Habis Utang ke Jepang dan Baru saja dari Australia, Pemerintah Utang Lagi ke Jerman Rp9,1 Triliun, Apa kata Indef

Kabag KfW Jerman Florian Sekinger dan Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu RI RI Luky Alfirman saat menandatangani naskah pinjaman secara daring. Foto: dok Kedubes Jerman di Jakarta/indopos.co.id.

Resesi ekonomi yang melanda Indonesia membuat pemerintah pontang-panting mencari utangan baru. Bagaimana tidak, belum satu bulan pemerintah sudah berutang uang kepada tiga negara, yakni Jepang, Australia, dan yang terbaru Jerman.

semarak.co-Setelah mendapat pinjaman utang sebesar Rp6,9 triliun dari pemerintah Jepang pada 20 Oktober 2020, kemudian pada 12 November 2020 mendapat pinjaman sebesar Rp15,45 triliun dari pemerintah Australia, kini Indonesia utang baru dari pemerintah Jerman sebesar 550 juta euro atau sekitar Rp 9,1 triliun.

Bacaan Lainnya

Pinjaman baru untuk pemerintah Indonesia itu terungkap setelah pemerintah Jerman melalui Kantor Kedubes Republik Federal Jerman untuk Indonesia di Jakarta mengunggah informasi tersebut di akun resmi media sosial mereka di twitter dan facebook.

Naskah kerja sama pinjaman Jerman – RI ditandatangani secara terpisah karena secara daring (dalam jaringan) atau online oleh Kepala Bagian Sustainable Economic Development East and Southeast Asia Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) Florian Sekinger dan Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI Luky Alfirman.

Penandatanganan naskah terpaksa dilakukan secara daring lantaran pandemi COVID-19. Pada Jumat (14/11/2020), perjanjian pinjaman senilai 550 juta euro telah ditandatangani secara terpisah di kantor Bank Pembangunan Jerman KfW di Frankfurt dan di Kementerian Keuangan di Jakarta, menyesuaikan dengan kondisi pandemi,” tulis akun @KedubesJerman, Selasa (17/11/2020).

Sedangkan di akun facebook resmi Kedubes Republik Federal Jerman di Jakarta, mereka menulis bahwa Jerman mendukung perluasan rumah sakit pendidikan di Makassar dan Malang Jawa Timur, termasuk membantu menyediakan peralatan medis, peningkatan ekonomi, dan bantuan terarah untuk kelompok rentan.

“Di saat #COVID19 masih menjadi tantangan global, Jerman terus mendukung mitranya seperti Indonesia dalam melawan pandemi. Selain mendukung perluasan rumah sakit pendidikan di Makassar dan Malang.

Kerja sama pembangunan Jerman berkontribusi terhadap COVID-19 Active Response and Expenditure Support (CARES) I dan II yang terdiri atas langkah-langkah penyediaan alat medis, peningkatan ekonomi, dan bantuan terarah untuk kelompok rentan,” tulis pihak Kedubes Republik Federal Jerman di Jakarta, Rabu (18/11/2020).

Utang luar negeri (ULN) Indonesia kian membengkak. Saat ini, diketahui mencapai sebesar Rp5.759 triliun. Atas utang yang kian membengkak tersebut, Ekonom Rizal Ramli beri pertanyaan kepada Presiden Jokowi (Joko Widodo).

Rizal Ramli mempertanyakan kepada Jokowi, Indonesia akan dibawa kemana dengan utang yang bejibun itu. Tidak hanya itu, Rizal Ramli juga menyindir bahwa untuk membayar bunga utang harus berhutang lagi.

Menurut Rizal Ramli, utang Indonesia saat ini sudah terlalu banyak dan berlebihan. Memang seperti yang sudah diketahui Bank Indonesia (BI) per 17 November 2020 telah membeli Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp342,52 triliun.

“Mas Jokowi, mau dibawa kemana RI? Surat utang bunganya semakin mahal. Untuk bayar bunga utang saja, harus ngutang lagi. Makin parah. Makanya mulai ganti strategi jadi pengemis utang bilateral dari satu negara ke negara lain, itupun dapatnya recehan, itu yg bikin shock” ujar Rizal Ramli melalui akun Twitter @RamliRizal.

Gubernur BI Perry Warjiyo menepis dengan mengatakan, pembelian surat utang ini adalah demi mendorong pemulihan ekonomi nasional. “Sinergi ekspansi moneter BI dengan akselerasi stimulus fiskal pemerintah dalam mendorong pemulihan ekonomi nasional terus diperkuat,” ujar Perry saat konferensi pers virtul Rapat Dewan Gubernur periode November 2020, Kamis (19/11/2020).

Rizal Ramli. Foto: Twitter @RamliRizal di seputartangsel.com

Sebagai informasi, Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia tumbuh melambat. Posisi ULN Indonesia pada akhir triwulan III 2020 sebesar US$408,5 miliar atau setara Rp5.759 triliun (dengan kurs Rp14.100 per US$).

ULN terdiri dari ULN sektor publik (Pemerintah dan Bank Sentral) sebesar US$200,2 miliar dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar US$208,4 miliar. Pertumbuhan ULN Indonesia pada akhir triwulan III 2020 tercatat sebesar 3,8% (yoy), menurun dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya sebesar 5,1% (yoy), terutama dipengaruhi oleh transaksi pembayaran ULN swasta.

Membengkaknya utang Indonesia saat ini, Jokowi sudah sering diingatkan Rizal Ramli agar bijaksana terhadap utang. Tak jarang Rizal Ramli memberikan statement keras untuk pemerintahan Jokowi agar tak sembarangan soal utang. “Sebelum ada corona kita sudah mengalami krisis,” ucap Rizal Ramli saat diundang di ILC pada 22 april 2020.

Rizal Ramli menunjukkan data grafik penanganan corona bila pemerintah Jokowi cepat mengambil tindakan. Dalam penyampaiannya, Rizal menegaskan bahwa ekonomi Indonesia sudah berantakan sebelum datang pandemi coronavirus.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati buka-bukaan terkait membengkaknya utang pemerintah. Utang sering menjadi sorotan masyarakat apalagi di tengah pandemi Covid-19.

Menurut Sri Mulyani, penyebab utama utang pemerintah bengkak atau rasio utang pemerintah meningkat begitu drastis di tahun ini karena adanya pandemi covid-19. Pandemi membuat anggaran untuk pembiayaan Covid-19 meningkat.

Meski pandemi, program pemerintah yang sudah direncanakan tetap jalan. Tentu pemerintah juga melindungi masyarakat yang terdampak Covid lewat berbagai macam insentif yang digelontorkan.

Sebagai gambaran, hingga akhir September 2020, total utang pemerintah mencapai Rp5.756,87 triliun. Dengan angka tersebut maka rasio utang pemerintah sebesar 36,41% terhadap PDB. Adapun, total utang pemerintah itu terdiri dari pinjaman sebesar Rp864,29 triliun dan surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 4.892,57 triliun.

“Tahun 2020 ini kita perkirakan APBN defisit 6,34%, kenaikan luar biasa besar dalam rangka untuk menolong perekonomian, menangani Covid, dan bantu masyarakat,” ujarnya dalam acara konferensi pers virtual, Kamis (19/11/2020).

Direktur Pelaksana Bank Dunia menambahkan, dengan membengkaknya utang, maka defisit APBN meningkat drastis hingga berada dikisaran Rp1.039,2 triliun atau meningkat 6,34%.

Meningkatnya defisit APBN ini juga dilakukan pemerintah guna memenuhi kebutuhan anggaran belanja negara yang meningkat menjadi Rp 2.739,16 triliun. “Dengan seiring penggunaan fiskal untuk countercyclical, maka defisit APBN di banyak negara atau semua negara alami kenaikan. Ini kemudian sebabkan rasio utang terhadap PDB meningkat,” jelasnya.

Sebagai informasi, Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia tumbuh melambat. Posisi ULN Indonesia pada akhir triwulan III 2020 sebesar USD408,5 miliar atau setara Rp5.759 triliun (dengan kurs Rp14.100 per USD).

ULN terdiri dari ULN sektor publik (Pemerintah dan Bank Sentral) sebesar USD200,2 miliar dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar USD208,4 miliar.

