Oleh Abdullah Hehamahua *
semarak.co– Tadi malam, 1 Oktober 2020, anak kedua saya menonton tayangan teve G30S/PKI. Mohammad Imam Ghazali (nama anak saya), sejak ashar, maghrib sampai isya’, serius menonton. Dia hanya schorsing tayangan setiap masuk waktu shalat.
Maklum, masjid hanya sekitar 50 meter dari rumah. Imam serius nonton karena inilah pertama kali dia menyaksikan film tersebut. Maklum, sejak TK sampai tamat kuliah, dia tinggal di Malaysia.
Sebab, waktu itu saya harus mengasingkan diri (1984) karena dikejar-kejar jenderal Beni Murdhani, pasca peristiwa Tanjong Priok. Saya kembali ke Indonesia setelah Soeharto lengser (1998). Imam baru kembali ke Indonesia tahun 2013.
Selama menonton, Imam sering mengajukan pertanyaan berkaitan dengan episode-episode tertentu dalam film tersebut. Pertanyaan-pertanyaan yang nakal antara lain: Mengapa Soekarno berada di bandara Halim Perdanakusumah, bukan di istana negara?
Apakah Soekarno itu seorang komunis.? Mengapa PKI melakukan kudeta.? Apakah CIA terlibat dalam proses pelengseran Soekarno.? Mengapa Soeharto dan Nasution tidak diculik PKI?
Sambil menggerakkan jari-jari tangan di atas laptop, saya menjawab seadanya setiap pertanyaan Imam. Namun, saya menjawab agak serius ketika dia menanyakan keterlibatan Jenderal Nasution. Bahkan dia minta saya menuliskan hal tersebut.
Itulah sebabnya, pagi ini, Jum’at Keramat, seharusnya saya akan menulis seri terakhir tentang Maklumat KAMI, tetapi saya ganti dengan topik, “G30S/PKI: Kenangan Bersama Jenderal Nasution.”
Dialog dengan Jenderal Nasution?
Sekretariat PB HMI berada di Jalan Diponegoro 16, Jakarta Pusat. Jarak dengan rumah pak Nas (panggilan akrab Jenderal Nasution) di Jalan Teuku Umar sekitar tiga kilometer. Menaiki beca, saya biasa bersilaturrahim ke rumah pak Nas.
Sebagai Ketua Umum PB HMI (1979 – 1981) saya perlu nasihat, pemikiran, informasi, dan klarifikasi beberapa masalah yang berkaitan dengan perjalanan kebangsaan kita. Apalagi yang melibatkan pak Nas. Kalau tidak salah, tiga atau empat kali saya bersilaturrahim ke rumah pak Nas.
Obrolan berlangsung tak ubahnya dialog di antara anak dengan bapak. Hanya berdua. Apalagi, ketika walimah pernikahan saya, sekalipun tidak hadir, pak Nas mengirim kado berupa seperangkat gelas mewah.
Beberapa topik utama yang saya ajukan dalam silaturrahim tersebut, antara lain: Keterlibatan Pak Nas dalam Petisi 50, Peranan pak Nas dalam pelengseran Soekarno, Andil Pak Nas ketika Pengeboman Sumatera Barat dalam peristiwa PRRI dan Gerakan Mahasiswa Menghadapi Kepemimpinan Soeharto.
Pagi ini, sesuai dengan peringatan pengkhianatan PKI dalam peristiwa G30S, saya mengisahkan secercah obrolan saya dengan pak Nas mengenai peristiwa biadab tersebut.
Mengapa bukan Pak Nas Presiden?
Mengapa pak Nas tidak maju waktu itu sebagai presiden, padahal bapak adalah jenderal tersenior waktu itu.? Begitulah kurang lebih pertanyaan yang saya ajukan, 41 tahun lalu. Saya, tidak lupa mengisahkan keikut-sertaan saya dalam unjuk rasa melengserkan Soekarno dalam Sidang Umum Istimewa MPRS di Jakarta.
Kami yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) serta Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI) Sulawesi Selatan dengan menumpang kapal laut berangkat ke Jakarta.
Rombongan KAMI dipimpin oleh JK karena beliau adalah Ketua Presidium KAMI Sulsel. KAPPI dipimpin oleh almarhum Zubair Bakri (Ketua PII Sulawesi Selatan) yang sempat menjadi anggota DPR-RI pada masa reformasi.
Di pekarangan kampus UI Salemba, pukul 7 pagi, kami diperintahkan oleh Pimpinan KAMI Pusat untuk harus unjuk rasa ke Gedung MPR, Senayan. Perintahnya, kami harus berjalan kaki dan tidak boleh bergerombol. Sebab, semua kendaraan umum di Jakarta waktu itu diraziah oleh aparat.
Hari itu tanggal 11 Maret 1967, hari terakhir sidang MPRS yang dimulai sejak tanggal 8. Sejam lebih berjalan kaki, saya tiba di pekarangan Senayan, bergabung dengan mahasiswa-mahasiswa lain dari seluruh Indonesia. Kami membagi-bagikan poster ke setiap anggota MPRS yang isinya meminta Soekarno dilengserkan.
Malamnya, di siaran TVRI, kami menyaksikan pak Harto dilantik sebagai Pejabat Presiden. Kami bersorak girang. Jerih payah mengarungi laut selama tiga hari, tidak sia-sia.
Pak Nas serius mendengar kisah saya. Sebelum menjawab pertanyaan saya, Pak Nas menjelaskan bahwa, Dewan Jenderal yang diisukan PKI untuk melakukan kudeta itu adalah fitnah.
Faktanya, memang ada institusi yang bernama Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti). Badan ini berfungsi sebagai penasihat bagian kenaikan pangkat dan jabatan dalam Angkatan Darat.
Pak Nas, sambil senyum menjawab pertanyaan saya: “Waktu itu, Soeharto datang ke sini.” Maksudnya, Soeharto sebagai bawahan, datang melapor ke pak Nas sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan. “Silahkan maju pak, bapak yang senior,” kata Soeharto.
Maksudnya, Soeharto menyilahkan pak Nasution untuk tampil mengambil alih tampuk pemerintahan menggantikan Soekarno. Pak Nas tidak merespons permintaan Soeharto. (Pengalaman beberapa kali berdialog dengan pak Nas, saya menilai, beliau seorang yang sering ragu-ragu. Namun, beliau lebih suka pendekatan formalistik.
Artinya, jika dipilih secara resmi oleh MPR, beliau tidak menolak. Mengenai hal ini, nanti baca tulisan saya di buku yang lain). “Namun, sepeninggal Soeharto dari sini, ajudan saya melapor bahwa, Soeharto mengerahkan pasukan Diponegoro masuk Jakarta,” sambung pak Nas. “Loh, untuk apa? Gimana kalau saya juga mengerahkan pasukan Siliwangi masuk Jakarta. ? Bisa terjadi perang saudara,” tambah beliau.
Memang pak Nas dan Soeharto masing-masing pernah menjadi panglima Kodam, yakni Siliwangi dan Diponegoro. Saya memerhatikan raut muka beliau, agak redup. Saya lalu membatin, “kalau Ali Murtopo, Beni Murdhani atau jenderal lain, mungkin akan mengerahkan pasukan yang pernah dipimpinnya untuk masuk Jakarta guna melakukan tekanan psikis terhadap pasukan yang dikerahkan Soeharto.
“Persoalan kedua,” pak Nas melanjutkan kisahnya. “Saudara Abdullah, saya manusia biasa, mengalami kecederaan akibat penyerbuan pasukan Cakrawibawa. Anak saya dan seorang ajudan, meninggal akibat tembakan mereka.” Wajah beliau kembali sedih dan seperti menerawang ke masa-masa lalu tersebut.
Serempak, saya dan pak Nas menatap foto anak kecil yang tergantung di dinding ruang tamu. Ya, foto adik Ade Irma Suryani Nasution, syahidah cilik yang tertembak pasukan PKI ketika mereka akan menculik bapaknya. Ajudan pak Nas, Lettu Pierre Tendean juga meninggal karena tertembak dalam penyerbuan tersebut.
Dialog saya dengan Pak Nas, khususnya mengenai G30S/PKI, menunjukkan bahwa selain bertentangan dengan agama dan Pancasila, komunisme khususnya PKI di Indonesia tidak boleh dibiarkan hidup, sampai kiamat. Sebab, sudah tiga kali mereka melakukan percobaan kudeta dan tidak mungkin akan berulang lagi pada era ini.
Sekalipun tidak menjadi presiden, pak Nas berhasil melengserkan Soekarno sebagai Presiden dan melantik Soeharto sebagai Pejabat Presiden dalam kedudukan beliau sebagai Ketua MPRS. Bagaimana dialog saya dengan pak Nas mengenai tema-tema lain, khususnya perbedaannya dengan Soeharto, bisa dibaca di buku saya yang lain. Semoga.
Depok, Jumat Keramat, 2 Oktober 2020
*) Penulis adalah mantan Penasihat KPK dan Deklarasi KAMI
sumber: suaratangerang.com di WA Group Keluarga Alumni HMI MPO