Habiburokhman’s Oposisi Salon

Zeng Wei Jian (kanan) bersama kolega Lieus Sungkharisma dalam satu kesempatan. foto: dok Bambang Sungkono

by Zeng Wei Jian

semarak.co– Literary gatherings. Ngumpul-chit-chat di salons. Italia & France 18th centuries. Idle Aristocratic. Pemalas. Middle class ambisius-cum-penghayal. Patroness ngetop bourgeois female; Isabella d’Este dan Elisabetta Gonzaga. Lokasinya di Hôtel de Rambouillet.

Bacaan Lainnya

Jürgen Habermas menyebut, “the salons were of great historical importance”. Aristocratic ‘schools of civilité’. Komunitas philosophic. Perbincangan mereka seputar rezim. “Little other than government was ever discussed,” kata Dena Goodman dalam Buku The Republic of Letters: A Cultural History of the French Enlightenment.

Peran historis “The Salons” hanya sekedar “Theatres of conversation and exchange”. Berdasarkan definisi puisi Quintus Horatius Flaccus: aut delectare aut prodesse (either to please or to educate).

Lower than “Intellectual salons”, ada terminologi “Oposisi Salon” coined by My comrade-in-arm Mr Habiburokhman.

“Oposisi-Salon” tampak seperti Prima facie as a herd of polygenesis; Pensiunan tentara, mantan anggota dewan, mantan koruptor, aktifis kardus, preman, feminis abal-abal, Primadona Sok Idealis, pseudo Sosialis kanan, Bohemian thugs dan sebagainya.

Semuanya mengidap Dunning-Kruger syndrome. Merasa paling pintar. Sama-sama Anti-Pemerintah. Suka menghasut.

Adopsi Machiavelli’s Moral Indifference i.e. Klaim diri moralis sambil caci-maki orang lain amoral. Monopoly on wisdom.

Fin-de-siècle: Dislocated politicians. Tak bisa dibantah. “Aku ini binatang jalang. Dari kumpulan terbuang,” kata Chairil Anwar.

Mereka yang tersingkir. Baru masuk fase “Leren”. Blom sampe “Studeren”. Berusaha rebounding. Jadi pejabat itu nikmat. Bersuara nyaring supaya dilirik penguasa. Extrimnya; hasut massa. Tingkatkan rasa benci kepada pemerintah. Jadikan massa sebagai anak-tangga & martyr politik.

“Crass Hypocrisy is always part of politics,” kata Bonnie Kristian.

Kredo ngawur mengatakan, “Opposition parties and actors are lauded as heroes in processes of democratisation”.

Sama sekali bukan heroes. Pluz “Salon” bisanya cuma merilis incivility; Verbal attacks on others, cyber bullying, rudeness, dan intoleransi.

On microscopic examination, Personnel dan aktor Oposisi-Salon berkarakter “Double Standar”. Mulut menyatakan “Gerakan-Moral” (Ger-Mo). Praxisnya “Gerakan-Politik” (Ger-Pol).

Stelan jas & batik mahal saat ngomongin nasib rakyat miskin. Deklarasi & maklumat disebut Perjuangan menyelamatkan negara. Ngumpul-ngumpul sambil bahas Covid-19.

Disharmoni mulut & perilaku. Self-serving bias. Mereka ngga lebih dari sekedar Champagne socialist, Salonkommunist, Gauche caviar, latte liberal, Gucci socialist dan Radical chic.

THE END

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *