Oleh Dr. Anton Permana, SIP.,M.H *)
semarak.co-Sudah sulit dipungkiri oleh pihak istana saat ini bahwasanya akun media sosial Fufufafa yang marak dibahas mempunyai ikatan yang sangat kuat dengan calon presiden terpilih Gibran Rakabumimg putera Presiden Jokowi.
Bahkan, pakar telematika Roy Soeryo menjamin 99,9% akun mesia sosial tersebut adalah otentik dengan Gibran Rakabumimg (selanjutnya kita singkat GRB). Artinya, yang menarik dari fenomena ini adalah tidak lagi tentang perdebatan otentifikasi akun tersebut.
Namun tentu yang paling menggelitik otak para netizen Indonesia itu adalah; bagaimana sih, sejatinya anatomi dan konstruksi cara berpikir seorang GRB yang selama ini tampil di media begitu kalem, dengan wajah yang juga aneh nonsimetris dalam melihat Indonesia.
Sedangkan dia notabonenya adalah calon wakil presiden terpilih. Pernyataan dan status komentar GRB di akun Fufufafa sangat menghentakkan publik. Sebuah pernyataan yang sangat begitu sarkasme, kejam, tajam, penuh rasa kebencian.
Dan kalau dipahami lagi secara ilmu forensik linguistic, Fufufafa begitu menikmati ujaran-ujaran sarkasme tersebut. Tak peduli bahwa yang beliau serang itu adalah hal privasi, kehormatan, tabu, bahkan tidak kepribadian seorang Prabowo saja yang disasar.
Tapi juga masalah spritual keagamaan, partai politik dan tokoh yang dianggap berseberangan dengan beliau juga disasar dengan ujaran-ujaran penuh kebencian.
Tak peduli SARA
Dan secara hukum, sebenarnyapun sudah cukup untuk di jerat UU ITE tentang ujaran kebencian, yang selama ini digunakan rezim untuk memenjarakan para musuh politiknya (termasuk saya). Artinya, beberapa hal yang bisa kita petik dari fenomena ini dalam kehidupan bernegara kita hari ini adalah:
1. Jejak digital itu memang kejam. Teknologi digital, ibarat pedang bermata dua. Kadang bisa jadi alat positif dan konstruktif. Tetapi juga bisa menjadi bumerang yang membunuh diri kita sendiri. Kalau dulu ada pepatah, “mulutmu adalah harimaumu. Saat ini boleh dikatakan ; Jarimu adalah harimaumu yang bisa memakan dirimu sendiri”. Itu baru jejak digital buatan manusia. Apalagi nanti jejak kehidupan manusia di akhirat nanti. Na’udzubillahminzalik.
2. Tidak ada teman yang abadi, tetapi yang ada hanyalah kepentingan yang abadi. Dalam politik liberal saat ini. Tak ada Nilai (Value) sebagai parameter perilaku dan orientasi politik. Tetapi yang ada hanyalah opportunity (peluang yang menguntungkan).
Makanya, kita disarankan jangan terlalu berlebihan dalam membenci atau mencintai seseorang (manusia). Karena bisa saja suatu saat nanti, semua bisa berbalik arah karena banyak hal dalam kepentingan politik. Dahulu teman koalisi, bisa jadi setelah itu jadi musuh yang saling menghabisi. Atau sebaliknya.
3. Fase kejayaan seorang Joko Widodo sebagai penguasa saat ini mulai berakhir. Itu adalah hukum alam yang tak akan bisa dilawan. Bahwasanya ; Setiap orang itu ada masanya, setiap masa itu ada orangnya. Kekuasaan ataupun kemiskinan itu akan selalu dipergilirkan Tuhan terhadap manusia.
Itu sudah Sunatullah. Makanya saya akan selalu protes apabila ada yang mengatakan Joko Widodo itu “hebat”. Karena tidak ada kata “hebat” bagi seorang yang jadi Presiden di Indonesia dengan segala kekuasaan Presidensial full power di tangannya. Tapi yang ada itu adalah ; Presiden yang Negarawan atau Penjahat.
Argumentasinya adalah ; Seorang Presiden di Indonesia bisa melakukan apa saja terhadap kekuasaan yang dia miliki. Kekuasaan atas tentara, polisi, inteligent dan segala sumber daya negara ada di tangannya.
Hanya moralitas, kebijaksanaan yang menjadi pembeda dari prilaku kekuasaan Presiden di negara kita. Kalau Presidennya penjahat, palsu, penipu, boneka asing, punya dendam masa lalu serta ambisi keluarga yang besar ? Maka hancurlah negeri yang dia kuasai.
4. Fufufafa hari ini, ibarat contoh akumulasi kemunafikan dan kepalsuan yang pada saatnya nanti pasti juga akan terbongkar. Sehebat apapun dalam merancang dan menyusun sebuah kepalsuan dan kemunafikan, akhirnya ada saja cara alam jagad raya ini membukanya.
Apakah itu genuine atau rekayasa sosial? Kita tidak tahu. Tetapi yang penting, secara algoritma kehidupan, tak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri.
5. Fufufafa akan tercatat sebagai aib dan beban sejarah republik ini. Ketika seorang Bapaknya dijuluki “the man of contradiction” atau politisi PDIP inisial DS menyatakan si Raja Fake. Saat ini, ibarat kata pepatah. Buah tak jauh jatuh dari pohonnya alias “ Like father like Son”.
Kalau Bapak dan anak ini rakyat biasa itu tidak masalah. Tetapi, Bapak dan Anak ini adalah orang yang memimpin dan akan memimpin negeri berpenduduk 270 juta ini kedepan. Dan yang paling menarik juga ke depan adalah, bagaimana reaksi dan sikap seorang Prabowo terhadap Gibran??
Pernyataan seorang Anies Baswedan tentang angka 11 dari 100 saja cukup membuatnya kesal dan dongkol. Secara psikologis manusiawi, jelas ibarat pepatah, lidah memang tidak bertulang. Tapi lidah bisa lebih tajam dari pada pisau silet. Bisakah seorang Prabowo menafikan dan atau GRB mau minta maaf secara gentleman? Wallahu’alam.
6. Kita mesti instropeksi diri secara nasional. Kenapa kondisi ini bisa menimpa negeri yang penuh dengan sejarah kejayaan masa lalunya. Apakah ini sebuah ujian, teguran atau bahkan “azab/hukuman” bagi kita semua? Karena selama ini menjadi masyarakat yang lalai, naif, munafik, dan sangat melodramatik??
7. Perlu kesadaran kolektif kita semua agar keluar dari kungkungan cara berpikir dan mental feodal. Cara hidup yang matrealistis, malas berpikir, malas membaca sehingga lemah literasi, jauh dari agama, dan latah dengan apa saja yang didiktekan bangsa asing terhadap kita.
Sehingga, out put dari semua itu adalah:
Tiba-tiba kita kok serasa menjadi sebuah kelompok bangsa yang begitu rapuh, mudah dipecah belah, mudah dihasut, mudah diprovokasi.
Mudah takjub dan terlena dengan apa saja yang beritakan indah oleh media.
Kita kritis, tetapi terhadap hal yang kecil.
Bukan substansi.
Sinis terhadap kebaikan, namun toleran terhadap kemungkaran asal dapat cuan serta fasilitas jabatan.
Fenomena Fufufafa jangan dianggap sepele.
Banyak hal yang bisa kita pelajari dari itu semua.
Sebuah gambaran cara berpikir dan mental seorang anak yang lahir dan hidup di puncak kekuasaan.
Di suatu tempat yang seharusnya terhormat, mulia, yang penuh dengan segala fasilitas nomor satu.
Suatu status sosial yang semestinya menjadi tauladan dan contoh bagi para generasi muda.
Tapi, ternyata justru melahirkan sebuah prilaku dan mental yang sangat memalukan seluruh anak bangsa.
Kepalsuan dan sifat Sarkasme yang sungguh sangat bertentangan dengan norma kehidupan bangsa ini.
Semoga Fufufafa akan menjadi sejarah akhir dari runtuhnya Berhala Kemunafikan yang selama ini sudah terlalu lama memanipulasi mata dan telinga rakyat Indonesia melalui Pencitraan atas nama kekuasaan yang dimilikinya.
Kita berharap, dimasa yang akan datang, segala bentuk kepalsuan yang terstrukturisasi kekuasaan ini akan menjadi kuburan massal dari para penyembah berhala-berhala kemunafikan di negeri ini.
Insya Allah.
Salam Indonesia Jaya.
Jakarta, 23 September 2024
*) Pengamat Geopolitik dan Pemerintahan. Direktur Tanhana Dharma Mangruva Institute
sumber: WAGroup BASECAMP PEJUANG MILLITAN (postRabu25/9/2024/)