Dorong BPOM Miliki Kewenangan Eksekutorial, DPR Kebut RUU Pengawasan Obat dan Makanan

Anggota Badan Legislasi DPR Herman Khaeron (kedua dari kiri) menyampaikan pemaparan sementara Wakil Ketua Komisi IX DPR Emanuel Melkiades Laka Lena (kanan) berbincang dengan Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra (tengah) dalam diskusi Forum Legislasi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa 15 November 2022. Foto: internet

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Herman Khaeron mengungkapkan salah satu target pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pengawasan Obat dan Makanan (RUU POM) adalah perlunya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memiliki kuasa lebih luas dalam menindak produksi obat dan makanan yang asal-asalan.

semarak.co-Herman Khaeron menekankan produksi obat yang sembarangan adalah extraordinary crime sehingga perlindungan juga harus extraordinary. Oleh karena itu, perangkat hukum berupa UU yang dilahirkan juga UU terhadap extraordinary crime.

Bacaan Lainnya

“Saya khawatir kasus-kasus, termasuk gagal ginjal ini terjadi terus karena kita karena faktor lupa, toleransi, kemudian ada isu lain pada akhirnya isu ini menjadi hilang kita memberikan bobot extraordinary crime,” papar Herman dalam diskusi Forum Legislasi di Media Center MPR/DPR/DPD RI, Gedung Nusantara III, Senayan, Jakarta Selatan, Selasa siang (15/11/2022).

“Kami akan merekomendasikan pada pembahasan terhadap UU perlindungan obat dan makanan dan perlindungan lainnya terhadap konsumen,” imbuh Herman pada diskusi dengan tema DPR kebut RUU Pengawasan Obat dan Makanan diselenggarakan Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama Biro Pemberitaan DPR RI.

Politisi Partai Demokrat ini berharap keberadaan UU POM nanti bisa meminimalisir penyalahgunaan izin peredaran obat, peredaran obat palsu, dan persoalan lain terkait produksi dan distribusi obat dan makanan. Apalagi, persoalan aktual kasus gagal ginjal akut yang terjadi pada anak di Indonesia, makin menambah DPR RI untuk segera menuntaskan pembahasan dan pengesahan RUU POM.

“Jangan lagi ada orang jual obat tanpa izin Kemenkes dan BPOM. Apalagi kalau sekarang beli obat di online shop, beli di online shop itu gampang dan cepat datang kadang tapi belum tentu itu obat yang benar, asli. Bisa jadi ini obat yang menyesatkan, bukan menyehatkan,” jelas Herman Khaeron.

Herman Khaeron yang juga anggota Komisi VI DPR RI mengatakan dalam UU saat ini, BPOM tak punya hak eksekutorial yang memungkinkan mereka mengeksekusi pelanggaran. Selain itu, apabila terjadi pelanggaran berujung penyelidikan, dan kemudian ditemukan bukti awal terjadinya kesalahan, banyak hal yang bisa membiaskan persoalan itu. Sehingga suatu persoalan kerap tak ada kesimpulan.

Ia berpendapat apabila BPOM punya kuasa hak eksekutorial sejak proses produksi, persoalan tak akan berujung bias. “UU yang sekarang hanya memberikan pendelegasian secara umum, semestinya lebih detail. Tahapan-tahapan untuk sampai kepada hak eksekutorial itu juga diberikan tindakan-tindakan yang lebih detail,” paparnya.

Dilanjutkan Herman, Ini akan direkomendasikan nanti dalam UU yang melindungi terhadap konsumen. “Selalu kita dibenturkan dengan UU lainnya, sehingga dalam perspektif adu hukum, selalu kalah di dalam melakukan tindakan hukumannya,” tuturnya.

Seperti KPPU, rinci dia, mereka diberikan hak eksekutorialnya apa? Hak eksekutorial terhadap perdatanya, bukan terhadap unsur pidananya. Sehingga yang bisa dia lakukan adalah hukuman denda, padahal bisa saja pada setiap pelanggaran ada unsur pidana yang menyertainya.

“Menurut saya juga, kalau sekarang kan kita kadang-kadang selalu dibatasi oleh UU pidana yang sudah diatur dalam KUHAP misalkan. Kalau memang urgensinya perlu kita cantumkan, tindakan hukum atau pasal-pasal pidana yang lebih ekstrem ya cantumkan saja,” tegas dia.

Pembicara berikutnya Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena. Politisi Partai Golkar ini mengatakan RUU POM sudah dibahas oleh keanggotaan DPR periode lalu. Sempat terkatung-katung lalu pada Program Legislasi Nasioal (Prolegnas) Prioritas tahun ini masuk kembali.

“Sehingga kami membahas lagi dari awal RUU POM ini. Dari berbagai kajian dan studi banding, DPR menjadikan pengelolaan obat dan makanan di eropa sebagai salah satu rujukan. Seperti di Belanda ada pusat dari pengawasan farmasi sebagai pusat farmasi di Eropa dan di Itali yang berpusat di kota Parma sebagai pusat makanan di Eropa,” ujarnya.

Ditambahkan Melki, “Kenapa kami lihat Eropa karena, kami melihat bahwa karena dia melingkupi beberapa negara yang bersatu di Uni Eropa mungkin bisa menjadi salah satu contoh bagi kita di sini. Saya tidak memungkiri, pembahasan RUU POM bertujuan untuk penguatan kelembagaan BPOM.”

