Oleh Aji Dedi Mulawarman *
semarak.co-Tahun 2020 banyak menyisakan kegaduhan, salah satu yang paling fenomenal adalah kampiun demokrasi yang ternyata anti demokrasi, Amerika Serikat. Negeri ini berada di krisis politik di tengah terjangan pandemi covid-19 kelas wahid sesuai status yang selalu ingin disematkan di dirinya sebagai negara super power, disambut demonstrasi anti demokrasi besar-besaran hingga tumbanglah Trump.
Tak berselang India yang terhempas tsunami pandemi pula setelah kecerobohannya menyatakan diri berhasil menembus batas memerangi covid-19, kematian mencapai 3000 orang per hari dan positif covid-19 lebih dari 350.000 orang per hari.
Tidak demikian dengan China yang di akhir tahun 2019 dianggap sebagai pusaran awal dan pernah menempati posisi pertama sebagai negeri pandemik dunia, di kala Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Perdana Menteri India Narendra Modi bertemu di India 24 Februari 2020.
Sekarang posisi terbalik, China relatif bebas dari pandemi, tidak demikian Amerika Serikat dan India yang bercokol sebagai juara covid dunia nomor 1 dan 2. Sebuah rekor tak tertandingi. Tak terbayangkan bagaimana kegaduhan di negeri-negeri itu.
Negeri kita juga tak ketinggalan kegaduhannya. Berita nasional yang didominasi rekam jejak covid-19 hampir di seluruh negeri, meski secara akumulatif Jakarta adalah awal dan pusat pandeminya bahkan hingga kini. Bukan hanya pusat pandemi, Jakarta juga merupakan pusat kegaduhan karena kesibukan KPK menangkapi politisi dan koruptor.
Kota-kota besar lain seakan mengikuti mekanisme kegaduhan itu, seperti Bandung, Semarang, Jogja, Surabaya, Medan, Makassar, dan lainnya. Selain berita kegaduhan politik, berita ekonomi seakan mengikutinya. Bagaimana tidak, di tengah pandemi yang entah kapan selesainya, ekonomi kita seakan anjlok tak karuan.
Belum lagi di tengah-tengah berita politik dan ekonomi yang runyam, para politisi, partai politik hingga pejabat publik tetap saja sibuk menyiapkan diri dan membedaki diri dengan status yang harus terkerek naik citranya melalui berbagai cara. Pokoknya, menuju 2024.
Semua berebut tulang belulang, meninggalkan nasib anak-anak dan pemuda yang kehilangan masa terbaiknya sejak 2020 hingga sekarang. Bagaimana tidak? Mereka hanya bercengkerama via layar smartphone atau laptop dalam merengkuh pendidikan yang jadi sangu masa depannya, yang entah itu akan menjadi cacat sejarah atau tidak nanti.
Tidak hanya itu, tiap hari tetap saja penipuan kelas teri hingga kelas kakap berseliweran di berita-berita, mulai dari maling yang digebukin massa, ibu renta yang dilaporkan oleh anaknya sendiri karena menjual tanah waris, pembunuhan klasik di hotel, mutilasi, dan entah kejahatan apalagi.
Tak ketinggalan, entah itu memang stigma terorisme atau memang beneran, seakan digoreng oleh situasi yang gaduh, terutama di media sosial, seliweran berita di whatsapp group, facebook, twitter, dan media sosial lainnya, saling menyatakan kebenarannya sendiri.
Mahasiswa dan pemuda di mana? Entahlah, semoga mereka tidak sedang lelah dan berkeluh kesah atau tercebur pada pragmatisme para seniornya di gedung dewan dan pendopo atau istana manapun. Kalaupun ada, cuma update siaran pers yang tak bergigi taring. Apa maunya, entahlah. Akademisi dan intelektual juga entah ke mana.
Meskipun begitu masih ada dunia kebahagiaan yang tidak peduli dengan kegaduhan itu. Biasanya whatsapp group kelompok reuni (entah itu TK, SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi).
Grup tersebut seakan hidup di dunianya sendiri, membincangkan masa lalu, bertukar keceriaan, olok-olok sesuai level pendidikannya, hingga belasungkawa kematian sanak saudara.
Dunia nyata yang tidak terpengaruh kegaduhan kecuali terkadang diganggu oleh pamer wajah suci siapapun di media sosial yang tertangkap di smartphone mereka, toh para pedagang pasar, masyarakat perumahan, masyarakat desa tetap saja menikmati dunianya yang bebas gaduh politik dan ekonomi, bahkan pandemi sekalipun.
Pertanyaannya kemudian, di mana kebenaran sejati kebaikan sejati? Bisa jadi, jawabannya entahlah. Seakan kita sedang diminta memilih, menikmati dunia gaduh atau jadi wong cilik saja, dengan kriteria masalahnya yang cilik pula, tak perlu citra, topeng, berebut kuasa kursi maupun kuasa anggaran negara.
Ukuran moral baik universal maupun agama rasa-rasanya hanya jadi penyedap rasa, bukan yang substansi dan jadi pusat kebenaran itu sendiri. Semoga tidak begitu. Atau cukuplah mereka bercengkerama menikmati puasa, tarawih, dan pengajian, menjelang hari raya yang suci?
Sepertinya menjadi suci pasca lebaran wong cilik dengan lebih banyak senyum para malaikat daripada di pusat kuasa dan materi para politisi dan penguasa. Atau bisa jadi para malaikat sedang kebingungan karena kegaduhan ratusan juta manusia Indonesia di tengah miliaran masyarakat dunia, dan mereka sedang pelit senyum.
Apakah dunia kita saat ini, era ini, masa ini, adalah dunia yang memang gaduh? Ternyata manusia memang tidak pernah belajar dari sejarah dan kebodohan seperti keledai yang masuk ke lubang yang sama atau kucing selalu mengejar ekornya sendiri.
Mengapa Allah memberi titipan surat pendek kepada manusia ayat sepanjang masa yang berlaku kapanpun dan di manapun melalui Rasulullah, Muhammad SAW? Surat Al-Ashr menyebutkan:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling menasehati supaya menaati kebenaran dan saling menasehati supaya menetapi kesabaran.”
Bila merujuk pada asbabun nuzul surat pendek ini, orang Arab jahiliyah di masa Mekkah 1400 tahun lalu punya kebiasaan/tradisi bersantai di waktu Ashar (sore hari menjelang pergantian siang menuju malam).
Mereka bercengkerama dan bercanda, saling menyombongkan diri dan kelompoknya, kekayaannya, berbasis kuasa dan keturunan, saling menyinggung hingga berujung perselisihan, permusuhan, bahkan tak jarang perkelahian.
Pusat dari perseteruan adalah egosentrisme, kesombongan, dan keduniaan. Keduniaan atau istilah orang Jawa “kadonyan” berkubang pada kuasa (politik) dan kekayaan (ekonomi) itulah yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai konsep kerugian.
Wajar bila kemudian ayat ke 3 surat Al-Ashr mengatakan pusat dari penyelesaian masalah dunia bukan politik dan ekonomi, tetapi moralitas berkeimanan yang disebut kesalehan, dalam kerangka kebenaran dengan cara saling menasehati penuh kesabaran. Itulah ajaran kebudayaan sejati.
Rasa-rasanya mengedepankan ajaran moral dan kebenaran yang merupakan pusat kebudayaan sejati memang bukan lagi pilihan atas kenyataan kegaduhan politik dan ekonomi atau kepasrahan hidup.
Ajaran moral dan kebenaran sejati sebagaimana ditegaskan Pancasila dari Sila 1 hingga 5 yang didasari ajaran agama tidak lagi jadi mainan kata-kata. Ya, kita memang tidak sedang melecehkan realitas, karena memang Allah tidak sedang bermain dadu negeri ini, dunia ini, bahkan semesta ini.
Praksis kebaikan adalah kemustian. Semua hal berkenaan dunia kita perlu dikembalikan ke arah itu, bukan politik atau ekonomi yang jadi pusarannya. Politik dan Ekonomi saya kira hanyalah konsekuensi logis perilaku kebenaran dan kebaikan sejati. Kalau tidak kita sama saja dengan Arab Jahililiyah. Selamat menjemput sepuluh hari maghfiroh menuju Idul Fitri.
*) penulis adalah Ketua Dewan Pembina Yayasan Peneleh Jang Oetama/Dosen Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Malang, 30 April 2021 – 19 Ramadhan 1442
sumber: https://koranpeneleh.id/2021/05/01/dunia-gaduh/ di WAGroup Sertifikat Seminar (post Senin 3/5/2021)