Bersama Tony Ardiedo *
semarak.co-“Ketika Anda harus menghukum, cobalah utk melupakan orang2 yg berperkara dan hanya fokus ingat PENYEBABNYA”. (Epictetus, filsuf Yunani, 55-135 M). Maksudnya, Bersikap ADIL berarti membulatkan fokus pada penyebabnya bukan pada pihak2 yg terlibat.
Keadilan terhadap Kekuasaan adalah IMPOTENSI. Sedangkan Kekuasaan tanpa Keadilan adalah TIRANI”. (Blaise Pascal, Filsuf Perancis, 1623-1662). Maksudnya, KESEIMBANGAN antara kedua variabel itulah yg akan membentuk KEADILAN SEJATI. Lalu, kualitas orang yg seperti apakah yg berhak memberikan Putusan Keadilan?
“Empat karakteristik yg berhubungan dg HAKIM, yakni Dengarkan dg sopan, Tanggapi dg bijaksana, Timbang dg Adil, Dan putuskan tanpa memihak”. (Socrates, Filsuf Yunani, 470-399 SM).
Syahdan zaman dahulu kala hiduplah seorang Ki Ageng Wonoweruh yg tinggalnya sejarak kira2 satu jam berkuda dari arah pesisir. Beliau terkenal sebagai sesepuh Desa yg sangat bijak dan amat dihormati bahkan oleh para Pembesar Negeri.
Saking bijaknya, maka secara informal hari2 Ki Ageng sering dimintai tolong oleh masyarakat utk mengadili perkara atau sengketa2 yg musykil. Dan selama ini terbukti putusan2 beliau itu selalu tokcer, jenius dan berkeadilan.
Suatu hari, seorang penjual garam memanggul sekarung garam ke kota. Di tengah jalan, dia bertemu dg penjual lada/merica yg juga memanggul dagangannya. Keduanya merasa lelah, jadi mereka duduk beristirahat di bawah sebuah pohon besar. Mereka berdua sama2 duduk di atas selembar kulit kambing.
Ketika bangkit utk berangkat ke pasar, tau2 mereka berebut kulit kambing yg mereka pakai sebagai alas duduk tadi. Keduanya bersikeras bahwa kulit kambing itu adalah miliknya. Orang2 yg lewat berusaha melerai mereka namun tak berhasil, malah makin ribut dan nyaris baku hantam.
Karena itu, mereka menyarankan agar penjual garam dan penjual lada itu meminta Ki Ageng Wonoweruh mengadili perkara tsb. Keduanya menyetujui usul itu dan segera pergi menghadap Ki Ageng, diikuti oleh sembilan orang yg penasaran ingin tahu apa kira2 putusan Ki Ageng.
Setibanya di Padepokan Ki Ageng, si Penjual Garam segera berkata: “Kulit kambing ini milik saya, saya membawanya kemanapun saya pergi selama lima tahun ini.”
Penjual lada juga tak mau kalah dan berteriak keras: “Hei, dasar kamu itu rai gedek blegedes tai rase, tebel banget mukamu berani ngaku2 milik orang lain? Aku membawanya sejak memanen lada sampai sekarang, bagaimana mungkin ini milikmu ?!”
Kedua orang itu mengajukan argumen yg kedengarannya sama2 masuk akal, sehingga sangat sulit bagi Ki Ageng utk memutuskan perkara itu dlm waktu yg singkat. Ki Ageng berkata kpd kedua orang itu, “Kalian berdua silahkan keluar dan mojok dulu, tunggu di Beranda. Kalau hasil keputusan sudah tuntas, saya akan panggil kalian kembali. Sedangkan yg lain2 tetap saja disini utk menyaksikan bagaimana cara saya memutuskan perkara ini.”
Kedua orang itu pun pergi keluar. Lalu Ki Ageng bertanya pada orang2 yg hadir, “Menurut pendapat kalian, siapa pemilik yg sebenarnya?”
Mereka tahu bahwa Ki Ageng pasti punya cara tersendiri utk menyelesaikan masalah, jadi tak seorang pun berani mengemukakan pendapatnya. Ki Ageng Wonoweruh lalu memerintahkan anak2 buahnya, “Gantungkan kulit kambing itu di atas tikar, lalu dia harus dipukuli 50 kali!”
Baru saja kulit kambing itu dipukul 10 kali, tiba2 Ki Ageng menyela dan berkata, “Stop! Stop, hentikan!”. Lalu Ki Ageng mencopot kulit kambing itu seraya berkata, ” Kemari! Kalian lihatlah fakta yg terjadi! Oh ya, panggil dulu kedua orang itu masuk!”
Orang2 yg hadir disitu belum mengerti maksud Ki Ageng. Ketika kedua orang itu masuk ke ruangan, Ki Ageng berkata, “Kasihan juga, rupanya kulit kambing ini kesakitan digebuki. Barusan ia sudah mengaku bahwa pemiliknya adalah si penjual garam”.
Muka penjual lada itu merah padam, lalu berkata sambil tertawa, “Yg Mulia, tolong jangan berguraulah. Mana bisa kulit kambing ber-kata2?”
Ki Ageng lalu menunjuk ke butiran2 garam yg bertebaran di atas tikar dan berkata: “Kamu lihat sendiri, garam yg bertebaran ini keluar dari kulit kambing. Padahal baru dipukuli 10 kali, bagaimana jika sampai 50 kali? Dan lihat, tak ada sebutir pun lada yg keluar dari kulit kambing itu!”
Akhirnya, penjual lada itu segera menyadari bahwa tidak ada cara utk mengelak. Karena itu ia pun langsung mengakui kesalahannya dan ampun2 minta maaf.
Ternyata bagi Ki Ageng, kulit kambing yg diperebutkan justru bisa menjadi petunjuk utk mengetahui siapa pemilik yg sebenarnya. Cukup beberapa kali pukul, pasti bakal rontoklah itu entah garam ataukah lada.
Jadi, umpama kita kebetulan menjadi seorang Pimpinan menghadapi bawahan yg memperebutkan kedudukan, baik secara terbuka atau diam2, maka telitilah kembali kedudukan yg diperebutkan itu sampai se-dalam2nya dan sebijak mungkin. Setelah itu barulah lihat, siapa sebenarnya yg paling pantas menerima kedudukan itu.
Jadi, mulailah menyelesaikan masalah, justru dari hal yg diperebutkan.
Sekali Lagi, Salam Wisdom.
🌏 CONTEMPLATION 🌎
🌏 AROUND 🌎
🪐 THE WISDOM 🎯
sumber: WAGroup Komunitas ALIPh (post Sabtu 11/9/2021/tonyardiedo)