Fenomena Timnas Junior Juara, Akibat Timnas Senior Minim Gelar

Kesit Budi Handoyo, Ketua PWI Jaya yang sudah dibekukan oleh PWI Pust sehingga bukan ketua lagi dan terancam dilaporkan ke polisi jika tetap menggunakan surat menyurat PWI Jaya menyusul sudah ada Plt Ketua PWI Jaya, yaitu Donny. Foto: dok semarak.co

Tim Nasional (Timnas) Indonesia level junior terus mampu menorehkan prestasi membanggakan di kompetisi internasional. Teranyar Timnas junior U16 mampu meraih juara Piala AFF U16 2018. Ini setelah mengalahkan Thailand lewat babak adu penalti dengan skor 4-3, di Stadion Sidoardjo, Jawa Timur, Sabtu (11/8) malam. Eforia maupun sambutan luar biasa dari masyarakat menjadikan fenomena tersendiri.

Ini adalah gelar pertama Indonesia di kompetisi ini sejak pertama kali digelar tahun 2002. Kehebatan Timnas junior juga pernah diperlihatkan oleh Evan Dimas dan kawan-kawan pada 2013 lalu, saat menjuarai Piala AFF U-19.

Pengamat dan komentator sepakbola Kesit Budi Handoyo menilai, kalau sekarang timnas junior ini menjadi fenomena, bisa jadi ini karena timnas senior atau U23 masih kering gelar juara. Terakhir juara di SEA Games Manila 1991 setelah mengalahkan Thailand. Memang tahun 1997, sempat masuk final, tapi gagal juara setelah dikalahkan Malaysia.

“Kalau kita urut dari era 1970 dan 80, timnas junior yang muda di usia 16 dan 19 itu, sebenarnya cukup disegani. Cuma bedanya, karena usianya masih junior kadang-kadang memang tidak seheboh timnas senior.  Jadi factor miskinnya gelar juara di timnas senior yang akhirnya membuat eforia masyarakat luar biasa ketika timnas junior bisa meraih gelar juara. Ini yang memperlihatkan masyarakat sangat rindu gelar juara di level internasional,” ujar Kesit di sebuah hotel di kawasan Slipi, Jakarta Barat, Selasa (14/8).

Padahal di usia 16, kata Kesit, sebenarnya tidak apa-apa, jika tidak sampai juara. Karena mereka masih proses mencari jati diri. “Itu kan masih pada usia-usia pembinaan yang memang dalam taraf pematangan sampai usia 19. Nanti setelah masuk timnas U23, baru mulai kelihatan kematangannya,” imbuhnya.

Diakui Kesit, ini tidak berbanding lurus ketika para pemain timnas U16 dan 19 itu masuk timnas senior (U23). Di mana terbukti timnas U23, tetap minim gelar juara. ”Banyak faktor juga. Ketika di U16, mereka masih hijau istilahnya. Sampe usia 19 pun, penampilan mereka masih terlihat lepas. Kalau pun ada yang eksis, tapi karirnya tidak panjang. Atau tidak menonjol,” ujarnya.

Kompetisi Tingkat Junior

Jadi masalahnya, kata dia, karena tidak adanya kompetisi tingkat junior resmi. Kompetisi resmi yang kita kenal seperti Liga 1 itu. “Dulu pernah ada, seperti Piala Suratin. Ada juga untuk U15, namanya Piala Jamiat Dalhar yang diambil dari nama mantan ketua umum PSSI. Terus ada piala Popnas, Popsi,” ulasnya.

Bedanya sama kompetisi, nilai dia, turnamen itu sebulan paling selesai dan tidak berjenjang. Apalagi kalau kalau duluan, langsung gugur dan balik latihan lagi. Kalau kompetisi itu nasional diselenggarakan PSSI yang panjang masanya bahkan bisa setahun. “Jadi bertanding terus setiap minggu selain latihan setiap harinya. Nanti di pengujung musim baru ketemu juaranya yang dihitung dengan jumlah akumulasi poin,” ujar Kesit yang juga pemimpin redaksi salah satu media nasional.

Saat pemain-pemain yang menonjol di U16, 17, dan 19 mereka bagus di timnas, lanjut dia, setelah itu mandeg/stagnan. Karena tidak ada wadah. Walaupun memang ada klub, termasuk ada PPLP yang di bawah binaan pemerintah. “Ini hanya pembinaan, tapi tidak dilanjutkan dengan kompetisi. Untuk try out, mereka cuma ikut turnamen saja. Kalau latihan saja tidak menambah jam terbang. Di kompetisi itu, atmosfirnya dan pressure nya pun beda. Justru di situ mereka ditempa,” tukasnya.

Klub-klub Liga 1 saja, lanjut Kesit, tidak ada tim-tim U16-nya. Kalau pun ada, biasa mereka bentuk dengan mengambil klub klub untuk kebutuhan ikut turnamen. “Jadi tidak heran kalau prestasi mereka pun jadi mandeg.

Soal kemungkinan hilangnya chemistry pemain karena ketemu pemain baru di timnas senior, Kesit mengatakan, di Indonesia memang masih sulit mendapatkan chemistry kalau pemain datang dari berbagai klub di timnas. Utamanya masuk timnas dalam waktu singkat.

“Ini penyakit klasik Indonesia. Tapi di sisi lain, kalau terlalu lama bersama-sama tidak bagus buat seorang pemain. Ini pernah dilakukan PSSI dengan membentuk timnas Primavera. Di mana semua pemain junior bergabung terus hingga masuk timnas senior. Tapi hasilnya tidak bagus. Terbukti program ini tidak berlanjut. (lin)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *