Dalam acara podcast channel YouTube milik Pakar Hukum Tata Negara Refli Harun, Jumat (30/9/2022), ekonom senior Rizal Ramli menilai cara kejar pembangunan yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sama dengan Mao Zedong di China.
semarak.co-Kondisi seperti ini, Rizal Ramli memang memberatkan rakyat karena upah minimum buruh mengalami kenaikan hanya sebesar 1,09%, namun inflasi sudah mengalami kenaikan sebesar 11,5%.
Dunia saat ini semakin berwajah bipolar dengan adanya pertarungan kekuatan Amerika Serikat (AS) bersama sekutunya dengan kekuatan China dan Rusia. Akibat kekuatan bipolar itu dunia jatuh dalam perang baru, bentuknya bermacam-macam, yaitu perang keuangan, perang sanksi, perang siber, perang teknologi, perang komoditi seperti perang pangan.
“Perang tersebut berdampak bagi semua negara, termasuk Indonesia,” tegas Bang RR, sapaan singkat Rizal Ramli dilansir Pikiranmerdeka.com – Sabtu 1/10/2022). Kemudian Bang RR mencontohkan harga pangan yang saat ini naik, akibat perang antara Rusia dan Ukraina.
“Karena itu walaupun inflasi di dalam negeri baru mencapai 5 persen (inflasi umum) namun inflasi di sektor pangan (makanan) sudah mencapai 11,5%. Hal itu terjadi sebelum keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
Kini, setelah BBM naik maka inflasi makanan hingga akhir tahun bisa mencapai 15%. Kondisi seperti ini, menurut RR memang memberatkan rakyat, karena upah minimum buruh mengalami kenaikan hanya sebesar 1,09%, namun inflasi sudah mengalami kenaikan sebesar 11,5%.
“Jadi, pemerintah kita saat ini sadis banget. Karena itu saya menyebutnya kenaikan harga BBM ini sebagai program pemiskinan massal oleh pemerintah,” ucap Rizal Ramli yang mantan Menteri Ekonomi dan Industri era Presiden KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dan Menteri Kemaritiman di periode pertama Presiden Jokowi.
Mantan Kepala Bulog ini pun ceritakan sejarah pembangunan negara China era pemerintahan Presiden Mao Zedong, bahwa untuk mengejar kemajuan negara barat, Presiden Mao mulai membangun infrastruktur.
Pada Januari 1958, Mao mengeluarkan kebijakan Lompatan Besar ke Depan (Great Leap Forward) untuk meningkatkan produksi industri dan pertanian. Dalam program itu mengerahkan 75.000 orang untuk menggarap setiap sawah. Setiap keluarga mendapat keuntungan dan sebidang kecil tanah.
Mao berharap kebijakannya itu membuat China maju dalam beberapa puluh tahun kedepan. Awalnya, kebijakan itu terlihat menjanjikan. Namun, tiga tahun kemudian, banjir dan gagal panen mulai memberi kesulitan.
Alhasil produksi pertanian tidak sesuai dengan ekspektasi, dan laporan produksi masif, ternyata palsu. Kelaparan mulai menjalar. Sepanjang 1959 hingga 1961, dilaporkan terdapat 40 juta orang tewas akibat kelaparan. Akibat kegagalan Lompatan Besar ke Depan, Mao mulai terpinggirkan pada 1962 dengan rivalnya yang kemudian mengambil alih kekuasaan.
Proyek tersebut ternyata mengorbankan rakyatnya sendiri, tak sedikit dana yang tersedot. Kemudian Mao berkesimpulan bahwa pembangunan tersebut gagal oleh akibat kegagalan birokrasi China. Karena itu, dia membuat program baru yaitu dengan melakukan revolusi kebudayaan China.
Hal yang sama, hari ini, menurut RR, apa yang dilakukan Mao juga dilakukan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo. Gus Ramli (Rizal Ramli) sebut presiden Jokowi jor-joran membangun proyek infrastruktur walau dengan berutang sekalipun. Semakin hari utang kita semakin bertambah.
Bunga cicilan saja saat ini mencapai Rp405 T, cicilan pokok Rp400 T, jadi tahun ini kita harus membayar utang sebesar Rp805 T. Jumlah ini sekitar 1/3 dari APBN. Itu berarti utang kita jauh lebih besar dari dana untuk sektor pendidikan yang mencapai 20 persen, lebih besar dari dana infrastruktur, dan lebih besar dari gaji PNS, TNI dan Polisi.
“Untuk membayar bunga saja Jokowi harus pinjam dari negara lain. Inilah yang saya sebut dengan ‘gali lubang tutup jurang. Untuk membayar utang tersebut, pemerintah menemukan jalan pintas dengan menaikkan harga seperti harga listrik, BBM, pajak. Sebetulnya hal ini dilakukan untuk menutup bolong sehingga bisa menyicil utang tersebut, jadi bukan untuk mengurangi subsidi,” ucapnya.
“Poin saya adalah sejarah Mao Zedong yang mengorbankan kesejahteraan rakyat China tersebut juga dilakukan oleh pemerintahan kita saat ini. Pemerintah banyak menggenjot proyek infrastrukur di dalam negeri, yang sebenarnya jauh dari efisien,” ungkapnya.
“Seperti proyek Bandara Kertajati dan beberapa proyek jalan tol. Namun proyek tersebut terus dibiarkan berlangsung karena para pejabat kita kebagian untung minimal 20 persen. Namun mereka lupa berpikir bahwa ujungnya rakyat yang menjadi korban dalam proyek tersebut,” demikian RR. (net/prc/smr)
sumber: pikiranmerdeka.com/Sep 30, 2022 dari Indonesia.id di WAGroup Pejuang Subuh (postSabtu1/10/2022/)