Karena Badan POM dalam kedudukan, terang dia, hukumnya masih menggunakan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017, tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan. “Kita ingin BPOM nantinya di tingkat pusat memastikan pengawasan obat dan makanan,” jelas Melki sapaan akrabnya.

Dilanjutkan Melki, “Termasuk minuman, kosmetika dan alat obat tradisional. Juga bahan obat alami ekstrak. Jadi akan dibuka ruang lebih longgar agar Badan POM di tingkat pusat. Kemudian di daerah punya balai besar POM.”

Saat ini, Komisi IX telah mengajukan RUU POM ke Badan Legislatif (Baleg) DPR. Nantinya, RUU POM yang telah diharmonisasi akan diajukan ke Badan Musyawarah (Bamus) DPR. “Nanti kami ajukan kepada Badan Musyawarah. Jadi kalau sudah selesai dari Baleg kami akan mengajukan kepada Badan Musyawarah DPR untuk nantinya bisa kita jadwalkan,” ucapnya.

“Mudah-mudahan dalam teori ini masih bisa lolos, saya kira bisa ya? Kurang lebih 30 hari kita di Baleg itu. Jadi sebelum kita punya masa sidang ini ditutup, undang-undang ini sudah bisa masuk di paripurna dan bisa disetujui di DPR RI,” sambungnya.

Melkiades menjelaskan, pihaknya akan mengirim surat ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar bisa mulai menugaskan kementerian atau lembaga terkait untuk bisa bersama membahas RUU POM. Semua materi yang dibahas tidak lepas dari apa yang menjadi dasar hukum BPOM hari ini.

Adapun dasar hukum dari BPOM adalah Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan. “Jadi sampai saat ini Badan POM itu bekerja, dudukan regulasinya masih pada Perpres Nomor 80 Tahun 2017,” ucap Melkiades.

Dalam peraturan tersebut, Melkiades membeberkan pengawasan obat dan makanan bertujuan untuk menjaga agar obat yang dikonsumsi berkhasiat. Selain itu, juga melindungi masyarakat dari penyalahgunaan obat, termasuk memastikan kepastian hukum dan memastikan pengedaran obat dan makanan sudah mengalami pembinaan di BPOM hingga kementerian/lembaga.

“Jadi memang namanya pengawas obat dan makanan tapi yang termasuk dalam pengawasan tugas BPOM adalah memastikan juga mutu dan khasiat keamanan dari obat, makanan, termasuk minuman, kosmetik, dan juga obat tradisional. Sehingga memang jangkauan pengaturan RUU ini memang dia jangkauannya sangat luas nantinya,” jelasnya.

Sementara itu, kata Melkiades, DPR ingin memastikan bahwa BPOM nantinya bisa melakukan pengawasan terhadap obat, makanan, minuman, kosmetika, dan alat obat tradisional. Dengan demikian, BPOM juga meliputi pengawasan terhadap obat, bahan obat, bahan obat alami ekstrak, kosmetika, suplemen kesehatan pangan, minuman, dan lain-lain.

Dewan Pakar IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia) dr. Hermawan Saputra menekankan pentingnya pengawasan ketat terhadap produksi dan distribusi obat dan makanan karena sangat berkaitan dengan potensi malproduksi, maldistribusi atau malkonsumsi seperti kasus kasus gagal ginjal akut pada anak.

Pada kasus gagal ginjal pada anak akibat malkonsumsi itu, pihaknya ingin menelusuri fenomena ini di lapangan, maka harus ada penyelidikan yang menyeluruh dan mendapatkan penyebab dari gagal ginjal akut pada anak.

Meski indikasi penyebab sudah disampaikan oleh Kementerian Kesehatan, tentang kemungkinan ketercemaran obat produk farmasi tertentu, yang menyebabkan adanya keracunan namun penyebab pastinya hingga saat ini belum diketahui.

“Yang menarik ketika kami dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia mendorong agar kasus ini menjadi KLB, tidak ada yang berani mengangkatnya menjadi KLB. Alasan karena dari sisi regulasi di Kementerian Kesehatan ada Peraturan Menteri Kesehatan yang mengatur penetapan KLB karena keracunan obat,” ujarnya.

Penetapan KLB hanya bisa ditetapkan apabila ada kejadian luar biasa penyakit menular atau yang berkaitan dengan keracunan pangan. “Ada turunan peraturan berkaitan dengan keracunan produk pangan, tapi tidak ada peraturan yang mengatakan tentang potensi KLB untuk keracunan produk farmasi atau obat-obatan,” terangnya.

Oleh karena itu, Hermawan berharap berbagai studi kasus seperti penyebab kasus gagal ginjal pada anak akibat keracunan obat bisa diakomodir oleh RUU POM nantinya. Sebab katanya pada dosis takaran yang tepat itu sangat powerful untuk menyembuhkan dan menjaga kesehatan, tetapi sedikit saja bergeser ke atas maka bisa menjadi racun.

“Tetapi tidak ada regulasi kita yang mengantisipasi tentang ini, berkaitan dengan potensi keracunan. Makanya berarti tidak ada yang berani mengatakan KLB untuk kasus gagal ginjal, padahal kasusnya bayangkan hampir 200 anak yang menjadi korban meninggal,” tegas Hermawan. (net/bpn/kpc/smr)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *