Praktik korupsi massal dilakukan anggota Dewan Perwakilan Rakayat Daerah (DPRD) di beberapa daerah sudah menjadi semacam epidemic. Karena terjadinya dalam waktu bersamaan melibatkan banyak anggota DPRD, seperti di Sumut, Jambi, dan Kota Malang, Jawa Timur.
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor menyebut, fenomena ini adalah pengkhianatan terhadap reformasi 1998. Karena inti dari reformasi adalah anti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Itu salah satu pesan anak bangsa kepada para pemimpinnya atau para pengelola negara.
“Namun ternyata 20 tahun kemudian yang terjadi semacam pengkhianatan reformasi. Mengapa ini terjadi? Ini tidak tiba-tiba. Ini sebuah puncak dari gunung es yang memang sebetulnya, hal yang sama di bawahnya itu banyak. Ini jadi satu fenomena dan massif. Ini bukan asing, tapi jadi unik dan kelihatan besar pengkhianatannya karena massif,” ujar Firman di ruang kerjanya gedung LIPI, kawasan Gatot Soebroto, Jakarta Selatan, Jumat sore (14/9).
Ada beberapa hal yang jadi backgroundnya. Pertama, rinci dia, masalah di parpol. Karena merekrut benih-benih yang busuk. “Ini bisa direkrut karena memang di partai ini tidak ada kejelasan kaderisasi sehingga pola rekrutmennya tidak didasarkan pada sebuah standarisasi yang jelas dan klir yang mampu menyaring hanya benih-benih terbaik saja masuk partai bahkan benih-benih ini bisa menjadi orang yang mengisi jabatan public,” sindirnya.
Tapi karena kadaerisasi sebagai saringan itu mati atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya, lanjut dia, setiap orang bisa masuk, termasuk orang yang punya kecenderungan melakukan korupsi. “Jadi perlu aturan main. Baik UU Pemilu maupun UU Parpol harus ada klausul yang mengharuskan dilakukan kaderisasi secara sistematis, kontinyu, dan terstandarisasi di dalamnya. Kalau aturan main mengharuskan 30 persen adalah perempuan bisa, mengapa ini tidak bisa?” ujarnya.
Di dalam UU Pemilu pun, harap dia, ada transaparansi kandidasi. Kemudian bantuan pemerintah, yaitu dana. Karena memang sulit melakukan kaderisasi dengan keuangan partai yang memprihatinkan. Untuk kaderisasi itu perlu adanya kompensasi. Ini kan yang harus ditanggung partai.
“Mana bisa pimpinan parpol beranjangsana melakukan sosialisasi, mana bisa mempunyai kantor yang establish dengan fungsi ideal untuk melakukan pendidikan politik, komunikasi politik, dan lainnya. Nah ini jelas harus ada bantuan keuangan yang memadai dari partai pada kadernya. Ini hal biasa dalam dunia internasional kok. Negara-negara maju punya konsep tentang bantuan dana parpol,” paparnya.
Jadi boleh saja partai mengajukan tambahan anggaran lagi, tapi pinta Firman, ada plusnya. Yaitu akuntabilitas yang komprhensif dan punishment yang keras kalau memang keuangan ini disalahgunakan. Ini bisa terimplementasikan dengan adanya aturan main.
Dan tranparansi rekrutment calon penjabat public seperti keikutsertaan masyarakat menilai jangan ditutup. Tapi dibuka seluas-luasnya sehingga masyarakat memiliki suara terhadap kandidat. Jadi tidak beli kucing dalam karung,” ujarnya.
Terkait moralitas yang berpengaruh terhadap mental korupsi dengan memasukkan nilai-nilai agama dalam UU Pemilu, Firman mengaku belum menemukan formulasi nilai-nilai moralitas bias diadopsi dalam UU untuk kemudian dilaksanakan oleh parpol. Malah dia khawatir akan jadi sekadarnya saja.
“Saya sepakat bahwa salah satu alasan mengapa korupsi tidak terjadi di masa lampau karena ideologinya kuat. Salah satunya berdasarkan agama. Kalau mau jujur hampir jarang ada pimpinan yang agamanya kuat melakukan korupsi. Kalau pun ada satu dua, itu bukan tren. Tapi kalau berjamaah dan berkali-kali kena, berarti itu karakter,” sindirnya.
Tapi memang bagaimana memformulasikan nilai-nilai agama itu sehingga tidak sekadar jadi tempelan, apalagi kemudian orang akan menjawab dengan seenaknya. “Buktinya ada partai-partai yang atas dasar agama melakukan korupsi. Uniknya partai atas dasar agama pun tidak menyodorkan ini,” ujarnya sambil tertawa.
Walaupun epidemic korupsi ini dikatakan sudah lama atau tidak tiba-tiba sekarang terjadi, Firman mengaku riset mengenai ini belum ada yang khusus di LIPI. Tapi dalam beberapa diskusi menangkap tren korupsi semacam ini makin mengkhawatirkan, tertangkapnya kepala daerah semakmin mengkhawatirkan dari tahun ke tahun. “Jadi kontek pertarungan politik ini, korupsinya nampak sudah menjadi bagian tak terpisahkan. Ini menyedihkan,” kecamnya. (lin)