Gandeng PT Sucofindo, IIJ Selenggarakan Pelatihan Mobile Journalism Buat Wartawan

Yusra Ismail, wartawati yang sehari-hari bekerja di Stasiun MetroTV tampil kedua sebagai narasumber pelatihan Mobile Journalism (MoJo) for Newsroom setelah pertama Andi Muhyuddin di hari pertama pelatihan, Senin (29/4/2024). Foto: heryanto/semarak.co

Indonesian Institute of Journalism (IIJ) menggandeng PT Sucofindo untuk selenggarakan pelatihan Mobile Journalism (MoJo) for Newsroom secara offline atau tatap muka dengan fokus melatih jurnalis dan editor menerapkan dan mengimplementasikan MoJo ini di ruang redaksinya.

semarak.co-Sebanyak 21 dari total 30 peserta yang menyatakan hadir pelatihan di Aula Gedung Grha Sucofindo Kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Senin-Selasa (29-30/4/2024). Hari terakhir besok ditutup dengan kunjungan ke laboratorium inspeksi, sertifikasi, dan Testing di Cibitung Jawa Barat, Selasa sore (30/4/2024).

Bacaan Lainnya

Hadir sebagai narasumber Andi Muhyidin, seorang mantan wartawan senior yang berpengalaman di sejumlah stasiun televisi dan media online dan satu lagi Yusra Ismail, wartawati senior yang masih bekerja di stasiun MetroTV dan berpengalaman liputan ke berbagai negara, seperti olahraga dan haji.

Kehadiran teknologi telah mengubah banyak proses kerja jurnalisme. Mulai dari pengambilan gambar foto, video kini bisa dilakukan dengan cepat, ringkas hingga bisa dilakukan secara realtime.

“Proses produksinya juga semakin simpel dan praktis, cukup dengan smartphone, karya jurnalistik bisa langsung dikemas dan didistribusikan,” demikian pengantar dalam undangan yang disampaikan kepada peserta, seminggu sebelum pelaksanaan pelatihan.

Melalui smartphone juga proses mengajukan pertanyaan, menjalin kontak dengan narasumber dilakukan. Baik melalui chat room, email hingga wawancara langsung tatap muka melalui aplikasi percakapan.

Proses kerja jurnalistik dengan menggunakan perangkat smartphone ini semakin popular di berbagai media massa di dunia. Proses ini dikenal dengan nama Mobile Journalism (MoJo). Di berbagai media arus utama dunia, liputan dengan konsep Mojo juga sudah banyak dilakukan termasuk di Indonesia.

Namun, terbatasnya transfer keahlian membuat praktik Mojo jarang digunakan. Padahal, praktik MoJo dalam era digital ini sangat relevan bagi kantor media massa. Ada banyak keuntungan yang diperoleh media, liputan MoJo terbilang efektif dan efisien.

“Maka itu, transfer keahlian MoJo penting bagi jurnalis untuk memproduksi karya jurnalistik yang sesuai dengan kebutuhan publik yang belakangan suka melihat video,” demikian bunyi pengantar selanjutnya.

Untuk itulah Indonesian Institute of Journalism (IIJ) bersama PT Sucofindo (Persero) melakukan kerjasama untuk melatih jurnalis dan editor menerapkan dan mengimplementasikan MoJo ini di ruang redaksinya.

Setelah mendapatkan praktik di hari pertama, maka pada hari kedua akan ada materi tentang peran dan perkembangan bisnis jasa testing, inspection, and certification (TIC) di Indonesia oleh pemateri dari PT Sucofindo.

Setelah materi di hari kedua, peserta yang ditargetkan berjumlah 30 orang akan langsung berkunjung ke laboratorium Sucofindo terdekat di Cibitung dan melihat langsung proses TIC berjalan. Untuk diketahui, PT Sucofindo adalah perusahaan yang menjalankan bisnis jasa, testing, inspeksi, pengujian.

Termasuk juga sertifikasi, pelatihan dan konsultasi, dalam sektor pertanian, kehutanan, pertambangan, migas dan nonmigas, konstruksi, pengolahan, kelautan, perikanan, transportasi, sistem Informatika dan energi terbarukan.

Saat masuk materi pelatihan, Andi Muhyuddin yang lebih focus pada teknis penggunaan aplikasi digital Apps di media online mengajarkan bagaimana merekam dengan benar, mengedit hasil shooting atau rekaman, dan mendistribusi atau menayangkan ke media massa online.

“Sebenarnya dunia Mojo ini sudah berkembang dan banyak digunakan dari tahun 2016 di Eropa dan Amerika seiring munculnya handphone atau smartphone. Sekelas Majalah Time misalnya, memasang foto cover dari hasil jepretan handphone atau ponsel wartawannya,” papar Dio, sapaan akrabnya.

Namun untuk Indonesia, Dio mengakui memang lambat sehingga terlambat. Media massa di Mesir saja, menurut data yang diperoleh sudah 100 persen menggunakan smartphone awak redaksinya. “Di Indonesia smartphone lebih pada efesiensi,” imbuh Dio dihari pertama pelatihan.

Padahal handphone dikembangkan untuk kebutuhan dari hilir sampai hulunya. Bekerja di media online, kata dia, fokusnya pada media sosial (medsos) yang harus konsisten. Medsos membutuhkan materi tayangan video yang cepat dan bagus.

“Setiap media online pasti memiliki relasi langsung dengan medsos. Sementara medsos sebagai sarana promosi efektif bagi media online. Adapun materi medsos adalah Mojo karena singkatnya Mojo itu menjalankan fungsi shooting, editing, dan distributing. Saya setuju bahwa saatnya Indonesia menerapkan Mojo lebih massif sehingga liputan lebih praktis,” tuturnya.

Kemudian narasumber Yusra Ismail memaparkan pengalamannya sebagai jurnalis yang menggunakan Mojo. “Saya pikir sekarang sudah harus di era Mojo. Apalagi semua pekerjaan sudah cukup di satu perangkat, yaitu ponsel. Di ponsel itu bisa merekam, mengedit, dan menayangkan hasil liputan,” bebernya.

Soal pilihan digital aplikasi apa yang paling mudah digunakan bagi kalangan pemula di ponselnya, Yusra mengatakan, tergantung kebiasaan masing-masing. “Sekarang ada beberapa aplikasi untuk editing video maupun gambar. Yang paling tren Cup Cut karena anak-anak menggunakan untuk tayang di medsos TikTok atau Instagram,” ujarnya.

Tapi ada juga aplikasi digital editing InShoot, Quick, Imovie, VN, Kinemaster, dan Filmora. “Tapi jangan lupa ada aplikasi itu yang berbayar. Jangan sampai lagi mengedit video, tapi ada satu bagian yang tidak bisa diakses karena rupanya berbayar. Jadi pilih yang umum-umum saja,” pungkasnya. (smr)

Pos terkait