Pertumbuhan ULN Indonesia pada akhir triwulan III 2020 tercatat sebesar 3,8% (yoy), menurun dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya sebesar 5,1% (yoy), terutama dipengaruhi oleh transaksi pembayaran ULN swasta.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyoroti beberapa masalah di bidang ekonomi selama setahun Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin menjabat. Salah satunya terkait nilai utang negara yang terus meninggi dan jadi warisan bangsa.

Mengutip catatan International Debt Statistics 2021 dari Bank Dunia, Bhima memaparkan, Indonesia tercatat menempati urutan ke-6 tertinggi di antara negara berpendapatan menengah dan rendah dalam Utang Luar Negeri (ULN), yakni USD 402 miliar.

Beban utang luar negeri tersebut jauh lebih besar dibanding negara berpendapatan menengah lain seperti Argentina, Afrika Selatan hingga Thailand. Bahkan berpotensi semakin membesar di tengah situasi pandemi Covid-19 saat ini.

“Di tengah situasi pandemi, pemerintah terus menambah utang dalam bentuk penerbitan utang valas yang rentan membengkak jika ada guncangan dari kurs rupiah,” ujar Bhima kepada Liputan6.com, Senin (19/10/2020).

Pada 2020, pemerintah juga telah menerbitkan Global Bond sebesar USD 4,3 miliar dan jatuh tempo pada 2050 atau tenor 30,5 tahun. Artinya, ia menegaskan, pemerintah tengah mewarisi utang pada generasi ke depan.

“Setiap 1 orang penduduk di era Pemerintahan Jokowi-Maa’ruf Amin tercatat menanggung utang Rp 20,5 juta. Itu diambil dari perhitungan utang pemerintah Rp 5.594,9 triliun per Agustus 2020 dibagi 272 juta penduduk,” tutur dia.

Bhima pun tak menyangkal jika beban utang itu bakal semakin membesar. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi nasional alami penurunan hingga menyentuh level -5,32 persen di kuartal II 2020 akibat terlambatnya penanganan Covid-19 yang dilakukan.

Kenyataan ini berbanding terbalik dengan China yang merupakan negara asal pandemi. Negeri Tirai Bambu mencatatkan pertumbuhan positif 3,2 persen di periode yang sama.

Sementara Vietnam juga tumbuh positif 0,3 persen karena adanya respon cepat pada pemutusan rantai pandemi, dengan lakukan lockdown dan merupakan negara pertama yang memutus penerbangan udara dengan China.

Di sisi lain, kesiapan Pemerintaham Jokowi dalam hal stimulus pemulihan ekonomi nasional (PEN) menghadapi resesi ekonomi relatif kecil, hanya 4,2 persen dari PDB dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia yang 20,8 persen dan Singapura 13 persen.

Namun, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance Bhima Yudhistira, justru menganggap pembangunan infrastruktur yang jor-joran tersebut sebagai salah satu masalah terbesar pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin. Sebab program itu dinilainya terbilang sia-sia dalam menurunkan ongkos logistik.

“(Salah satu masalah terbesar adalah) biaya logistik yang tak menurun signifikan meskipun bangun infrastruktur di mana-mana (high cost economy),” jelas Bhima kepada Liputan6.com, Senin (19/10/2020).

Menurut catatannya, biaya logistik masih berada di kisaran 23-24 persen dari produk domestik bruto (PDB). Karenanya, Bhima menyatakan pembangunan infrastruktur belum mampu menurunkan biaya logistik karena banyak infrastruktur yang salah dalam perencanaan. “Tingginya biaya logistik menyebabkan investasi di Indonesia berbiaya tinggi,” sambung dia.

Selain itu, Bhima juga menyoroti rendahnya angka inflasi pada masa 1 tahun Jokowi-Ma’ruf Amin ini akibat tekanan daya beli masyarakat di tengah pandemi Covid-19. Deflasi bahkan terjadi dalam beberapa bulan dengan inflasi inti (core inflation), hanya 1,86 persen per September 2020.

Ilustrasi utang luar negeri Indonesia. foto: internet

Inflasi yang rendah tersebut turut berakibat pada harga jual barang yang tidak sesuai dengan ongkos produksi dari produsen. “Bahkan tidak sedikit yang menawarkan harga diskon agar stok tahun sebelumnya bisa habis terjual. Dalam jangka panjang jika inflasi tetap rendah maka produsen akan alami kerugian, bahkan terancam berhenti beroperasi,” cibir Bhima.

Selanjutnya, ia juga mengutip angka pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang terus alami kenaikan, dan diperkirakan jumlah karyawan yang di PHK dan dirumahkan mencapai 15 juta orang. Hasil survey ADB (Asian Development Bank) pun menunjukkan UMKM di Indonesia terus lakukan pengurangan karyawan setiap bulannya.

“Situasi di tahun 2020 sangat berbeda dari krisis 1998 dan 2008, dimana PHK di sektor formal dapat ditampung di sektor informal/UMKM. Saat ini 90 persen UMKM membutuhkan bantuan finansial untuk memulai usahanya kembali,” terangnya.

Hal tersebut potensi berakibat pada laju kemiskinan yang terus bertambah. Bhima mengatakan, angka kemiskinan diperkirakan mencapai lebih dari 12-15 persen akibat jumlah orang miskin baru yang meningkat saat pandemi Covid-19 di saat peringatan 1 tahun Jokowi-Ma’ruf Amin.

“Data Bank Dunia mencatat terdapat 115 juta kelas menengah rentan miskin yang dapat turun kelas akibat bencana termasuk pandemi Covid-19,” ujar Bhima.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kembali angkat suara mengenai kenaikan utang Indonesia. Ia menjelaskan, kenaikan utang tersebut merupakan tren yang sedang terjadi secara global di tengah pandemi Covid-19. “Semua negara terjadi kenaikan,” kata Sri Mulyani dalam APBN Kita, Senin (19/10/2020).

Menkeu menjelaskan, sejumlah negara termasuk Indonesia harus melakukan pelebaran defisit anggarannya untuk memitigasi dampak Covid-19. Menurutnya, defisit tidak hanya diperlebar di tahun ini saja tapi masih berlanjut di tahun depan, sehingga berdampak juga pada rasio utang.

Sebagai informasi, pada tahun ini, pemerintah menetapkan defisit anggaran 6,34 persen dan tahun depan 5,7 persen. “Indonesia dengan defisit yang 6,3 persen, tingkat utang kita di 38,5 proyeksinya untuk tahun ini. Tahun depan defisit anggaran kita di 5,7 persen,” kata Menkeu.

Dengan demikian, maka rasio utang terhadap produk domestik Bruto (PDB) juga meningkat tajam. Jika sebelumnya rasio utang RI selalu di jaga di batas 30 persen, pada tahun ini diramal akan mencapai 38,5 persen. Bahkan, untuk tahun depan rasio utang akan lebih tinggi hingga 41,8 persen.

Sebagai contoh, Menkeu menyebutkan sejumlah negara yang juga melakukan pelebaran defisit. Seperti Amerika Serikat (AS), yang bahkan defisitnya pada kuartal II -18,7 persen dan tahun depan masih -8,7 persen, yang artinya rasio utangnya juga naik melebihi 100 persen yakni 131,2 persen dan di 2021 133,6 persen.

Negara lain yang rasio utangnya juga melebihi 100 persen adalah Jepang yang diproyeksi capai 266,2 persen dari PDB di tahun ini dan naik 28,2 persen menjadi 264 persen di 2021. Selanjutnya Italia rasio utang tahun ini diramal 161,8 persen dan tahun depan jadi 158,3 persen.

Begitu juga dengan Kanada rasio utang tahun ini diproyeksi 114,6 persen dna tahun depan 115 persen, Perancis tahun ini 118,7 persen dan tahun depan 118,6 persen. kemudian Inggris 108 persen menjadi 111,5 persen di tahun depan.

“Jadi kalau kita lihat semua negara terjadi kenaikan sangat tinggi utangnya, bahkan Jerman yang paling hati-hati defisitnya meningkat besar,” tegasnya. (net/smr)

 

sumber: indopos.co.id/economy.okezone.com/seputartangsel.com dari portaljember.pikiran-rakyat.com di WA Group Anies For Presiden 2024

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *