Oleh Azwar Siregar *
semarak.co-Saya tidak benci Wayang. Saya juga tidak anti kepada Jawa dan Kebudayaan Jawa. Istri saya, walaupun lahir di Kota Langsa-Aceh, tetapi masih ada darah jawanya. Artinya teman hidup yang saya cintai sampai mati. Sudah memberikan tiga orang anak adalah wanita berdarah jawa.
Tidak mungkin saya membenci Jawa dan Kebudayaan Jawa. Tapi kalau sudah berbicara tentang agama, lupakan adat, budaya dan semua ciptaan manusia. Luntur sudah syahadatmu ketika masih menganggap adat dan budayamu diatas aturan dan perintah agama.
Jujur saya sedih dan bercampur kesal melihat beberapa orang yang katanya ulama, misalnya Gus Miftah yang seharusnya benar-benar paham agama, tapi malah jadi kompor untuk membully sesama ulama.
Saya sudah menonton video “penyiksaan dan pelecehan” terhadap Ustadz Khalid Basalamah lewat cerita Wayang. Termasuk di acara kolaborasi dakwah dan wayang Gus Miftah.Di cerita wayangnya, wayang yang digambarkan sebagai Ustadz Khalid Basalamah sampai dicabik-cabik dan dipukuli oleh Wayang lain yang entah siapa.
Gila. Memangnya apa kesalahan Ustadz Khalid Basalamah?
Saya bukan mau membela Ustadz Khalid Basalamah atau UKB. Karena secara ke Islaman, saya ini NU. Sedangkan UKB konon adalah Wahabi. Tapi saya sudah berkali-kali menonton Video UKB yang dipermasalahkan. Beliau hanya menjawab sesuai keilmuannya dalam rangka dakwah.
Beliau tidak pernah mengharamkan Wayang. Tidak juga meminta Wayang sebagai Budaya dihilangkan. Tapi hanya memusnahkan perlengkapan Wayang milik pribadi seseorang (dalang) yang hendak bertaubat.
Letak salahnya dimana?
Di Kampung saya di Padang Lawas. Ada profesi hampir mirip Wayang. Namanya “Paronang-onang”. Profesi ini semacam penyanyi di acara Pernikahan Margondang. Di acara Margondang ada Manortor atau tarian adat yang akan diiringi musik dan nyanyian dari si Paronang-onang.
Banyak Ulama di Padang Lawas yang mengharamkan Margondang dan profesi Paronang-onang. Karena Manortor tadi bisa dengan lawan jenis yang bukan muhrim. Sedangkan si Paronang-onang, biasanya menyanyi sambil minum “cuka” alias tuak.
Karena kadang si Paronang-onang bisa menyanyi tiga hari tiga malam bahkan ada yang tujuh hari tujuh malam. Sekarang pertanyaannya: “Misalnya ada seorang Paronang-onang yang memutuskan bertaubat, terus disuruh oleh Ustadz di Kampung untuk membakar peralatan maronang-onangnya, apakah saya akan marah?”
Ya tentu saja tidak ada masalah. Bahkan Margodang dan Paronang-onang diharamkan oleh sebagian Ulama, tidak pernah dipermasalahkan oleh masyarakat. Kalau pada prakteknya memang ada yang membuat haram, kita mau bilang apa?
Tidak ada yang membully Ulama di tempat saya. Apalagi dengan sadis menghinanya lewat acara Budaya. Karena kami orang Sumatera masuk Islam lewat logika. Bukan dengan pendekatan budaya yang terkadang malah bertentangan dengan ajaran agama.
Tapi tentu saja sampai detik ini masih ramai acara Margondang. Dan Profesi Paronang-onang juga tetap ada. Tidak ada yang ribut. Yang mau menggunakan acara adat silahkan. Walaupun mereka tahu kalau Adat tersebut diharamkan oleh sebagian Ulama.
Jangankan acara adat. Minum Tuak juga masih ada. Padahal semua Ulama bahkan yang bukan Ulama, termasuk si Peminum Tuak juga tahu kalau minum tuak itu haram. Tidak ada perdebatan.
Poin yang hendak saya sorot, kami di Sumatera tidak akan membully Ulama hanya karena mengagungkan budaya. Seagung apapun Budaya tersebut, tapi harus tunduk dan patuh pada ketentuan Agama.
Jadi pembelaan karena Wayang maka Islam bisa diterima dan menyebar di pulau Jawa, saya kira terlalu berlebihan. Andaipun benar, itu hanya berlaku di Pulau Jawa. Tapi tetap tidak sepatutnya, dakwah yang dianggap melecehkan budaya harus dibalas dengan hinaan dan bully-an kepada Ulama khususnya yang nonJawa.
Kalau hal ini dibiarkan. Kelak saya khawatir, akan ada penghinaan dan pembullyan kepada Kitab Suci Al-Quran. Mengingat banyak juga adat dan prosesi kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran Al-Quran.
(fb)
*) penulis adalah penggiat medsos
sumber: kontenislam.com/2022/02/ Monday, February 21, 2022 di WAGroup KAHMI Nasional (postSelasa22/2/2022/mchairulmu’min)