Film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas Usung Tema Kisah Cinta Tragis di Dunia yang Maskulin

Salah satu adegan film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Foto: dok Poplicist

Film berjudul Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas yang diangkat dari novel karya Eka Kurniawan ini pemenang hadiah utama Golden Leopard di Locarno Film Festival dan akan tayang di bioskop seluruh Indonesia, mulai 2 Desember 2021.

semarak.co-Film yang disutradarai pemenang Piala Citra Edwin ini dibintangi Marthino Lio dan Ladya Cheryl juga turut dibintangi Reza Rahadian, Ratu Felisha, dan memperkenalkan Sal Priadi.

Bacaan Lainnya

Diangkat dari novel penulis dengan penghargaan internasional Eka Kurniawan, film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas mendapatkan klasifikasi 17+ dari Lembaga Sensor Film, meski begitu Palari Films mengimbau film ini untuk 18+ Khusus Dewasa.

Film berkisah tentang Ajo Kawir, seorang jagoan yang tak takut mati. Hasratnya yang besar untuk bertarung didorong oleh sebuah rahasia, yaitu ia impoten. Ketika berhadapan dengan seorang petarung perempuan tangguh bernama Iteung, Ajo babak belur hingga jungkir balik, dia malah jatuh cinta.

Akankah Ajo menjalani kehidupan yang bahagia bersama Iteung dan, pada akhirnya, berdamai dengan dirinya? Mengusung tema kisah cinta tragis di dunia yang maskulin, film ini menjadi pernyataan bagi Edwin mengenai toxic masculinity.

Edwin yang tak hanya menyutradarai tapi juga turut menulis skenarionya bersama Eka Kurniawan mengatakan, tumbuh besar di masa kejayaan rezim militer, cerita dan mitos mengenai heroisme dan kejantanan lelaki menjadi sangat familiar bagi Edwin.

Kejantanan adalah tolok ukur kelelakian. Budaya toxic masculinity memaksa lelaki untuk tidak terlihat lemah dan masih sangat terpampang di Indonesia hari ini, kata dia, di masyarakat yang seharusnya kini lebih terbuka pikirannya dan demokratis ketimbang di era 80an/90an.

“Saya melihat Indonesia berusaha keras mencoba untuk mengatasi rasa takutnya akan impotensi. Ketakutan yang membawa kita kembali ke budaya kekerasan yang dinormalisasi,” ujar Edwin seperti dirilis Poplicist melalui email semarak.redaksi@gmail.com, Rabu (17/11/2021).

Tak hanya Ajo Kawir, sang jagoan kampung yang terjebak dengan ekspektasinya sebagai laki laki di dunia maskulin, ada juga sosok Iteung, karakter cewek yang berhasil mengimbanginya dalam hal beraksi laga dan bernyali tinggi.

Iteung yang diperankan Ladya Cheryl tampil berenergi sebagai cewek badass yang bukan cuma menjadi kekasih bagi Ajo, tapi juga jagoan yang punya kekuatan setara dengan Ajo Kawir. Iteung juga punya traumanya sendiri sebagai perempuan yang harus hidup di dunia yang maskulin.

Iteung tumbuh untuk berani mengambil resiko dan keputusannya sendiri yang menjadikannya seorang tak kalah kuat. Berlatar waktu di akhir tahun 80an dan awal 90an, film ‘Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas’ berusaha menghadirkan estetika sinema dari era tersebut melalui banyak cara.

Salah satunya adalah penggunaan seluloid. Palari Films juga segera merilis lagu tema Bangun, Bajingan yang dibawakan Ananda Badudu ft Rubina dan berkolaborasi dengan Lie Indra Perkasa & Dave Lumenta.

Edwin menjelaskan, referensi saya tentang gambar sangat dipengaruhi oleh imaji-imaji yang terekam dalam berbagai acara TVRI seperti Flora dan Fauna, Sesame Street, hingga Si Unyil yang kebanyakan menggunakan medium pita seluloid 16mm.

“Bagi saya, 16 mm adalah representasi realita sehari-hari yang paling tepat untuk menggambarkan perasaan dan ingatan saya terhadap periode 80/90an. Tentu saja keinginan menggunakan pita seluloid dalam proses shooting film ini perlu didukung oleh para produser yang gigih dalam merealisasikannya,” imbuh Edwin.

Pita seluloid, selain harganya yang sedikit lebih mahal dibandingkan dengan medium digital, di Indonesia tidak ada lagi laboratorium dan distributor pita film 16mm. Segala pengerjaan laboratorium harus dikerjakan di Jepang. Sebuah pilihan yang tidak mudah mengingat segala sesuatunya juga harus dikerjakan dalam masa pandemi.

Meiske Taurisia, dan Muhammad Zaidy selaku produser percaya bahwa setiap cerita, dan karakter dalam film harus dituturkan dengan caranya yang unik. Untuk film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”, Edwin melakukan kolaborasi internasional dengan menggandeng Director of Photography Akiko Ashizawa yang berasal dari Jepang.

Akiko biasa berkolaboasi bersama sutradara kawakan Kiyoshi Kurosawa salah satunya Tokyo Sonata (2008) dan editor dari Thailand, Lee Chatametikool. Lee dikenal sebagai kolaborator dari sutradara terkemuka Thailand, Apichatpong Weerasethakul. Salah satunya pemenang Cannes Film Festival 2010, ‘Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives’ (2010).

Setelahnya, film ini berkeliling ke festival film berbagai negara seperti Toronto, Hamburg, Busan, London, dan masih banyak lagi. Lebih dari 30 festival disambangi film “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas” dan sebelum kembali pulang ke Indonesia film ini didaulat sebagai pembuka Singapore International Film Festival pada 25 November. (smr)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *