Fenomena Fir`aun di Jaman Now, Anda Ikut Siapa?

Oleh Desmond J Mahesa. Foto: law-justice

Oleh Desmond J Mahesa *

semarak.co-Belakangan ini nama Emha Ainun Nadjib alis Cak Nun sedang menjadi obyek pembicaraan hangat masyarakat Indonesia. Gara garanya budayawan kondang itu mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak dikatakan dalam ceramahnya.

Bacaan Lainnya

Cak Nun menyebut Jokowi sebagai Fir’aun, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Haman dan gelar Qorun yang disematkan kepada Anthony Salim (pengusaha) dan 10 Naga.

Meskipun pada akhirnya Cak Nun mengaku khilaf  kemudian meminta maaf kepada para pihak yang disebutkan dalam pidatonya, namun pernyataan yang telah di ucapkan itu terus bergulir menuai pro dan kontra.

Ada yang membela ucapannya, ada juga yang menghujatnya. Seperti apa gambaran pendapat orang yang membela dan menghujatnya? Apakah penyebutan Jokowi seperti Fir’aun ini memang hanya terjadi kali ini saja?

Apa yang kira kira membuat orang menyebut Jokowi sebagai Fir’aun sebagai ungkapan ketidaksukannya? Sekiranya kita ini hidup di zaman Fir’aun kemana kira kira akan berpihak, mendukung Fir’aun atau Nabi Musa?

Menuai Pro-Kontra

Pernyataan Cak Nun yang menyebut Jokowi sebagai Fir’aun menjadi amunisi yang begitu empuk bagi mereka khususnya para buzzer untuk menyerang Cak Nun yang dianggap telah menghina tokoh idolanya.

Guntur Romli, Politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang pertama mengungkit ceramah Cak Nun yang dinilai justru merendahkan dirinya. “Jika ada kekurangan di Jokowi, tidak sampai layak dihina seperti Firaun. Jika ada kelebihan Emha Ainun Najib nggak sampai level Nabi Musa dan Sabrang seperti Nabi Harun,” ucapnya.

Ia menyebut jika dengan pernyataan tersebut, Cak Nun seperti sedang merendahkan harga dirinya. “Hanya kesombongan dan ketakaburan yang mengatakan itu. Cak Nun sedang meninggikan Jokowi dan merendahkan dirinya sendiri,” sambungnya.

Tak mau kalah dengan Guntur Romli, Rudi S Kamri mengungkapkan bahwa pernyataan yang dilontarkan oleh Cak Nun tersebut asal-asalan dan sudah di luar batas kewajaran. Ia bahkan menduga jika perkataan tersebut merupakan `pesanan` dari suatu kelompok tanpa menyebut siapa kelompok yang dimaksudkannya.

“Jadi penghinaan terhadap Presiden Jokowi yang dikatakan Firaun itu sudah di luar batas kewajaran,” ujar Rudi S Kamri seperti dikutip Suara.com melalui tayangan kanal YouTube Kanal Anak Bangsa pada Selasa (17/1/2023).

Sementara itu Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin pun tak tinggal diam soal ceramah Jokowi Firaun. Ia menyindir balik dengan mempertanyakan apakah Cak Nun adalah Nabi Musa AS.

Ali Ngabalin mengatakan siapapun boleh saja menilai presiden, termasuk Cak Nun. Namun Ali menegaskan bahwa Presiden Jokowi tetap baik di mata masyarakat Indonesia.

Lain lagi dengan Denny Siregar, meskipun ia mengaku menghormati Cak Nun namun ketika ia menyebut Jokowi sebagai Fir’aun dianggap Cak Nun sedang berpolitik sehingga ia merasa tidak pantas menghormatinya.

“Cak Nun itu seorang budayawan, sastrawan, musisi dan seniman. Hormati dia disitu,” tulis Denny Siregar di akun Twitternya pada Selasa (17/1/2023).”Kalau dia ngomong politik, ketawain aja. Orang juga kan harus cari makan,” imbuhnya.

Dengan nada sinis ia meminta Cak Nun untuk diam ketimbang banyak berkomentar yang justru merugikan dirinya. “Kalau ngebacot perutnya isinya busuk baiknya diam saja duduk diboncengin,” kata Ruhut melalui akun Twitternya @ruhutsitompul dikutip Rabu (18/1/2023).

Banyak yang mengkritik tapi banyak juga yang membelanya.  Pengamat politik Rusmin Effendy menilai pernyataan Cak Nun soal Jokowi seperti Firaun adalah ungkapan sarkasme, bukan bermaksud menyamakan sosok Jokowi dengan Firaun. Oleh karena itu para pendukung Jokowi harusnya juga tidak baper atas pernyataan Cak Nun.

Apalagi Cak Nun juga sangat prihatin melihat situasi dan kondisi bangsa Indonesia.”Ya biasa saja, tidak ada yang salah. Kalau Jokowi merasa tersinggung silakan bawa ke ranah hukum,” ujar Rusmin kepada Harian Terbit, Kamis (19/1/2023).

Sementara itu Pakar hukum tata negara Refly Harun melalui saluran YouTube pribadinya, Refly Harun membandingkan apa yang dilakukan oleh Cak Nun dengan kritikan yang dibuat oleh BEM Universitas Indonesia.

Refly Harun menilai apa yang disebutkan oleh Cak Nun maupun BEM UI tidak menyerang pribadi Jokowi, tetapi mengkritik sistem pemerintahan yang sedang berlangsung saat ini di Indonesia. “Kita tidak bicara Jokowinya yang otoriter, tetapi his presidensi, kepresidenan-nya, bahkan ada beberapa orang yang misalnya melakukan hal yang sama,” katanya.

Oleh karena itu, Refly Harun tidak setuju dengan opini bahwa Cak Nun dan BEM UI melakukan penghinaan terhadap sang presiden”Kenapa? Ada dua hal sebenarnya yang ingin saya singgung dalam kesempatan ini, pertama itu adalah kritik, tidak bisa kemudian langsung dikatakan itu sebagai penghinaan,” tuturnya.

Sementara itu Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi mengatakan bahwa kritik yang dilontarkan oleh Cak Nun itu wajar wajar saja dan sudah sepantasnya. “Kalau Cak Nun identikkan dengan Jokowi, Luhut, dan 10 naga itu di mana salahnya? Wong tindakan mereka seperti yang disebutkan Al Quran itu. Lalu dibilangin seperti Firaun dan balatentaranya apa salahnya?”, begitu katanya.

Kritikan dari Cak Nun, kata Muslim, menggantikan peran dari akademisi yang tidak berani mengkritik Jokowi karena takut dicopot jabatannya. Bahkan, juga tidak berani kritik Luhut Binsar Pandjaitan meski sejumlah jabatan menumpuk di tangannya. “Dari ciri-ciri Firaun itu wajar kalau Cak Nun menjuluki Jokowi dan para pengikut dan para penopang kekuasaannya seperti Firaun,” pungkas Muslim. seperti dikutip rmol.id

Cak Nun juga di bela oleh politisi asal Partai Kebangkitan Bangsa. Dilansir detikJatim, Kamis (29/2/2023), Bendara DPW PKB Jatim Fauzan Fuadi menyebut orasi Cak Nun tidak seharusnya dimasukkan ke dalam hati. Menurutnya, Cak Nun adalah budayawan yang tinggi keilmuannya.

“Orasi Mbah Nun jangan selalu dimasukkan ke dalam hati. Kata-kata beliau tidak bisa dicerna hanya dalam satu sudut pandang saja. Beliau itu budayawan dengan kedalaman ilmu agama yang sangat mumpuni. Harus cerdas menyikapi Mbah Nun. Netizen tidak perlu baper (terbawa perasaan),” kata Fauzan kepada detikJatim, Kamis (19/1/2023).

Bukan Kali Pertama

Penyebutan Jokowi sebagai Fir’aun ternyata bukan terjadi kali ini saja tetapi sudah terjadi sejak lama. Sebagai contoh tahun 2017 yang lalu ketika pemerintah mengeluarkan Perpu Ormas telah memunculkan aksi unjuk rasa. Saat itu seorang orator Aksi 287 menyebut Rezim Jokowi bertindak seperti Rezim Fir`aun, layaknya penguasa yang hidup di zaman Nabi Musa.

“Rezim Jokowi menerbitkan Perppu Ormas dengan semena-mena tanpa pernah bersedia duduk bersama para ulama, ini persis seperti Rezim Fir`aun yang ingin memberangus dakwah umat Islam,” kata orator aksi dari atas mobil komando, di Bundaran Patung Kuda, Jakarta Pusat, Jumat (28/7/2017) seperti dikutip media.

Dia menilai, langkah Rezim Jokowi yang membubarkan Ormas Islam HTI secara sepihak, merupakan sikap otoriter yang baru pertama kali muncul pasca tumbangnya rejim orde baru (Orba). “Rezim ini pantas disebut Rezim Fir`aun, Rezim yang semena-mena terhadap pikiran dan pendapat rakyatnya,” begitu katanya.

Penyebutan Jokowi sebagai Fir’aun juga muncul manakala Ketua Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) 6 laskar Front Pembela Islam (FPI) Abdullah Hehamahua mengomentari pertemuannya dengan Jokowi di istana negara.

“Saya rasa, tidak ada yang salah dengan analogi tersebut. Apalagi, sabda Rasulullah SAW yang mengatakan, jihad yang paling besar adalah menyampaikan kebenaran di depan penguasa yang menyimpang,” sebut Abdullah Hehamahua.

“Kalau toh ada yang menganggap Jokowi tidak sama dengan Firaun karena Jokowi bukan kafir tapi muslim, pertanyaan saya, siapa yang bilang Jokowi itu kafir? Saya khawatir, jangan-jangan mereka yang mengkritik saya tersebut yang justru merasa Jokowi itu kafir atau thogut. Tak ubahnya pencuri yang masuk pasar, menganggap semua orang di situ adalah polisi yang mau menangkap dirinya,” paparnya seperti dikutip media.

Sebutan Fir’aun juga muncul manakala politikus PDI Perjuangan Masinton Pasaribu mengomentari polah tingkah orang yang memperjuangkan Jokowi tiga periode atau mereka yang menginginkan pemilu ditunda pelaksanannya.

“Konstitusi kita telah membatasi hasrat Firaun yang ingin melanggengkan kekuasaan dengan menambrak konstitusi, itu hasrat Firaun, Firaun-Firaun politik,” ungkap Masinton dalam perbincangannya di kanal YouTube Total Politik yang tayang Selasa (20/12/2022).

Penyebutan Jokowi sebagai Fir’aun ternyata tidak hanya datang dari para tokoh ternama saja melainkan datang juga dari kalangan rakyat jelata. Adalah Ida Fitri (44), seorang warga Desa Kalipucung, Sanankulon, Kabupaten Blitar yang diduga mengunggah hinaan kepada Presiden Jokowi di akun media sosial Facebook miliknya.

Dalam postingannya akun Facebook Aida Konveksi ini menuliskan unggahan foto Joko Widodo seperti mumi dan seekor anjing disampingnya pada 19 Juni 2019. Selanjutnya akun tersebut menuliskan `The new Firaun….`, dan `Iblis berwajah anj#ng`.

Saat diperiksa polisi, yang bersangkutan kemudian menyatakan permohonan maafnya sambil berurai air mata karena takut dipenjara.”Saya mohon maaf pak. Saya mohon jangan ditahan. Anak saya sakit pak, saya rawat sendiri di rumah sekarang. Gimana mereka kalau saya ditahan,” ujarnya kepada petugas kepolisian saat akan keluar ruangan, Selasa (2/7/2019).

Penyebutan Fir’aun untuk penguasa yang tidak disukai ternyata tidak menimpa seorang Presiden Jokowi semata. Tokoh lain seperti Anies Baswedan yang merupakan mantan Gubernur DKI Jakarta pernah mendapatkan julukan serupa.

Adalah Guntur Romli yang sempat menyebut Anies Baswedan dengan mengaitkannya dengan Fir’aun. Pada cuitan di akun twitternya ia menulis: “Hingga akhir masa jabatannya, @nis baswedan akan menjadikan dirinya sebagai Fir’aun -seperti ucapannya.  “Kalau hanya bangun kota yang megah, Fir’aun juga bisa”, Anies A-Fir’auni (diakhiri dengan emoji orang ketawa).

Tokoh lain yang pernah menyebut Anies sebagai Firaun diantaranya Ketua Umun PSI Giring Ganesha. Giring pernah menyindir kebijakan Anies dan menyebutnya sebagai Firaun. “Sound System Terbaik di dunia itu adalah Suara Rakyat, tidak perlu gunakan uang Triliunan. Sementara masih ada mereka yang terlupakan dan terpinggirkan oleh ambisi Firaun yang gemar mengundang orang terpandang di pestanya,” tulis Giring pada akun twitternya 22 Januari 2022

Mengapa para Pejabat itu Disebut Fir’aun?

Tanah Mesir telah melewati berbagai peradaban yang kisahnya banyak dikenal seantero jagat raya. Tapi yang paling mendapat banyak perhatian dan penting untuk dipelajari, tentunya adalah soal sosok dan sejarah Firaun yang bahkan disebutkan kisahnya dalam sejarah agama Islam sebagaimana termatub dalam kitab sucinya.

Nama Firaun diadopsi sebagai metode penghormatan, dan orang Mesir kuno percaya bahwa Firaun berfungsi sebagai mediator antara dewa dan manusia.Banyak sarjana dan sejarawan sepakat bahwa Ramses II adalah Firaun di masa Musa.

Dia adalah salah satu orang pertama yang mengklaim dirinya sebagai Tuhan yang sangat berkuasa.Dia membuat patung untuk dirinya sendiri di samping dewa Ptah dan Amun, dan para penjaga serta tentara memujanya sampai masyarakat umum memujanya.

Dia dipanggil dengan banyak gelar, termasuk gelar tuhan yang baik, tuhan bumi, tuhan langit, tuhan langit dan bumi, dan yang hidup yang tidak mati, pencipta, yang tidak bersalah, yang kaya, dan lainnya.

Dia tega membunuh bayi yang lahir berjenis kelamin pria. Ia pernah menerapkan kebijakan membunuh semua bayi laki-laki yang lahir, hanya karena adanya ramalan yang menyebutkan ia akan takluk karena perang yang dipimpin seorang pemuda lelaki yaitu Nabi Musa.

Kebijakan ini membuat banyak keluarga bersedih, terlebih bagi keluarga yang sudah menantikan kehadiran buah hatinya selama bertahun-tahun lamanya. Selain itu Fir’aun juga mempunyai hasrat untuk membunuh anak laki laki yang dipeliharanya.

Meski Nabi Musa berhasil dibesarkan istri Raja Firaun, maka setelah dewasa ia diburu oleh ayahnya sendiri karena masih terbayang ancaman ramalan tentang takluknya ia di tangan seorang lelaki yang dipeliharanya.

Dia percaya pada ilmu sihir dan percaya pada ramalan para peramal yang dipercainya. Meskipun mengaku dirinya sebagai tuhan tapi Firaun percaya pada ilmu sihir dan ramalan sehingga Allah SWT kemudian memberikan mukjizat pada Nabi Musa untuk melawan ilmu sihir itu, dengan kekuatan yang sesungguhnya.

Dalam Al Quran Firaun diceritakan memiliki ratusan tukang sihir yang berfungsi sebagai penggertak dan peneror rakyatnya, sekaligus semacam buzzer yang dapat bayaran tinggi dimasanya. Para penyihir dan peneror rakyat tersebut bertanya kepada Firaun sebelum melawan Musa.

“Wahai Firaun, apa imbalan yang paduka akan berikan untuk kami bila nanti kita bisa mengalahkan musa?” tanya mereka.”Firaun menjawab, engkau semua akan saya jadikan orang-orang dengan diriku, seperti diceritakan dalam Al Qur’an  surat As-Syura ayat 41 dan ayat 42.

Dia juga melanggengkan kerja paksa. Seperti diketahui, salah satu bangsa yang dipimpin Firaun adalah bangsa Egypt atau pribumi, sedangkan Bani Israil adalah pendatang diwilayahnya. Saat itu, Raja Firaun bertindak sewenang-wenang dimana rakyat dikenakan kerja paksa dan diharuskan membayar berbagai pungutan yang di kenakan pada Bani Israel tetapi tidak dikenakan terhadap penduduk asliya.

Di dalam Alquran Firaun digambarkan sebagai sosok zalim dan menindas rakyatnya. Ia juga sosok yang keji kelakuannya. Firaun sebagaimana diceritakan dalam Alquran adalah juga sosok yang menolak dakwah Nabi Musa lantaran menganggap dirinyalah yang menjadi Tuhannya.

Ia menjalankan kekuasaan dengan tangan besi lantaran meyakini dialah pemilik dunia dengan segala isinya. Dalam bahasa yang sederhana, Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia Tengku Zulkarnain (almarhum) melalui akun Twitter @ustadtengkuzul perah memaparkan sifat-sifat Firaun.

Menurutnya, sifat Firaun pada intinya adalah sifat buruk yang diperlihatkan seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya, dimana diantaranya:

(1). Mempertahankan kekuasaan dengan segala cara. (2). Memaksa rakyat taat kepadanya. (3). Tidak segan mengkriminalisasi dan menganiaya yang menolak. (4).Tidak punya rasa malu, angkuh, sombong. (5). Gemar berdusta, dan mendustakan kebenaran. (6).Bangga dengan bangunan megah walau tidak guna,” begitu kata dia.

Berdasarkan gambaran dari sifat sifat yang dimiliki oleh Fir’aun diatas, lantas, apakah pernyataan Cak Nun yang menyebut Jokowi sebagai Firaun itu sudah tepat adanya? Jika pertanyaan ini di sodorkan kepada orang per orang tentu akan sangat beragam sekali jawabannya.

Mungkin ada yang menyatakan mirip mirip kelakuannya. Ada yang menyatakan tidak tepat bahkan mengada ada ada pula yang mengatakan benar tapi tidak semuanya. Tergantung dari sudut mana ia memandangnya.

Yang jelas penyebutan seorang Jokowi sebagai Fir’aun tentu tidak mengacu pada diri pribadinya melainkan didasarkan pada konsekuensi dari jabatan yang disandangnya selaku penguasa. Ia berkaitan dengan watak dari kekuasaan misalnya watak yang cenderung otoriter menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaannya

Apa yang disebutkan oleh Cak Nun sesungguhnya mirip dengan sebutan yang pernah di ungkapkan oleh BEM Universitas Indonesia yang menggelari Jokowi dengan Jokowi disebut The King of Lip Service dimana ia tidak menyerang pribadi Jokowi, tetapi mengkritik watak daripada sistem pemerintahan yang dijalankannya.

Tentu seperti kata pepatah, tidak ada ada asap kalau tidak ada apinya. Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah.  Meskipun penyebutan Jokowi seperti Fir’aun diakui sangat berlebihan tetapi perlu juga di renungkan mengapa pernyataan seperti itu sampai muncul dari seorang tokoh budayawan setingkat Cak Nun yang selama ini “damai damai” saja.

Bisa jadi ia memang sedang bernasib sial alias “kesambet” seperti yang diakuinya. Tapi bisa jadi kalimat itu terucap dibawah alam sadarnya. Yang menarik adalah pernyataan dari Putra sulung Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) Gibran Rakabuming Raka yang mengaku tidak tersinggung dengan ucapan Cak Nun yang mengatakan ayahnya seperti penguasa Mesir zaman dahulu, Firaun.

Menurut Wali Kota Solo itu keluarganya pun tidak tersinggung dengan ucapan ulama cum budayawan tersebut.”Aku santai, enggak tersinggung, keluarga enggak tersinggung. Santai wae (saja),” kata Gibran kepada wartawan di Balai Kota Solo, Rabu (18/1/23).

Barangkali putra sulung Presiden itu sudah memahami betul bahwa konsekuensi menjadi seorang pejabat negara itu kadang kadang memang harus lapang dada menyediakan dirinya untuk di hina hina oleh rakyatnya. Harus bersedia di rendah rendahkan karena laku kebijakan yang diambilnya.

Karena kalau memang tidak mau dikritik atau dihina sebaiknya tidak usah jadi pejabat negara. Kalau presiden Jokowi dan keluarganya saja menyikapi kritik dan hinaan yang ditujukan kepadanya dengan tenang dan santai santai saja, tetapi mengapa para buzzer itu begitu gerah dan terkesans angat kepanasan dalam menyikapinya?

Berpihak Kemana?

Presiden Jokowi jelas bukan Fir’aun, kurang tepat juga kalau disebut sama persis dengan Fir’aun penguasa Mesir jaman baheula yang terkenal kejam pada rakyatnya. Sebaliknya Cak Nun tidak tepat juga kalau di sebut seperti Nabi Musa.

Namun ramainya pembicaraan soal sebutan Fir’aun yang dilontarkan oleh Cak Nun kepada Presiden Jokowi mengingatkan kita pada dialog Ustadz ABDUL SOMAD (UAS) dengan jamaahnya dalam Kajian Online sebagaimana dikutip oleh Pipiet Senja.

UAS: “Andai kita hidup pd zaman Fira’un, kira-kira kita jadi pengikut siapa, Fir’aun atau Nabi Musa?”

JAMA’AH: “Musaaaaa.” (Jawab jama’ah kompak).

UAS: “Yakiiin?”

JAMA’AH. “Yakiiiiiin……”

UAS: Tapi yang membangun kota Mesir, Fir’aun. Yang bangun infrastruktur juga dia. Yang bangun piramida, Fir’aun. Yang paling kaya, Fir’aun. Yang punya bala tentara banyak dan kuat, Fir’aun. Yang punya banyak pengikut, Fir’aun. Yang bisa memberi perlindungan dan jaminan. Fir’aun. Yang Berkuasa, Fir’aun. Yang bisa menyediakan makanan dan minuman, Fir’aun. Yang bisa adakan hiburan, Fir’aun. Yang bisa buat pusat perbelanjaan, Fir’aun. Bahkan jika teknologinya sudah ada, mungkin Kartu Mesir Sehat dan Kartu Mesir Pintar juga dibuatnya.”

Sementara Nabi Musa, siapa dia? Hanya seorang penggembala kambing. Bicara saja tidak fasih alias cadel (akibat pernah memakan bara api diwaktu bayi). Hanya memiliki sebatang tongkat butut. Masih yakin mau ikut Nabi Musa?” tanya UAS sekali lagi. Jama’ah terdiam. Saling memandang satu sama yang lainnya.

UAS: “Kerjaan Nabi Musa hanyasebagai penjaga kambing, tiba-tiba mau mengajak kita menyeberangi lautan, tanpa memakai sampan, tanpa perahu, tanpa kapal. Apakah yakin kita mau ikut Nabi Musa?”

Tak satupun jama’ah berani menjawab. Semua tertunduk, diam seribu bahasa.

UAS: Betapa sesungguhnya manusia zaman Firaun dan zaman sekarang, tidak ada bedanya. Di Zaman sekarang ini, mayoritas tergila-gila pada harta, wanita, pangkat, jabatan, pujian, rayuan. Cinta materi. Al Wahn (rasa cinta keduniawian lainnya).

Sungguh, Fir’aun itu akan tetap ada hingga akhir zaman, sampai kiamat tiba. Hanya saja berubah wajah, bentuk dan juga namanya. Namun secara hakikat dia akan terus ada. Sebab sejarah akan berulang, dan kita harus tetap yakin seyakinnya biidznillah Fir’aun dikalahkan oleh Musa, karena Kuasa ALLAH AZZA WA JALLA.

Kita bisa belajar dari kisah CICAK dan Burung Pipit. Dahulu saat Nabi Ibrahim Alaihi Salam dibakar oleh Raja Namrud, datanglah burung pipit yang bolak balik mengambil air dan meneteskan air itu di atas api yang membakar Nabi Ibrahim.

Cicak yang melihatnya tertawa. “Hai pipit, bodoh amat yang kau lakukan itu.Paruhmu yang kecil hanya bisa menghasilkan beberapa tetes air saja, mana mungkin bisa memadamkan api itu..?

Burung pipit pun menjawab: “Wahai cicak, memang tak mungkinlah aku bisa memadamkan api yang besar itu, tapi aku tak mau jika ALLAH SWT melihat Aku diam saja saat sesuatu yang ALLAH cintai dizholimiAllah tak akan melihat apakah aku berhasil memadamkan api itu atau tidak. Tetapi Allah akan melihat di mana aku berpihak.

Cicak terus tertawa, dan sambil menjulurkan lidahnya ia berusaha meniup api yang membakar Nabi Ibrahim Alaihi Salam agar cepat membesar. Memang tiupan cicak tak ada artinya tak menambah besar api yang membakar Nabi Ibrahim, tetapi Allah melihat dimana Cicak berpihak.

Hikayat tersebut kini terjadi sekarang dan akan terus berulang dengan nuansa yang berbeda. Saat Al-Qur’an dinistakan, suara Azan dipermasalahkan, agama dihina, bendera tauhid dibakar dan pembela Agama dikriminalisasi. Dimanakah kau berpihak?

*) Wakil Ketua Komisi III DPR RI

 

sumber: law-justice.co – Senin, 23/01/2023 10:54 WIB di WAGroup PAMEKASAN GERBANG SALAM (postSenin23/1/2023/mulawarman)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *