Dollar AS Ditinggalkan dalam Transaksi Bilateral, Bank Dunia Revisi Proyeksi Pertumbuhan RI Jadi Minus 2%

Karyawan yang di posisi teler menunjukkan uang rupiah dan dolar AS di Bank Mandiri Syariah (BSM), Jakarta, Senin (20/4/2020). Foto:indopos.co.id

Bank Indonesia (BI) dan bank sentral China People’s Bank of China (PBC) belum lama ini sepakat untuk melakukan transaksi perdagangan bilateral dan investasi langsung atau Local Currency Settlement (LCS) dengan menggunakan mata uang lokal kedua negara, yuan dan rupiah.

semarak.co– Kesepakatan yang diteken Gubernur PBC Yi Gang dan Gubernur BI Perry Warjiyo itu meliputi, penggunaan kuotasi nilai tukar secara langsung dan perdagangan antarbank untuk mata uang yuan dan rupiah

Bacaan Lainnya

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, dengan kebijakan itu berarti transaksi antarkedua negara tak lagi memakai dolar AS seperti yang sebelumnya kerap dilakukan.

“Dolar AS sendiri biasanya dipakai dalam transaksi antarnegara karena merupakan mata uang resmi di perdagangan internasional selama ini,” ujar Perry saat tanda tangan kesepakatan di Jakarta, Jumat (2/10/2020).

Bank sentral nasional meyakini kesepakatan ini akan memberi manfaat berupa penguatan pertukaran informasi dan diskusi secara berkala, meningkatkan kerja sama keuangan bilateral, hingga meningkatkan transaksi keuangan dengan mata uang lokal dari masing-masing negara.

Kendati begitu, kesepakatan untuk bertransaksi tanpa dolar AS sejatinya bukan kali pertama didapat Indonesia dari Tiongkok. Sebelumnya, ada beberapa negara yang sudah meninggalkan dolar AS untuk bertransaksi dengan Indonesia.

Sebelumnya, Thailand dan Malaysia sudah lebih dulu sepakat tak pakai dolar AS untuk transaksi dagang dan investasi dengan Indonesia. Pembayaran transaksi diganti dari dolar AS menjadi rupiah, baht Thailand, dan ringgit Malaysia.

Kesepakatan itu terjadi sejak penghujung 2017 atau saat BI dipimpin Agus Martowardojo. Kesepakatan dilakukan bersama Gubernur Bank of Thailand Veerathai Santiprabhob dan Gubernur Bank Negara Malaysia Muhammad bin Ibrahim kala itu.

“Kami juga melihat kalau menggunakan mata uang lokal akan lebih memudahkan karena langsung dikonversikan ke nilai tukar kedua negara, sehingga tidak perlu dikonversikan ke mata uang negara ketiga dolar AS,” ujar Agus kala itu.

Dari kemudahan itu, ia yakin kerja sama dagang dan investasi bisa semakin menggeliat ke depan. Selain itu, transaksi dengan mata uang lokal masing-masing negara bisa menumbuhkan diversifikasi produk dagang dan nilai perdagangan. Bagi sistem keuangan, gejolak nilai tukar masing-masing mata uang bisa lebih terjaga dan stabil.

Terakhir, bisa memberi dampak pada pertumbuhan ekonomi masing-masing negara. Masing-masing bank sentral pun sudah menunjuk bank di negara mereka untuk menjalankan kesepakatan ini.

Beberapa bank yang diterlibat di Indonesia, yaitu PT Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Central Asia (BCA), PT Bank CIMB Niaga, dan PT Bank Maybank Indonesia.

Sementara dari Thailand, ada Bangkok Bank PCL, Bank of Ayudhya PCL, Kasikornbank PCL, Krungthai Bank PCL, Siam Commercial Bank PCL, CIMB Thai PCL, dan UOB Thai PCL.

Sedangkan dari Malaysia, ada CIMB Bank Berhad, Malayan Banking Berhad, Hong Leong Bank Berhad, Malayan Banking Berhad, Public Bank Berhad, RHB Bank Berhad, Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ Malaysia Berhad, dan United Overseas Bank (UOB) Berhad.

