Melihat dari perkembangannya, hingga saat ini industri asurans syariah di Indonesia mengalami tren cukup baik. Setidaknya ada beberapa fase dalam perjalanan industri ini. Pertama, tahun 1990 industri asuransi syariah belum memiliki regulasi apapun.
semarak.co-Sekitar 1994 salah satu perusahaan asuransi syariah hadir dan industri ini hidup dengan regulasi seadanya. Kemudian fase kedua, kisaran 2000, dimana pertama kali keluarnya fatwa DSN MUI terkait asuransi syariah dan dilanjutkan keluarnya regulasi-regulasi lainnya.
Termasuk diperbolehkannya untuk membuka unit syariah bagi perusahaan asuransi dan tahun 2014 dimulailah fase ketiga, yang mana undang-undang telah menyebutkan terkait asuransi syariah sekaligus mengamanatkan akan adanya fase keempat, yaitu kewajiban spin off atau pemisahan unit syariah di 2024.
Ketua Asosisasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) Tatang Nurhidayat menjelaskan, peningkatan industri asuransi syariah ini terlihat dari perkembangan bisnisnya. Sejak kemunculan unit-unit syariah di perusahaan asuransi, persentase pertumbuhan industri asuransi syariah selalu lebih tinggi dari industri asuransi konvensional.
Bahkan di saat kondisi krisis sekalipun, kata Tatang, seperti pandemi Covid-19 yang damapknya dirasakan saat ini, industri asuransi syariah masih bisa tumbuh sekitar 4%. Peningkatan industri asuransi syariah selanjutnya juga dapat dilihat dari pelaku usaha yang dari tahun ke tahun selalu mengalami pertumbuhan.
“Artinya, minat investor untuk menggarap pasar asuransi syariah ini masih sangat tinggi. Jadi kalau melihat dari setiap fase-fasenya industri asuransi syariah selalu mengalami peningkatan ke arah lebih baik,” ungkap Tatang dalam program Smart Syariah di Radio Smart FM dengan tema Prospek Asuransi Syariah Pasca Spin Off” Selasa (232/2021).
Peningkatan tersebut, lanjut Tatang, diantaranya dipicu oleh mekanisme asuransi syariah dengan prinsip ta’awun (tolong menolong) yang berorientasi untuk kemaslahatan dan kepentingan umat, bukan kepentingan individu atau perorangan.
Karena sifatnya kebersamaan dan tolong menolong, jadi kontribusi yang dikumpulkan peserta menjadi dana tabarru yang kepemilikannya adalah untuk peserta, bukan menjadi pendapatan perusahaan.
”Dari sisi pengusaha, spektrum bisnis asuransi syariah ini juga lebih luas, yang mana di industri asuransi syariah produknya dapat dikembangkan lagi kepada sektor zakat, infak, waqaf dan sejenisnya yang tidak ada pada asuransi konvensional,” katanya.
Terkait kewajiban spin off pada tahun 2024 nanti, tatang mengungkapkan, memang dalam undang-undangnya disebutkan secara umum saja, namun detailnya ada pada POJK (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan).
Dalam hal ini AASI bersama stake holders lainnya seperti MES ataupun KNEKS terus berusaha merumuskan mekanisme serta teknisnya bersama OJK sehingga pelaksanaanya nanti dapat mengoptimalkan manfaat dari kewajiban ini serta meminimalisir mudharatnya.
Dengan kewajiban spin off ini, lanjut Tatang, memang akan bersinggungan dengan cost dan persiapan yang matang bagi perusahaan. Namun, hal ini akan mendorong para pelaku untuk lebih fokus dan kerja keras lagi agar industri asuransi syariah terus berkembang.
Dan lambat laun, penetrasi pasar akan terus mengalami peningkatan yang disertai dengan pengambangan produk-produk khusus untuk asuransi syariah. Bagi pemegang saham tentunya ini menjadi spektrum sebagai growth engine baru dalam menggarap pasar industri asuransi syariah ini.
“Kalau melihat dari perusahaan-perusahaan yang sudah terdahulu melakukan spin off, memang ada perubahan paradigma serta strategi yang diterapkan dalam berbisnis. Fase untuk spin off ini memang sulit,” terang dia.
Dari sekian banyak unit asuransi syariah yang ada saat ini, rinci dia, tidak semua bisa melewati fase ini. Namun bagi yang lolos dalam fase ini, akan menjadi perusahaan asuransi syariah yang kuat, mandiri, fokus, serta memiliki ciri khas tersendiri.
Soal peranan pemerintah dalam spin off ini, Tatang juga menjelaskan bahwa dorongan pemerintah memiliki peran yang besar terhadap pertumbuhan industri asuransi syariah setelah spin off.
Seperti dalam pembentukan konsorsium asuransi barang milik negara, lanjutnya, jika perusahaan asuransi syariah dapat diikutsertakan dalam konsorsium ini, tentu ini menjadi value tersendiri bagi industri asuransi syariah. Karena memang dalam hal ini pemerintah menjadi peserta asuransi dan sebagai pihak penentu.
Dalam hal mendorong perkembangan industri asuransi syariah di Indonesia, AASI selalu siap untuk menjadi mediator bagi pelaku usaha asuransi syariah dengan pemerintah dan regulator.
Termasuk, harap dia, dalam memastikan proses spin off ini berjalan dengan lancar, mengoptimalkan potensi, serta meminimalisir efek samping yang muncul dengan kewajiban pemisahaan ini.
“Sejauh ini AASi juga telah berusaha mengoptimalkan potensi industri asuransi syariah, diantaranya dengan mengusulkan agar industri asuransi syariah mendapatkan porsi bisnsi yang layak dari berbagai pihak,” ujarnya.
Seperti halnya asuransi barang milik negara atau ABMN. Kiranya ada yang mungkin bisa disebut ABMN Syariah, khususnya untuk mengcover aset negara yang memiliki keterkaitan dengan keislaman, begitu juga dengan underlying sukuk yang semestinya diberikan kepada asuransi syariah.
AASI juga siap memberikan lietarasi dan edukasi kepada masyarakat tentang asuransi syariah. Bahwa di industri asuransi syariah sejauh ini belum ditemukan kasus gagal bayar,” pungkas Tatang. (smr)