Timur.
“Dia telaten dan saya beruntung dibimbing seorang guru besar oleh Prof Anton. Semetara waktu itu belum banyak profesor yang membimbing mahasiswa. Almarhum sangat berjasa membimbing saya untuk masuk ke S2 dan S3. (lin)