Dua Tahun Genosida Gaza dan Kematian Hukum Internasional

Grafis tentang suasana pertemuan tingkat tinggi di PBB yang membahas solusi dua negara Israel-Palestina Senin, 22 September 2025, di markas besar PBB Amerika Serikat. Foto: internet

Oleh Fahmi Salim, *)

Semarak.co – Dua tahun perang di Gaza bukan hanya kisah kehancuran kemanusiaan, tetapi juga cermin runtuhnya tatanan global yang dibangun atas nama hukum dan moralitas. Presiden Prabowo sangat diharapkan rakyat Indonesia menegakkan kembali hukum internasional di KTT Sharm el-Sheikh, Mesir.

Bacaan Lainnya

Dua tahun telah berlalu sejak Israel melancarkan agresi militer besar-besaran terhadap Jalur Gaza—sebuah perang yang oleh banyak kalangan disebut bukan sekadar operasi militer, tetapi genosida terhadap rakyat Palestina.

Selama dua tahun itu, dunia menyaksikan kehancuran sistematis terhadap manusia, infrastruktur, dan nilai-nilai kemanusiaan. Namun, sebagian besar negara Barat memilih diam, atau lebih buruk lagi, memberikan legitimasi atas kekerasan tersebut dengan dalih “hak membela diri”.

Di balik reruntuhan Gaza, lahir kesadaran global baru. Darah Palestina yang tertumpah membuka mata dunia terhadap hakikat Israel: bukan lagi negara kecil yang hidup dalam ketakutan dan kepungan bangsa Arab dan Persia, tetapi kekuatan yang telah menginternalisasi semangat imperium.

Israel kini tampil sebagai kekuatan yang ingin menata ulang Timur Tengah sesuai kepentingannya, dengan logika lama yang melandasi pendiriannya sendiri: kekerasan, penaklukan, dan pengusiran. Narasi lama tentang Israel sebagai “negara kecil yang dikepung musuh” telah runtuh.

Perang Gaza mengungkap transformasi Israel dari negara defensif menjadi kekuatan ekspansionis. Ia tidak lagi mempertahankan diri, melainkan berupaya menundukkan lingkungan strategisnya—dari Lebanon, Suriah, hingga Iran—melalui strategi militer preemptif dan dominasi politik.

Setelah melemahkan Hizbullah di Lebanon, Israel mempercepat keruntuhan rezim Suriah yang baru dengan serangan udara terhadap fasilitas militer, menjadikan negeri itu tetangga yang tidak lagi berpotensi mengancam.

Di Iran, ambisi nuklir dijadikan dalih untuk rencana perang pencegahan yang diskenariokan bersama Washington. Bahkan Yaman, yang menunjukkan solidaritas terhadap Gaza, menjadi sasaran serangan.

Semua ini menegaskan bahwa perang Gaza bukanlah episode lokal, melainkan bagian dari proyek geopolitik“Israel Raya”: menciptakan tatanan kawasan baru yang tunduk pada supremasi militer Tel Aviv.

Erosi Hukum Internasional

Agresi Israel terhadap Gaza juga mengungkap paradoks besar dalam sistem internasional modern. Dunia yang mengaku menjunjung “tatanan berbasis aturan” justru memberi impunitas terhadap pelanggaran paling nyata terhadap hukum perang.

Ketika kekuasaan menggantikan hukum, legitimasi moral peradaban internasional pun runtuh. Pada minggu-minggu pertama perang, Amerika Serikat dan sebagian besar negara Eropa memberikan Israel “izin moral” untuk menghancurkan Gaza atas nama membela diri.

Tetapi pembelaan diri itu menjelma menjadi kebijakan penghancuran total terhadap penduduk sipil: rumah sakit, lembaga PBB, bahkan konvoi kemanusiaan menjadi target. Dengan dalih melawan terorisme, Israel sesungguhnya sedang melawan hukum itu sendiri.

Perang di Gaza bukan hanya serangan terhadap rakyat Palestina, tetapi juga terhadap ide dasar hukum internasional—bahwa kekuatan tidak boleh menggantikan keadilan. Dan ketika hukum melemah, yang berlaku hanyalah hukum rimba.

Guncangan Geopolitik dan Pergeseran Regional

Dampak geopolitik perang Gaza melampaui batas wilayah Palestina. Agresi Israel terhadap Qatar, misalnya, menjadi titik balik kesadaran dunia Arab terhadap ancaman nyata Israel terhadap stabilitas kawasan.

Untuk pertama kalinya, Konferensi Arab-Islam di Doha menunjukkan solidaritas penuh, bukan hanya untuk Gaza tetapi juga untuk kedaulatan negara-negara Arab yang merasa terancam. Bahkan Arab Saudi—yang selama bertahun-tahun menjaga jarak dalam isu Palestina—membuat kejutan dengan menandatangani perjanjian pertahanan bersama Pakistan.

Langkah ini mencerminkan pergeseran kalkulasi keamanan regional: Washington bukan lagi satu-satunya penjamin stabilitas. Kepentingan Israel terbukti lebih diutamakan daripada kepentingan sekutunya sendiri. Di Eropa, opini publik bergerak cepat.

Demonstrasi besar-besaran di London, Paris, dan Berlin menekan pemerintah untuk mengambil sikap moral. Israel kini dilihat bukan sebagai korban, tetapi sebagai pelaku kejahatan kemanusiaan tanpa batas.

Tekanan publik ini mendorong sejumlah negara Eropa Barat secara terbuka mengakui Negara Palestina—sebuah langkah yang menandai perubahan geopolitik signifikan setelah dua tahun genosida Gaza.

Amerika dan Ilusi Perdamaian

Meskipun Majelis Umum PBB tahun ini kembali menegaskan hak rakyat Palestina atas kemerdekaan, peran dominan dalam menghentikan perang tetap dipegang Amerika Serikat. Washington memosisikan diri sebagai mediator, tetapi pendekatannya lebih menekankan ancaman kekuatan dan janji “utopia Gaza yang damai” ketimbang keadilan politik yang sejati.

Trump dengan cerdik memanfaatkan situasi dunia yang berubah total, untuk ajukan proposal damai dan selamatkan ‘wajah buruk’ Israel di panggung diplomasi internasional.

Perbedaan pendekatan ini mencerminkan dua pandangan dunia yang bertarung: antara hukum internasional yang mencari kebenaran melalui keadilan, dan kekuasaan yang memaksakan kekuatan sebagai kebenaran itu sendiri.

Dalam pertarungan moral inilah, darah Palestina menjadi cermin nurani global—siapa yang benar-benar berpihak pada kemanusiaan, dan siapa yang berlindung di balik jargon perdamaian untuk menutupi kejahatan perang.

Kehadiran Presiden Prabowo Subianto di KTT Perdamaian Gaza di Sharm el-Sheikh pada Senin (13/10/2025) yang akan dihadiri 20 pemimpin dunia dan Sekjen PBB harus dipastikan untuk mengawal berjalannya alur hukum internasional, bukan logika kekuatan, dalam menghadirkan perdamaian Gaza.

Solidaritas global terhadap darah dan air mata Palestina yang mengalir deras dua tahun ini harus terus digaungkan dan tidak boleh berhenti, untuk mengawal logika hukum internasional agar menang melawan arogansi AS dan klaim ras pilihan Tuhan ‘the Choosen People’ yang tak tersentuh hukum.

Darah yang Tak Sia-sia

Dua tahun genosida Gaza telah menyingkap kebohongan besar yang disembunyikan sistem internasional selama 8 dekade sejak PBB berdiri. Israel kini tampil di mata dunia sebagai negara agresor yang kehilangan batas moral.

Sementara rakyat Palestina, dalam penderitaannya, justru memancarkan kebenaran yang tak bisa dibungkam. Kebiadaban Israel yang disiarkan secara langsung ke seluruh dunia justru menyalakan solidaritas universal yang tak bisa dipadamkan.

Bagi banyak orang yang dulu bahkan tidak tahu di mana Gaza berada, kini mereka tahu—bukan sekadar di peta, tetapi di hati nurani. Darah Palestina tidak sia-sia. Ia telah menulis babak baru dalam sejarah kemanusiaan: bahwa kebenaran mungkin terluka, tetapi tidak pernah kalah.

Jakarta, 13 Oktober 2025

*) Ustadz yang sering tampil di Damai Indonesiaku TVOne dan Direktur Baitul Maqdis Institute

 

Sumber: republika.co.id, Senin 13 Oct 2025 10:59 WIB di WAGroup

Pos terkait