Opini Smith Alhadar,
semarak.co -Dampak ekonomi, politik, dan keamanan terkait covid-19 di Indonesia mestinya menjadi perhatian dunia internasional, khususnya Cina, Amerika, dan Uni Eropa. Terganggunya politik dan keamanan di Indonesia akibat imbas krisis ekonomi dapat mengancam kepentingan ketiga pihak di atas.
Bagi Amerika dan UE, melemahnya rezim Jokowi dapat menjadi pintu masuk bagi Cina untuk menyalurkan bantuan ekonomi yang signifikan. Sehingga dapat mengancam kepentingan geopolitik dan ekonomi Amerika dan UE di kawasan asia tenggara pada khususnya.
Bila Indonesia kelak jatuh kedalam cengkraman Cina, tentu negara Asean juga akan berantakan, dan Cina sepenuhnya dapat mendominasi kawasan ini seperti Amerika Serikat di negara-negara Amerika Latin.
Sebagai perairan yg strategis, Laut Cina Selatan yang menjadi tempat lalu-lalang kapal-kapal barang dan tanker internasional dan mengangkut barang senilai $ 5 triliun per tahun jelas akan terganggu. Termasuk juga memberi pekuang bagi akses Cina ke Samudera Hindia. Cina telah lama berharap dapat menguasai wilayah ini.
Sejak 2013, Cina telah menanamkan investasinya dengan kebijakan “One Belt One Road” dengan tujuan mempromosikan kerjasama ekonomi dengan negara Asean (Jenn-Jaw Soong, China’s One Belt and One Road lnitiative Meets Asean Economic Community, Routledge, 2018).
Namun, dominasi ini yang dibungkus “kerjasama” ini secara jelas dapat memberikan kekuatan ekonomi, politik, dan militer bagi Cina berlipat ganda dengan mengorbankan kepentingan strategis Amerika dan UE di kawasan Asean.
Bahaya Pilihan
Di pihak lain, menghadapi merosotnya perdagangan internasional akibat covid-19 dan perang dagang Cina-Amerika telah membuat kemampuan Amerika dan UE dalam membantu ekonomi Indonesia menjadi terbatas. Sehingga dapat mempengaruhi kepentingannya di negara Asean.
Terlebih lagi, pemerintahan AS di bawah Presiden Donald Trump cenderung memilih kebijakan yang benar-benar menguntungkan AS dan mengurangi perhatian pada issue yg tidak strategis (isolasionis).
Apa yg dilakukan AS di sejumlah negara misalnya Afghanistan, Suriah dan lrak menjadi indikasinya. Sementara pada sisi lain, AS juga menekan negara Arab Teluk dan NATO untuk meningkatkan belanja militernya, menghapus sebagian bantuan pada lembaga-lembaga PBB, dan memaksa Korsel dan Jepang meningkatkan belanja pertahanannya sebagai kompensasi bagi kehadiran puluhan ribu tentara Amerika di wilayah mereka.
Sekalipun belum terlihat nyata dampaknya, namun kebijakan isolasionis Amerika dikuatirkan dapat melemahkan posisi UE di panggung internasional vis a vis Cina, khususnya di Asean.
Terlebih lagi, dengan ukuran ekonomi yang lumayan besar dan terus tumbuh ekonominya di saat ekonomi di banyak kawasan melemah, Asean dengan sendirinya menjadi pasar yang menggiurkan bagi UE. Apalagi negara-negara Asean dipandang sebagai kawasan yang stabil dengan akumulasi penduduk yang cukup besar dan potensi ekonomi yang menggiurkan.
Yang menjadi soal adalah utang luar negeri Indonesia sudah menggunung. Dengan situasi ekonomi yang semakin terpuruk, mau tidak mau lndonesia membutuhkan piutang baru berjangka panjang dalam jumlah besar dengan bunga rendah. Disinilah peran yang dapat dimainkan oleh AS dan UE untuk menyelamatkan Indonesia agar tidak semakin terpuruk dan jatuh ke pelukan Cina.
Salah satu yang dilakukan oleh IMF adalah menyediakan bantuan dana puluhan miliar dollar untuk membantu negara2 berkembang keluar dari krisis pandemi covid-19. Namun pada sisi lain, Cina melihat krisis ekonomi di Indonesia sebagai peluang untuk masuk ke dalam kebijakan perekonomian nasional lebih mendalam dengan menawarkan bantuan yang kompetitif dengan tawaran IMF. Tentu hal ini menjadi peluang dan mana yang dipilih Indonesia?
Melihat rezim Jokowi yang menjadikan Cina sebagai mitra strategis dan membangun Poros Cina-Indonesia, tentu tawaran Cina yang lebih dipilih. Yang menjadi soal, isu Cina pada dasarnya sudah lama menjadi sangat sensitif di kalangan masyarakat terutama akibat kebijakan rezim Jokowi yang pro-Cina cenderung merugikan pemerintah dan buruh Indonesia belakangan ini.
Kalau rezim memutuskan meminjam dari Cina, hal itu dapat menggoncang kekuasaannya. Hanya saja, Cina dianggap sebagai negara paling siap membantu Indonesia, baik karena sudah terbebas dari korona, kapasitas ekonominya yang cukup besar maupun mampu mengakomodasi ekspor dari Indonesia. Termasuk kesiapan mengirim berbagai kebutuhan yang dibutuhkan , khususnya bahan baku bagi industri Indonesia.
Meminjam dari IMF juga tidak populer. Lembaga ini, dengan kebijakan2 yang sangat kapitalistik, punya track record buruk di Indonesia. Publik masih ingat bagaimana nasehatnya kepada rezim Soeharto pada 1998 justru mengakibatkan kejatuhan orde baru. Pengalaman buruk dengsn IMF ini juga dialami oleh banyak negara di masa lalu. Terutama terkait dengan menjalankan kebijakan lembaga itu (IMF) sebagai syarat pinjaman.
Ekonom senior Rizal Ramli (RR) menentang kebijakan IMF yang dipaksakan kepada rezim Soeharto. Nubuah RR bahwa rezim akan jatuh akibat menerima terapi ekonomi dari IMF terbukti benar. Sekarang pun RR menentang kemungkinan Sri Mulyani Indrawati meminjam dari lembaga itu. Pihak mana yang akan dipilih SMI? Sehingga Rezim Jokowi menghadapi dilema.
Cina ataukah IMF? Apapun pilihannya, kedua pihak tidak populer di mata rakyat. Sementara tidak meminjam pun menjadi masalah bagi pemerintah. Bagaimana harus menjaga ekonomi tetap operasional tanpa melebarkan defisit hingga 5% yang akan ditutupi dengan utang baru?
Menghindar Kesalahan
Langkah paling baik adalah Pemerintah perlu segera menghentikan proyek mercusuar, tidak menambah utang baru, dan menerapkan jaring pengaman sosial secara universal. Meski langkah ini bisa saja menimbulkan kesulitan baru bagi rezim, tapi kalaupun rezim jatuh karena kebijakan yg lebih memihak pada rakyat, maka masih lebih baik ketimbang bertahan pada kesalahan atau malah jatuh karena kebebalannya.
Rasanya sekarang ini pihak Cina dan Amerika sedang mengeksplorasi opsi-opsi apa yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan kepentingannya di Indonesia. Termasuk memilih-milih rezim alternatif yang dapat dipilih kalau rezim Jokowi sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Masyarakat dapat mengamati bagaimana kebijakan Amerika, UE, dan Cina pada hari-hari ini.
Termasuk pula mengamati gerakan oposisi dalam negeri. Keduanya akan memberi petunjuk ke mana krisis Indinesia ini akan mengarah. Yang jelas, jangan sampai terjadi kesalahan pilihan. Rakyat pasti tidak bisa menerimanya. Wallahu’alam bissawab!
Smith Alhadar, Direktur Eksekutif The Institute for Democracy Education