Setelah Thailand dan Malaysia, Indonesia juga sudah meninggalkan dolar AS untuk transaksi dengan Jepang. Kesepakatan didapat melalui kesepakatan yang diteken antara BI dengan Kementerian Keuangan Jepang pada akhir 2019.

Di Indonesia, terdapat tujuh bank yang ditunjuk untuk pelaksanaan transaksi dengan mata yang lokal, terdiri dari MUFG Bank Ltd cabang Jakarta, PT Bank BTPN, PT Bank Mizuho Indonesia, BCA, Bank Mandiri, BRI, dan BNI.

Sementara itu, bank-bank di Jepang yang ditunjuk Kementerian Keuangan Jepang adalah Mizuho Bank Ltd, MUFG Bank Ltd, BNI cabang Tokyo, Resona Bank Ltd, dan Sumitomo Mitsui Banking Corporation.

Sementara itu Chief Economist for East Asia and Pacific Bank Dunia Aaditya Mattoo menyatakan, Indonesia merupakan salah satu negara di kawasan Asia Pasifik selain Filipina yang menurutnya belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan ekonomi dalam waktu dekat.

Pasalnya, nilai Mattoo, hingga saat ini Indonesia dinilai belum sukses dalam menangani pandemi.  Pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksi bakal ada di kisaran minus 1,6% hingga minus 2%.

“Indonesia masih belum menerapkan isolasi secara ketat dan nampaknya lebih mengandalkan kebijakan-kebijakan yang lebih ringan,” ujar Mattoo ketika memberikan keterangan dalam konferensi video dari Jakarta, Selasa (29/9/2020).

Untuk diketahui, proyeksi pertumbuhan Bank Dunia tersebut lebih rendah dibanding proyeksi pada Juli 2020 yang memperkirakan ekonomi Indonesia masih bisa bertahan di 0% Mattoo pun mengatakan, proses pemulihan perekonomian di Indonesia akan berlangsung lebih lambat jika dibandingk n negara lain di kawasan Asia Pasifik.

Pasalnya, perekonomian domestik di negara-negara kawasan tersebut mulai berjalan. Meski demikian, permintaan global masih akan tertekan lantaran kawasan Asia Pasifik sangat bergantung pada aktivitas perekonomian dunia. Bank Dunia memproyeksi, ekonomi China bakal tumbuh di kisaran 2 persen tahun 2020 in.

“Didorong oleh belanja pemerintah, ekspor yang kuat, dan kasus infeksi Covid-19 yang cenderung rendah sejak Maret, namun masih tertekan oleh kinerja konsumsi domestik yang melamban,” jelas Mattoo.

Di sisi lain, untuk negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik, kinerja perekonomian diproyeksi bakal tumbuh 3,5%. Adapun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya sempat mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga akhir tahun akan berada di kisaran minus 1,7 persen hingga minus 0,6 persen.

Sebelumnya, proyeksi Sri Mulyani berada di kisaran minus 1,1% hingga positif 0,2%. “Kementerian Keuangan merevisi forecast untuk September, sebelumnya untuk tahun ini minus 1,1 persen hingga positif 0,2 persen. Forecast terbaru September untuk 2020 di minus 1,7 persen hingga minus 0,6 persen,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa secara virtual, Selasa (22/9/2020).

Semenara untuk kuartal III ini, menurut dia pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III akan berada di kisaran minus 2,9 persen hingga minus 1,1%. Angka tersebut lebih dalam jika dibanding proyeksi awalnya, yakni sebesar minus 2,1% hingga 0%.

Dengan revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi yang cenderung negatif pada akhir tahun, Sri Mulyani mengatakan, pertumbuhan ekonomi juga bakal negatif pada kuartal III dan IV.

Sebelumnya, Sri Mulyani selalu optimistis pada kuartal IV perekonomian masih bisa tumbuh positif. Meski demikian, pemerintah masih mengupayakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV mendatang bisa mendekati 0%. (net/smr)

 

sumber: kompas.com di WA Group FILOSOFI KADAL (JUJUR)/indopos.co.id

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *